Membangun Nalar
yang Tak Retak
Oleh : Adi Armin
Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa
yang damba jadi pemenang/ Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang
tidak lazim/ Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang
menjulurkan lambaian.
KUTIPAN puisi du Bellay ini sarat
dengan renungan kuat pemikiran platonisme. Muatan itu bukan saja karena du
Bellay mengusung panji-panji kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La
Pleiade), kelompok yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II
(1519-1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif,
Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay sendiri
bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi sublim dan
suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang justru disangsikan
sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya pada zaman surplusisme
dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad Pertengahan, sengaja mengaktualkan
kembali konstelasi sastra Yunani klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan
terkemuka masa Ptoleme Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan
Dionysiades sebagai bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki,
yaitu kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi
bangsa Romawi.
SEBAGAIMANA diketahui, Plato telah
mengembangkan pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang
mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang mengandalkan
kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada perkembangannya,
pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan indikasi kuat bahwa penelitian
rasional yang merupakan kelanjutan penelitian penampilan realitas (doxa) telah
memihak pada "perangkat keras" atau kekakuan obyek formal pengetahuan
yang kemudian memiliki akses bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara
pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian tidak
demikian.
Syair bening Las! Ou est maintenant
yang mengabadikan ruang-ruang kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran
mistisisme puisi Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada
jauh di luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan
simbol-simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran.
Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara galau/
Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan pandangan hangat/
Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas bagai kelam dan cahaya/
Wewangian laksana harum bayi/
Pengaktifan total modalitas pengamatan
secara simultan yang disajikan Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan
pengaktifan seluruh fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal
yang memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang secara
"tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk memudahkan
dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural. Bahkan, bukan hanya
mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera rohani dan jasmani, manusia sering
kali memenangkan pertarungan itu berkat sukses kultural yang semakin
sophisticated, yang dimilikinya, jauh melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar
langit tahan gempa didirikan, samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak
dibonsai, waktu dikonstruksi.
Namun, penalaran jasmani tidak selalu
menang dalam observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja,
disadari semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari
observasi. Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin
horizon didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih
realitas, bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan
tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana sibuknya
fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi ego dalam
kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-Ponty untuk
menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada dirinya untuk mengarah
pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga transendensi tidak perlu dilakukan,
padahal saat mendefinisikan manusia, Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri,
yaitu manusia adalah le corps dan le sujet di mana salah satunya pasti
mengelak. Bahkan, Aku-nya Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk
dalam struktur logis. Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan
mengelak yang gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat
ditemukan dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku
mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari bahwa aku
menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak yang tidak
habis-habisnya.
Dari dadaran realitas dan penalaran
yang memiliki kelaziman mengelak ini, masih sanggupkah dinyatakan bahwa
realitas dan penalaran sepenuhnya hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih
berhak. Tidakkah ingin dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu
mengelak tersebut terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus
terus-menerus dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang
sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam nomena yang
gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang beroperasi secara lahir,
sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal budi yang bersifat batin.
Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia mustahil bertentangan,
apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan pengertian nalar, yaitu berupa
pertimbangan baik-buruk secara akal budi atau aktivitas yang memungkinkan
seseorang berpikir, suatu jangkauan pikir atau kekuatan pikir.
Dari pengertian tersebut, kita tentu
menyangkal pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada
proses berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan
observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang mempropagandakan hasil
penalaran hanya berkisar proses penyimpulan yang dibangun dari proposisi
anteseden dan premis sesuai teks-teks logika. Sama halnya keberatan akan
diajukan pada anggapan penalaran hanya terdiri dari induksi, deduksi, abduksi,
sebagai hal niscaya secara kategoris.
Nalar lincah dan supel dalam Menolak
Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara",
Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para
Penyair, Donny Gahral Adian ("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira
hanya persoalan operasional teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama
halnya penekanan dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran
yang memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak
tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah
"puisi".
Penalaran utuh tidak menghasilkan
benturan, sebab proses penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia
yang melibatkan pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis
terjadi karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek
atau dari sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa
nalar asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan
adalah kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja
menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk selamanya,
dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak, dan saat mana ia
harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan. Nalar lincah dan supel yang
dibarengi ketundukan dan kepatuhan. Ungkapan penolakan terhadap nalar asli
justru mengingkari sifat-sifat lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar
sendiri, sebab ia terjerumus dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran,
sok kuasa yang justru dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang,
semacam neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi.
Pemujaan Husain terhadap nalar asli
seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti dituduhkan bukan hal yang
disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki pengalaman tersendiri sebelum
menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami (kata dialami, harus digarisbawahi)
akan memberikan kesadaran sekaligus pengetahuan untuk kemudian memilih mana
yang sesuai. Toh, pemikiran-pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan.
Secara ontologis masa depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu
saat usia alam semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman
dengan kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium
ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi,
karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah direngkuh
habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang adalah masa anak
cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi ikut, pengikut dan
penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada Sidharta Gautama, Gandi,
Confusius dapat diterima. Kebaruan yang ditemukan dan akan ditemukan tidak lain
adalah kebaruan semu semata yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya.
Pandangan dimensi waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ
Roussseau.
Kita tidak perlu kecil hati dengan cap
mitis yang dikenakan Bagus Takwin pada pemikiran demikian, karena pemikiran
mitis di mana manusia dalam keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar
mengambil jarak pengamatan berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat
manusia sanggup mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis
(Kompas, 28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi
yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan ketidaksabaran
melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak ternyata bagian
dari kita.
Keutuhan nalar, mungkinkah?
Operasi nalar yang tidak terpecah, di
samping pemikiran para "Nabi" di atas, sebetulnya dapat ditemukan
dalam alur pemikiran Descartes, bapak Rasionalisme, khususnya yang termuat
dalam karya berjudul Meditations. Karya ini dapat disebut masterpiece dan
menduduki tempat terhormat dibanding karya-karyanya yang lain.
Meditations pertama kali ditulis dalam
bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Le duc
de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan pembuatan karya
ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti pustaka-pustaka lain
dari Descartes, semisal Les Principes. Namun, pengembaraan penelusuran misteri
kebenaran dalam Meditations diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran
metafisika yang menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi
Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan
melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan
tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan mengantarnya pada
Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap manusia dalam hubungannnya
dengan alam semesta."
Semangat Descartes terbukti dalam
kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah diskusi seru, tepatnya
November 1627, Descartes pernah berjanji kepada Cardinal Berulle, yang
menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru empat belas tahun kemudian
tantangan itu terjawab dengan munculnya Meditations. Kita telusuri sejenak
sketsa penalaran Descartes dalam Meditations untuk sampai pada skema fisik dan
metafisik penalaran Cartesien yang seutuhnya.
Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya
ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat diasimilasi
dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis pencarian
kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan. Jenis ragu
pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan yang diterima
dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan paradoks. Terhadap
ini, Descartes memperlawankannya dengan keraguan metodis. Oposisi yang sama
berlaku juga terhadap pernyataan yang didukung argumen kabur, ilusif dan penuh
khayalan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu,
setumpuk argumen yang bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang
dapat menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing
keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan hiperbolik.
Keraguan adalah tindakan penalaran
(cogito). Descartes berkeyakinan bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang
kompleksitas kerja aspek fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal
ketimbang benda material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran
hanya dapat berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah
suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan yang
menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya tindakan yang
memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang berkaitan dengan momen
waktu.
Keberadaan Tuhan merupakan bukti
ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung perdebatan
karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal pandangan yang
dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal dan sumber apa ide
berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan sampai sekarang persoalan
ini merupakan lahan sangat subur yang menuai kritik dalam perjalanan sejarah
filsafat, karena setelahnya menandakan patahan lebar terhadap periodisasi
pemikiran, misalnya Kant dengan model empat kategori imperatifnya memaklumatkan
metafisika tidak secuil pun memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk
menyiasati masalah, Descartes menukar substansi realitas material dengan
keberadaan "suatu keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan
yang bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas
dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai yang
bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat
diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan
untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan dan
hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak yang disebut
"idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman), yaitu,
kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes memastikan
kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis kehadiran Tuhan sebagai
esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil perenungan, nalar asli atau
ide bawaan seirama dengan denyut alam semesta.
Cogito, Ergo Sum adalah proses
penalaran tanpa obyek normal (intransitif). Pola berpikir demikian berbeda
dengan pola berpikir sementara kalangan dalam model-model ilmu pengetahuan.
Model berpikir ilmu pengetahuan selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan
tidak mencakup realitas yang mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana
subyek sekaligus menjadi obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja
secara simultan, emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik
Descartes telah menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas
dua substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh
fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak seluruhnya benar.
Pada tatanan metafisik, Descartes
mengakhiri usahanya di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi
"Cogito, ergo sum" bukan hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan
juga berkaitan dengan kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua
substansi, yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato
dan mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang
kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan kategori
Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan keutamaan yang belakangan
diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes.
Metafisika baginya adalah tempat di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara
bersamaan, ia memberikan tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada
gilirannya, menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak
ada pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial
antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu
pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang penyatuan
keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti pada tiga
postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia luar yang
tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu keserbamungkinan
teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas yang merupakan bukti
eksistensi sesuatu yang diragukan.
Bukti lain ontologi Tuhan melalui
kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat dalam dimensi waktu, berapa
detik, menit, semestinya ada penyebab yang bukan hanya mencipta, tetapi juga
menjaga ciptaannya di luar tebasan waktu. Descartes menunjuk harmoni
hukum-hukum universal alam semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis
itu, keteraturan alam mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu
sendiri.
Pengetahuan keberadaan Tuhan
memungkinkan pengetahuan tentang jiwa. Teori benda telah cukup memadai,
sementara penghayatan dan keinginan untuk bebas menyadarkan kita tentang
tingkat pengetahuan. Kebebasan yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan
mendukung kejelasan yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi
sempurna keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich
mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta.
Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak
ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari ide-ide
yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-prinsip
geometri.
Nalar manusia yang menyejarah
Corak pemikiran di belahan dunia
berkembang disebut secara sinis sebagai "katak di bawah tempurung",
(François Dortier, 2000), sebab pemikirannya tidak mandiri, malu-malu, kerdil,
tidak percaya diri, condong mengadopsi pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran
ahistoris yang lepas dari warna dan corak kehidupan sosial masyarakat,
sementara pemikiran yang diadopsi meloncat loncat tergantung ketersediaan
informasi.
Dalam kepustakaan epistemologi
dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian, curiosity dalam
menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan. Pada setiap pertemuan,
Donny dan Bagus Takwin, mungkin mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien
yang menebar pesimisme terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana
filsuf sinis Yunani, Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari
kota, di tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari
Manusia", padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu.
Nihilisme Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat
personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha. Kisah yang
melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan disanjung tata
kehidupan manusia sehari-hari.
Dalam kisah agung tersebut dimuat paradoksi,
ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga dibutuhkan pembangunan bumi
baru, tatanan dan keteraturan baru ala Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di
atas kasur panah murid kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang
justru diperintah keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati
Yama Widura mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada
Destarasta.
Panglima Karna protes pada penetapan
Dewa, menyangkal keimanannya pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan
Dewa Surya, dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat
pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya, Pandawa, demi
kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna membangkang pada Langit yang
dianggapnya tidak adil. Bukankah itu pemutarbalikan norma yang dirontokkan
Nietzsche, menantang Hari Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar
urgensi pencarian iman dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak
henti-henti selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta
perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna, sehingga ia
menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan Bhisma? Yang membantu Bima
mematahkan paha Duryudana dalam duel maut? Bukankah ia tokoh "Manusia
Super" dalam filsafat Nietzsche.
Saat kita tidak mampu mengambil jarak
dari kungkungan arus pemikiran luar, sekali lagi saat itu mistisisme kembali
mengungkung kita. Model penalaran (paradigma, metodologi) negeri kita akan
semakin layu, jika tidak berpijak pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang
berkeyakinan sejak masa nenek moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika
ahli pikirnya lupa memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi
universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi
gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya.
Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia
Seutuhnya yang pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji
lagi, diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat menjadi
modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita adalah saudara,
manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke muka bumi, terlepas
dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber kebaikan dan kebijaksanaan
formal, seperti agama dan kepercayaan, termasuk ideologi belum lagi ampuh
melaksanakan terapi bagi multi krisis umat manusia, maka yang harus didiagnosa
menurut hemat saya adalah mengoreksi kembali asumsi-asumsi dasar dalam beragama
dan berkeyakinan serta berideologi.
Di luar itu, untuk menjadikan esok
yang penuh semangat, hasrat dalam kedamaian, mari menalar hal-hal yang
"enteng-enteng" saja dan merefleksi syair-syair cinta, kasih sayang,
niscaya kebahagiaan yang didasari keutuhan manusia akan membangkitkan gairah
hidup yang kuat seribu tahun lagi.
Kita simak sepenggal puisi cinta dari
Donny: Ada bulan yang ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/
Semua begitu Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir
kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah terungkap.
Juga puisi jernih dan syahdu dari
Bagus Takwin: Sempat kuintip maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/
Pepohonan diam/ dan sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/
mengusap bumi yang sudah/ pulang…/ …Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang
patuh/ Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan
serangga…/ …Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/ semua gemuruh
lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam dan aku/ dalam takjub
kami termangu.
Adi Armin Magister Filsafat, Dosen
Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar
Jumat, 05 September 2003
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking