Breaking News

Trending Template

Vrydag 28 April 2017

AGAMA DAN AKAL: Antara Maksimalisme dan Minimalisme Agama



AGAMA DAN AKAL:
Antara Maksimalisme dan Minimalisme Agama
Oleh: Ayatullah M.T. Misbah Yazdi

Apakah yang dimaksud dengan Minimalisme Agama dan Maksimalisme Agama? Pada dasarnya, sejauh mana ruang lingkup peran agama dalam kehidpan umat manusia menurut pandangan Islam dan pandangan Barat? Terlepas dari apakah setiap agama itu menyimpan pesan-pesan dan ajaran-ajaran khas mengenai kehidupan manusia, dari balik tinjauan luar terhadap agama ada sebuah pertanyaan serius, yaitu; pada dasarnya, dalam perkara apa saja kita menantikan bantuan dan arahan agama?  Ada tiga jawaban atas pertanyaan ini yang pernah dikemukakan selama ini.

Jawaban Pertama:
Bahwasanya manusia dalam segenap urusan hidup privat ataupun sosialnya, mulai dari cara makan, cara mengenakan pakaian, cara membangun  tempat tinggal dan gedung, cara duduk dan berdiri, cara berjalan dan tidur, sampai  mendirikan pemerintahan, menentukan tugas-tugas setiap pejabat dan menggariskan mekanisme pengelolaan negara, juga bahkan menerangkan berbagai persoalan-persoalan ilmiah, harus menunggu arahan-arahan dari agama. Dan, tanpa kita harus repot atau menanggung sedikitpun beban dan ongkos penyelidikan, kita akan mendapatkan keberhasilan sebanyak mungkin dari petunjuk agama.

Padangan di atas ini terhadap agama, yakni bahwa agama bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan manusia, disebut juga dengan Maksimalisme Agama (Din Haddeaksari). Berdasarkan pandangan ini, agama menjamin pemenuhan segenap penantian dan harapan umat manusia. Pada gilirannya, umat manusia tidak  perlu lagi memanfaatkan  atau memberdayakan kekuatan akal dan mengembangkan potensi-potensi karuniawinya.

Padangan demikian terhadap agama sesungguhnya tidaklah benar. Agama sama sekali tidak pernah mengajukan klaim bahwa ia datang untuk menggeser habis peranan akal dan membekukan kandungan potensial manusia. Agama juga tidak datang dengan mendakwakan kehadirannya sebagai penuntas segenap kebutuhan umat manusia.

Bertolak dari rapuhnya pandangan maksimalistik ini terhadap agama, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah ruang cakup agama yang sebenarnya? Dan, dalam urusan apa saja manusia berkewajiban mengikuti agama?

Inilah pertanyaan yang mengawali perseteruan sengit antara bapak-bapak Gereja dan kalangan elite politik di Barat yang berlangsung selama berabad-abad, dan berakhir dengan  piagam perdamaian 'kosong' yang memproklamasikan jawaban kedua berikut ini.

Jawaban Kedua:
Bahwasanya kehidupan manusia mencakup dua macam urusan; urusan dunia dan urusan akhirat. Dua macam urusan ini benar-benar terpisah antara satu dari lainnya sedemikian rupa, sehingga perilaku manusia dalam hal-hal duniawi sama sekali tidak berpengaruh pada nasibnya di akhirat. Umat manusia dalam urusan-urusan ukhrawi dan dalam hubungan dengan Tuhannya semestinya mendapatkan arahan dan tuntunan dari agama. Adapun dalam urusan-urusan duniawi dan kehidupan di alam ini, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendaki dan disukainya.

Inilah pemikiran sekular yang meyakinkan pemisahan agama dari ruang-ruang aktifitas sosial. Pemikiran ini juga  lebih dikenal  dengan Minimalisme Agama (Din Hadeaqalli). Pandangan ini juga tampaknya perlu ditimbang secara serius, karena kendati kehidupan manusia bisa dibagi kepada dua macam; urusan duniawai dan urusan ukhrawi, dimana urusan dunia bermula dari kelahirannya dan berakhir dengan kematiannya, sementara urusan akherat dihitung mulai dari kematiannnya dan berlanjut dengan keabadiannya, dan masing-masing dari dua urusan hidup ini memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Tetapi, pembagian tersebut tidak berarti bahwa perilaku dan perbuatan manusia di dunia ini juga terbagi kepada dua macam; perbuatan duniawi dan perbuatan ukhrawi, tidak ada  keterkaitan di antara keduanya sama sekali.

Pandangan demikian ini, yakni  fungsi agama dianggap sebatas panjatan pribadi atau ritual  kolektif yang dilakukan di tempat-tempat peribadatan seperti; gereja, masjid, dan semacamnya, dan sebatas hubungan privat manusia dengan Tuhannya,  dan sama sekali tidak berurusan dengan kehidupan sosialnya, disamping tidak adanya dukungan argumentasi yang sahih, juga tidak sesuai dengan kandungan agama-agama samawi.

Sesungguhnya, sebagaimana yang  kita ketahui, semua agama yang benar, terlepas dari luang sempitnya sistem hukum masing-masing, hanya mengajukan dakwaan bahwa umat manusia berkewajiban menyesuaikan dan mengadaptasikan segenap perilakunya, baik pada urusan personal ataupun sosial, dengan arahan-arahan agamanya, dan bahwa manusia tidak bisa   berbuat di dunia ini dengan sesuka hatinya.  Demikian ini tampak begitu jelas sekilas saja kita merujuk kepada kandungan-kandungan ajaran semua agama samawi, khususnya agama Islam.

Jawaban Ketiga:
Bahwasanya kehidupan ukhrawi manusia merupakan hasil dan dampak sikap-tindaknya di dunia. Yakni, manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat untuk akhiratnya, sebagaimana ia juga bisa  melakukan serangkaian perbuatan yang merugikannya di akhirat. Manusia adalah makhluk yang menjalani proses, dimana hakikat wujud dan pola hidupnya di dunia terdefinisikan lewat perbuatan-perbuatannya. Maka,  ia harus memperhatikan hukum-hukum agama dalam memilih dan  menentukan jalan bertindak. Inilah pandangan  Islam yang jernih. Pandangan yang tidak bisa sepenuhnya kompromi dengan pandangan maksimalistik yang ekstrim atau pun pandangan  minimalistik yang sinis.

Penjelasannya adalah bahwa perbuatan manusia dalam pranata hukum Islam terbagi kepada  lima macam:
1.       Wajib, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan sesuai dengan cara tertentu seperti: salat, puasa, haji, dll.
2.       Haram, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus ditinggalkan seperti: meminum minuman yang memabukkan, memperkosa hak-hak orang lain.
3.       Mustahab, yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak harus dilakukan, tetapi bermanfaat dalam mencapai kesempurnaan manusia seperti: infak, sedekah, dll.
4.       Makruh, yaitu perbuatan-perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan, meskipun tidak seharusnya.
5.       Mubah, yaitu perbuatan-perbuatan dimana Islam tidak memerintahkan atau melarangnya, tidak pula memberikan penekanan dan dorongan atasnya.

Lima macam hukum ini yang  berlaku pada seluruh perbuatan personal atau sosial manusia, baik kecil maupun besar, sungguh berarti dalam kaitannya dengan kebahagian dan keuntungan duniawi serta akhirat manusia. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebahagian adalah perbuatan wajib. Dan perbuatan yang mau tidak mau harus kita tinggalkan untuk menghindarkan diri dari kesengsaraaan disebut perbuatan haram. Melakukan perkara-perkara yang mustahab dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh juga bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan. Oleh karena itu, semua itu sangat penting. Adapun mubah yaitu perkara-perkara yang tidak ada pengaruhnya dalam kaitannya dengan kebahagiaan ataupun dengan kesengsaraan manusia. Melakukan perkara mubah pada dasarnya tidak menjauhkan pelakunya dari kesempurnaannya, tidak pula mendekatkan kepadanya.

Di sini, dengan memperhatikan pembagian di atas tadi, dapat ditegaskan bahwa semua perkara dan urusan yang pelaksanaannya ataupun cara pelaksanaannya tidak diwajibkan agama berada dalam agenda perencanaan, penyelidikan dan penelaahan manusia. Pengambilan sikap dan keputusan mengenai perlunya pelaksanan perkara itu berikut caranya diserahkan kepada akal dan  pengetahuan manusia, sehingga dengan  upaya-upaya penyelidikannya dan pemanfaatan hasil-hasil ilmiah dan riset orang lain, manusia dapat menyiapkan lahan dan peluang untuk mencapai kesempurnaan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan seoptimal dan sebaik mungkin.

Oleh karena itu, tatkala Islam  menetapkan salah satu dari lima hukum di atas (wajib, haram, mustahab, maktuh dan mubah) atas setiap perbuatan, bahkan atas setiap pikiran dan khayalan manusia, yang berdasarkan  ini pula semua perbuatan manusia ditimbang di dalam kerangka sistem nilainya, pada saat yang sama, Islam sama sekali tidak memberangus aktifitas dan peran akal dan mengharamkan pencerahan pemikiran serta pengembangan potensi-potensi manusia. Tetapi, dengan penjelasan-penjelasan yang beragam, Islam mendorong untuk mencari ilmu, mengembangkan pemikiran, mendorong kemajuan dan memanfaatkan pengalaman serta penemuan orang lain, walaupun jauh dari jangkauan mereka. "Tuntutlah ilmu walau ada di Cina!".

Maka dari itu, Islam menempatkan dunia dan perbuatan-perbuatan personal dan sosial manusia di dalamnya sebagai mukadimah, lahan, sarana, dan syarat akhirat. Sementara kehidupan alam akhirat adalah dampak dan hasil perbuatannya di dunia ini. Dengan begitu, Islam sama sekali tidak akan pernah kompromi dengan pemikiran sekular, yakni pemikiran yang mendepak agama dari ruang kehidupan sosial manusia, dan membatasi peranannya sebatas hubungan-hubungan personal manusia dengan Tuhannya.[]



Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking

Designed By VungTauZ.Com