TINJAUAN TEORITIS AKUNTANSI SOSIAL (SOCIAL ACCOUNTING)
DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke manajemen moderen khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum, karena menurut pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan infromasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan.
Sejak dekade tahun 70-an, masalah externality ini terus menjadi issu penting dikalangan profesi akuntan. Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh kongkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut.
Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggungjawab sosial atau tidak, sampai saat ini masih terus merupakan perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab sosial perusahaan melalui penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya dapat dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya kepentingan dan argumentasinya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan penerapan akuntansi sosial di Indonesia (Harahap, 1988); lihat juga Bambang Sudibyo (1988); Hadibroto (1988) dalam Arief Suadi (1988), hanya saja akuntansi sosial menjadi kurang populer karena kemungkinan perusahaan-perusahaan di Indonesia memanfaatkan laporan tahunan hanya sebagai laporan kepada Shareholders dan Debtholders atau sebagai informasi bagi calon investor (Muslim Utomo,2000).
Sebuah analisis yang dilakukan oleh Bambang Sudibyo (1988) dalam Arief Suadi (1988) menyimpulkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu (1) lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan (2) rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban sosial. Sementara itu artikel yang ditulis oleh Harahap (1988) merekomendasikan perlunya dikembangkan konsep Sosio Economic Accounting (SEA) di Indonesia karena lebih dekat dengan falsafah bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini.
B.RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari berkembangnya tuntutan dan kesadaran tanggungjawab sosial perusahaan, pro dan kontra terhadap konsep akuntansi sosial, dan pengembangan akuntansi sosial di Indonesia, makalah ini akan membahas secara teoritis tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia. Pembahasan akan dilakukan dengan menguraikan fenomena permasalahan sosial yang terjadi pada entitas bisnis di Indonesia untuk menjawab permasalahan: “ Bagaimanakah penerapan akuntansi sosial di Indonesia dalam mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan pada kondisi bisnis sekarang ini “.
PEMBAHASAN
A. Definisi akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting)
sebenarnya bukan merupakan istilah baku
dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat
istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan
lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan
istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan
variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik
secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988)
menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan
cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat
suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses
pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan
dengan lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar
akuntansi di Indonesia
menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai
akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban
sosial perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai
suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya,
struktur pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihak–pihak yang
berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran
tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang
dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya
definisi yang diberikan oleh para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial
memiliki karakteristik yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan
(1976) dalam Arief Suadi (1988), yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan
masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari kegiatan entitas bisnis, (2)
mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab sosial perusahaan, dan
(4) sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap
sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.
B. Tujuan akuntansi sosial
Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994)
adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan
perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief
Suadi (1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1)
mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu
perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di
internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang
mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu menentukan apakah
strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas
sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah
konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak
dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal,
kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan,
program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial
perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan
diatas dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya
sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah–masalah sosial yang dihadapi
oleh perusahaan, sehingga pos–pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada
masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang
perusahaan.
C. Pengukuran akuntansi sosial
Dalam pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan
lingkungan sosialnya terdapat dua dampak yang timbul yaitu dampak positif atau
yang disebut juga dengan manfaat social (Social benefit) dan
dampaknegatif yang disebut dengan pengorbanan sosial (Social Cost).
Masalah yang timbul adalah bagaimana mengukur kedua dampak tersebut. Menurut
Harahap (1993), masalah pengukuran akuntansi sosial memang rumit, karena jika
dibandingkan dengan transaksi biasa yang langsung dapat dicatat dan
mempengaruhi posisi keuangan, maka dalam akuntansi sosial terlebih dahulu harus
diukur dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan.
Lebih jauh Harahap (1993) menguraikan beberapa metode
yang biasa dipakai dalam pengukuran Akuntansi sosial yaitu;
1. Menggunakan penilaian dengan menghitung Opportunity
cost approach
2. Menggunakan daftar kuesioner
3. Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk
barang perorangan dalam menghitung kerugian masyarakat
4. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga
Ansry Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989)
memberikan beberapa teknik pengukuran yang dapat diapakai, antara lain ;
1. Penilaian pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat
langsung ditentukan, maka dapat mengetimasikannya dengan nilai pengganti.
2. Teknik survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi
dari kelompok masyarakat tentang pengukuran aktifitas sosial perusahaan.
3. Biaya perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang
dikeluarkan oleh perusahaan sebuhubungan dengan lingkungan sosialnya.
4. Penilaian dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang
kepada pihak luar untuk mengukur aktifitas sosial perusahaan
5. Putusan pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai
kekuatan hukum
Secara empiris beberapa perusahaan di Amerika seperti
IBM, Chase Manhattan corporation, Bank of Minneapolis telah memaparkan
informasi social secara kuantitatif dalam laporan keuangannya, yang menunjukkan
pengukuran ataas praktik pengukuran dampak social perusahaan mereka (Achmad
Sonhadji, 1989)
D.Pelaporan, pengungkapan (disclosure)
akuntansi sosial
Menurut Belkoui (1985) yang dikutip oleh Harahap (1993),
pelaporan dalam akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut
dampak positif atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan
ini menurut Belkoui (1980) dalam Sawardjono (1991) didasari relevan atau
tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini tergantung pada para pemakai
informasi. Menurut Sawardjono (1991), peningkatan kebutuhan informasi ini dapat
dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah melaporkan tanggungjawab
sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Inggeris, Australia
dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. Estes (1976) dalam
Achmad Sondhaji (1989) menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi sosial yang
terdiri dari :
1. Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi
sosial yang tidak disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun
satuan yang lainnya
2. Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi
sosial dan disertai dengan data kuantitatif
3. Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif,
perusahaan juga menyusun laporannya dalam bentuk neraca
Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal,
perusahaan-perusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk
memberikan informasi kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar
(stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan. Praktik
pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan tahunan perusahaan
telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika
Serikat, Australia,
Selandia Baru, Singapura dan Malaysia.
Keadaan ini turut mendorong perusahaan–perusahaan untuk mengungkapkan secara
sukarela untuk setiap periode mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat
menunjukkan kepada kepada pihak–pihak yang berkepentingan terhadap laporan
tahunan perusahaan yang dapat menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu
entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial
ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak
merekomendasikan secara lebih spesifik tentang standar pelaporan externalities.
Davidson (1993) memberikan contoh FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian
dampak sosial khususnya mengenai dampak lingkungan. Davidson (1993) seorang
direktur yang menangani urusan lingkungan di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan
bahwa saat ini SEC (stock exchange commission) telah menerapkan review
bagi perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan
tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika
Serikat sampai saat ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure)
dan bukan merupakan suatu kewajiban (Mandatory disclosure), tetapi
kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan mengungkapkan aktifitas sosial
tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah suatu perusahaan dalam
menjalankan fungsi – fungsi sosialnya.
Penelitian–penelitian yang dilakukan diluar negeri
menunjukkan bahwa di Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di
Singapura, Hackson dan Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam
negara Eropa (Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew
et.al (1989) di Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial
perusahaan sudah menjadi hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa
perusahaan besar lebih banyak mengungkap informasi sosialnya dibandingkan
dengan perusahaan kecil.
Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny dan Murtanto (2001)
mengemukakan bahwa sebagian besar pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
masih bersifat kualitatif, dan kecenderungan perusahaan mengeungkapkan
informasi positif daripada informasi negatif.
E. TINJAUAN PENERAPAN AKUNTANSI SOSIAL DI INDONESIA
Untuk membahas permasalahan bagaimana penerapan
akuntansi sosial di Indonesia,
maka akan diuraikan terlebih dahulu tentang krisis ekonomi yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia
dan kaitannya dengan permasalahan sosial yang terjadi pada beberapa perusahaan.
Kemudian akan di bahas peran akuntansi sosial dalam mendorong terciptanya
tanggungjawab sosial perusahaan pada kondisi bisnis sekarang ini, yang
didasarkan pada uraian teoritis sebelumnya.
a)
Krisis ekonomi di Indonesia
Krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan sejak
tahun 1997 telah mendongkrak bangsa ini pada posisi krisis multi dimensi pada
hampir seluruh aspek kehidupan. Khususnya jika dilihat secara lebih rinci pada
aspek ekonomi, sendi–sendi perekonomian (Investasi,produksi dan distribusi)
lumpuh sehingga menimbulkan kebangkrutan dunia usaha, meningkatnya jumlah korban
PHK, tingginya angka pengangguran, menurunnya pendapatan perkapita dan daya
beli masyarakat, dan akhirnya bermuara pada bertambahnya angka-angka jumlah
peduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Dengan tingginya suku bunga
diatas enam puluh persen pada puncak krisis saat itu, sangat sulit bagi sektor
perbankan untuk menggulirkan kredit, ditambah ketatnya aturan likuiditas
disektor perbankan sebagai akibat dari akumulasi kredit macet grup Konglomerat
dan anak perusahaan dari bank-bank bermasalah mendorong pemerintah melakukan
likuidasi, restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Menurut Rizal Ramli (1998), krisis ekonomi yang melanda
bangsa Indonesia mengakibatkan timbulnya berbagai hal yang tidak pasti,
sehingga indikator–indikator ekonomi seperti tingkat suku bunga, laju inflasi,
nilai tukar, indeks harga saham gabungan, dan sebagainya sangat rentan terhadap
isu–isu sosial. Hal ini membuktikan bahwa aspek sosial dan aspek politik dapat
mengundang sentimen pasar yang bemuara pada instabilitas ekonomi. Kondisi
seperti ini tentunya berdampak sangat buruk bagi peta bisnis dan iklim
investasi di Indonesia
terutama untuk mendapatkan kepercayaan investor asing yang ingin menanamkan
modalnya di Indonesia.
Upaya-upaya pemerintah menyakinkan dunia Internasional
akan stabilitas sosial politik dan keamanan belum menunjukkan tanda–tanda yang
berarti karena tidak didukung oleh data dan fakta yang sebenarnya, bahkan
beberapa Investor asing berencana melakukan relokasi bisnis dan investasinya ke
negara Asia Tenggara lainnya seperti ke Vietnam,Thailand dan Kamboja yang
dianggap lebih kondusif untuk berinvestasi seperti kasus pabrik sepatu di
Tangerang, Banten dan Sidoardjo, Jawa Timur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi
dan krisis sosial di Indonesia sampai saat ini masih menjadi dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan, dan pengaruhnya terhadap dunia bisnis sangat
signifikan, sehingga perusahaan yang ingin menjalankan operasional bisnisnya di
Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari permasalahan sosial yang sedang
dihadapi oleh bangsa ini. Permasalahan sosial bagi perusahaan memang bukan
menjadi target utama, karena banyak faktor–faktor lain seperti investasi,
permodalan, produksi, pemasaran yang berkaitan langsung dengan aktifitas normal
sebuah perusahaan, tetapi konsekuensi dari interaksi antara perusahaan dengan
lingkungan yang sedang mengalami krisis sosial menjadi tidak dapat dihindari.
b)
Permasalahan sosial dalam dunia bisnis di Indonesia
Tabel. 1 akan mengikhtisarkan beberapa contoh
permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia.
TABEL . 1
CONTOH
PERMASALAHAN SOSIAL PADA DUNIA BISNIS INDONESIA
No
|
Contoh kasus
|
Lokasi
|
Permasalahan Sosial
|
01.
|
PT.Inti Indo Rayon Utama
|
Porsea
Propinsi . Sumatera Utara
|
Dihentikan operasional karena
adanya masalah lingkungan dan masalah dengan masyarakat sekitar industri
|
02.
|
PT. Exxon mobils
|
Lhokseumawe Aceh utara
Prop . DI Aceh
|
Menghentikan kegiatan
produksi karena faktor stabilitas keamanan
|
03.
|
PT.Ajinamoto Indonesia
|
Jakarta
|
Penarikan distribusi,
pemasaran, dan aktifitas produksi karena masalah sertifikasi halal oleh MUI
|
04.
|
Beberapa Perusahaan kertas di
Riau
|
Propisi Riau
|
Mendapatkan protes dari
masyarakat setempat sehubungan permasalahan limbah industri dan lingkungan
|
05.
|
PT.Maspion Indonesia
|
Sidoarjo
Surabaya
Jawa Timur
|
Permasalahan demo buruh dan
isu kesejahteraan karyawan
|
06.
|
PT.Telkom Indonesia
|
Divre IV
Jateng dan DIY
|
Serikat Karyawan (Sekar)
PT.Telkom menolak penjualan Divre IV Kepada PT.Indosat
|
07.
|
PT. BCA
|
Jakarta
|
Serikat Pekerja menolak
Divestasi saham BCA
|
08.
|
PT.Kereta Api Indonesia
|
Jakarta
|
Serikat Pekerja menolak
kembalinya Dewan Direksi lama, karena dianggap bertanggung jawab atas
beberapa kasus kecelakaan kereta api yang terjadi di Indonesia
|
09.
|
Bank Internasional .Indonesia
(BII)
|
Jakarta
|
Tuntutan Karyawan atas gaji,
upah dan peningkatan kesejahteraan pekerja
|
10.
|
PT.Gudang Garam
|
Kediri
Jawa Timur
|
Mogok Kerja Massal karyawan
menuntut perbaikan gaji dan kesejahteraan pekerja.
|
Sumber :
Review berbagai sumber
Sederetan data lain sebenarnya masih banyak lagi
mengenai permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan PMA
maupun PMDN di Indonesia. Tentunya gambaran ini semakin menunjukkan betapa
dunia usaha sangat rentan dengan berbagai masalah sosial. Beberapa kasus maraknya
aksi demo buruh, penjarahan gudang, perusakan gedung kantor dan pabrik, dan
penggarapan lahan perusahaan karena masyarakat menyakini tanah ulayat dan
hak–hak rakyat yang dirampas oleh penguasa pada masa lalu, semakin menguatkan
fakta tentang stabilitas sosial yang tidak kondusif.
c)
Peran Akuntansi Sosial
Situasi dan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas
menuntut suatu entitas bisnis untuk mampu mengakses kepentingan lingkungan
sosialnya yang diikuti dengan pengungkapan dan pelaporan kepada pihak–pihak
yang berkepentingan sehingga melahirkan sebuah laporan (output) yang
mendeskripsikan segala aspek yang dapat mendukung kelangsungan hidup sebuah
entitas. Disinilah peran akuntansi diharapkan dapat merespons lingkungan
sosialnya sebagai perwujudan kepekaan dan kepedulian entitas bisnis terhadap
lingkungan sosialnya.
Akuntansi sosial secara teoritis mensyaratkan perusahaan
harus melihat lingkungan sosialnya antara lain masyarakat, konsumen, pekerja,
pemerintah dan pihak lain yang dapat menjadi pendukung jalannya operasional
karena pergeseran tanggungjawab perusahaan. Untuk mendapatkan gambaran inilah
perusahaan harus mampu mengakses lingkungan sosialnya, setelah itu untuk
menindak lanjuti dan mengukur kepekaan tersebut perusahaan memerlukan informasi
secara periodikal, sehingga informasi ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang bermanfaat bagi semua pihak (Shareholders, stakeholders,
debtholders). Akuntansi sosial dilaksanakan atas dasar aktifitas sosial
yang dijalankan oleh suatu entitas bisnis, selanjutnya diproses berdasarkan
prinsip, metode dan konsep akuntansi untuk diungkapkan bagi pihak – pihak yang
berkepentingan, kemudian dari informasi yang dihasilkan pengguna informasi akan
dapat menentukan kebijakan selanjutnya untuk aktifitas sosial dan kebijakan
untuk lingkungan sosial entitas bisnis yang dijalankan.
Kemudian jika permasalahan akuntansi sosial ini
dikaitkan dengan prinsip dasar good corporate governance(GCG) yang
menjadi issu penting pengelolaan perusahaan saat sekarang ini, khususnya pada
prinsip Responsibility yang berbicara tentang bagaimana entitas bisnis
bertanggung jawab kepada stakeholders dan juga lingkungan, Satyo (2001)
menulis bahwa prinsip dasar good corporate governance (pengelolaan yang
baik), ini mengharuskan perusahaan untuk memberikan laporan bukan hanya kepada
pemegang saham, calon investor, kreditur dan pemerintah semata tetapi juga
kepada stakeholders lainnya, seperti masyarakat umum, konsumen, serikat
pekerja dan karyawan perusahaan secara individu.
Saat ini tuntutan pengelolaan perusahaan dengan baik (Good
Corporate Governance) juga telah menjadi issue global, dimana
perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan operasionalnya di
Indoensia selalu berusaha meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik,
sehingga perusahaan tidak hanya mementingkan motif bisnisnya saja, tetapi juga
harus memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat. Harahap (1993) memberikan
contoh bagaimana penerapan kepedulian sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia
yang ditunjukkan dalam bentuk partisipasi sponsorship kegiatan keagamaan dan
penyaluran beasiswa pendidikan.
d)
Praktik pengungkapan sosial (Social Disclosure)
di Indonesia
Praktik pengungkapan sosial bagi perusahaan di Indonesia yang ingin mengungkapkan lingkungan
sosialnya dapat berpedoman kepada standar yang telah dikeluarkan dan diatur
oleh Ikatan Akuntan Indonesia,
dimana secara implisit telah mengakomodasi hal tersebut . Sebagaimana tertulis
pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 1 (Revisi 1998). Paragraf
9 yang berbunyi sebagai berikut:
“ Perusahaan
dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan
hidup dan laporan nilai tambah ( value added statement), khususnya bagi
industri dimana faktor – faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan
bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang
memegang peranan penting.
Berdasarkan PSAK diatas, perusahaan-perusahaan di
Indonesia dapat melaporkan kegiatan sosialnya untuk dikomunikasikan kepada
pihak luar dalam bentuk laporan nilai tambah, sehingga dapat dipahami bahwa
upaya untuk pelaporan tanggungjawab sosial perusahaan sudah diakomodir oleh
profesi akuntan di Indonesia.
Untuk melihat lebih jauh praktik pengungkapan sosial
dalam laporan tahunan perusahaan di Indonesia, para peneliti akuntansi
telah melakukan berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Utomo (2000);
Heny dan Murtanto (2001). Hasil riset tersebut menemukan bahwa perusahaan di Indonesia
mengungkapkan 3 tiga tema utama dalam pengungkapan sosialnya, yaitu
ketenagakerjaan, produk dan konsumen dan tema kemasyarakatan (lihat lampiran
1).
Penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2000)
tersebut juga menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial oleh perusahaan–perusahaan
di Indonesia relatif masih sangat rendah, dan diduga perusahaan tidak
memanfaatkan laporan tahunan sebagai media komunikasi antara perusahaan dan Stakeholders
lainnya. Sementara penelitian Heny dan Murtanto (2001) menunjukkan bahwa
tingkat pengungkapan sosial di Indonesia
masih relatif rendah yaitu 42,32 %. Pengungkapan sosial dilakukan oleh
perusahaan paling banyak ditemui pada bagian catatan atas laporan keuangan dan
tipe pengungkapan yang paling banyak digunakan adalah tipe naratif kualitatif.
e)
PERMASALAHAN
Berdasarkan penjabaran dan uraian yang telah dikemukakan
sebelumnya, menunjukkan bahwa dunia usaha di Indonesia saat ini sedang
menghadapi berbagai masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang timbul memang
bukan mutlak disebabkan oleh tidak responsifnya perusahaan-perusahaan di Indonesia
terhadap lingkungan sosial, tetapi turut dipengaruhi faktor-faktor makro
lainnya. Namun demikian beberapa kasus yang diuraikan pada Tabel 1 membuktikan
bahwa dunia bisnis di Indoensia sangat rentan dengan konflik sosial, dan ini
tidak terlepas dari perubahan lingkungan sosial seperti peta politik dan era
reformasi. Permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia juga
terjadi karena lemahnya penegakan peraturan tentang tanggungjawab sosial
perusahaan, misalnya tentang aturan ketenagakerjaan, pencemaran lingkungan,
perimbangan bagi hasil suatu industri dalam era otonomi daerah.
Perlunya informasi lengkap untuk mengetahui masalah
sosial yang berkenaan langsung dengan lingkungan sosial suatu entitas bisnis
dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk mendeteksi secara langsung
stabilitas lingkungan sosial dan hubungannya dengan kelangsungan hidup
perusahaan, dan disinilah peran akuntansi sosial mengkomunikasikan hubungan
antara entitas bisnis dengan entitas sosial melalui pengungkapan sosial (sosial
disclosure) perusahaan secara periodik, sehingga dapat menjembatani dan
meminimalisir permasalahan-permasalahan sosial yang muncul pada dunia usaha (entitas
bisnis) di Indonesia.
Penerapan pengungkapan sosial di Indonesia masih sangat
rendah dibuktikan oleh hasil penelitian Muslim Utomo (2000); Heny dan Murtanto
(2001) yang mengindikasikan pula bahwa praktik akuntansi sosial di Indonesia
masih sangat rendah, sehingga kesimpulan analisis Bambang Sudibyo (1988) dalam
Arief Suadi (1988) yang menyatakan bahwa kesadaran akan pertanggungjawaban
sosial perusahaan di Indonesia sangat rendah sampai saat ini secara umum masih
dapat diterima dengan melihat bukti-bukti empiris penerapan akuntansi sosial
bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Rekomendasi Harahap (1993) tentang perlunya pengembangan
akuntansi sosial di Indonesia
dinilai masih relevan untuk dapat menciptakan suatu kondisi stabilitas sosial
dari lingkungan sosial suatu entitas bisnis, sehingga diperlukan kepedulian dan
kepekaan suatu entitas bisnis terhadap permasalahan sosial yang turut mendukung
terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia.
Dengan demikian makalah ini merekomendasikan
pengungkapan sosial pada laporan tahunan perusahaan hendaknya bukanlah
merupakan pengungkaapan secara sukarela (Voluntary disclosure), tetapi
dapat dipikirkan untuk menjadi suatu keharusan (Mandatory disclosure).
Disinilah peran organisasi dan profesi akuntan dituntut untuk merespon
perkembangan lingkungan dunia bisnis di Indonesia yang senantiasa berubah
dengan sangat cepat.
Selanjutnya implementasi dari pengungkapan sosial bagi
setiap entitas pelaku bisnis di Indonesia
diharapkan mampu menciptakan informasi yang bermanfaat, sehingga entitas
bisnis tidak rentan terhadap masalah–masalah diluar perekonomian (misalnya
masalah sosial dan politik).
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan
uraian tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia diuraikan sebagai berikut
:
1. Akuntansi Sosial masih menjadi pro dan kontra di
dunia akuntansi sampai saat ini mengingat masih terdapatnya pro dan kontra
tentang sejauh mana perusahaan harus bertanggung jawab kepada lingkungan
sosialnya
2. Akuntansi Sosial didefinisikanoleh para pakar
akuntansi sebagai proses untuk mengukur,mengatur dan melaporkan dampak
interaksi antra perusahaan dengan lingkungan sosialnya
3. Untuk mengukur manfaat social (social Benefit)
maupun pengorbanan social (Social Cost) dapat dipergunakan cara
penilaian pengganti, teknik survey dan keputusan dari pengadilan, dan beberapa
teknik lainnya yang direkomendasikan oleh para ahli dan bukti-bukti empiris
praktik akuntansi sosial di Amerika.
4. Pelaporan dan pengungkapan sosial di beberapa
negara maju sudah lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk
mendeskripsikan kepedulian sosialnya kepada para pemakai laporan keuangan
5. Penerapan akuntansi sosial di negara Indonesia masih mengalami kendala-beberapa
kendala, diantaranya kesadaran
dunia bisnis yang masih rendah dan kurangnya penegakan aturan tentang
tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia.
6. Praktik pengungkapan sosial perusahan-perusahaan di
Indonesia juga masih sangat rendah karena diduga perusahaan masih berorientasi
kepada para Shareholder dan debtholders saja.
7. Peran dan penerapan akuntansi sosial perlu
dikembangkan di Indonesia
untuk dapat mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan yang
diharapkan mampu meminimalisir permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi
oleh entitas bisnis di Indonesia,
sehingga terjadinya iklim investasi yang sehat dan stabilitas ekonomi yang
tangguh.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Sonhadji, 1989 Akuntansi Sosial : Perananya dalam mengukur
tanggung jawab social perusahaan, suatu tinjauan analitis, majalah
akuntansi, no. 10 bulan Oktober
Adam, Carol, A, et.al .1997. Coorporate Sosial Reporting Practices in
Western Europe :Legitimating Corporate behavior, Working Paper, Departement
of Accounting and Finance, University
of Glasglow, England.
Adrew, BH. FA. Gaul, et.al, 1989. A
Note of Corporate Sosial Disclosure Practise in Developing Cotries : The Cases
of Malaysia and Singapore, British
Accounting Review, Vol.21 pp. 371-376
Arief Suadi, et.al, 1988. Akuntansi Sosial : Implikasi dan
Kemungkinan Pengembangan di Indonesia, majalah akuntansi, no. 11 bulan
Nopember.
Azhar Maksum, 1991. Pengaruh Kebudayaan atas beberapa aspek
akuntansi, majalah akuntansi, no. 4 bulan April
Davidson,1993. Environmental Financial disclosure : What to say and
where to say it, Chemical Week, December edition, published by
UMI database Journal, USA
Hackston, David and Markus J Milne,1996. Some Determinant of Sosial
and Enviromental Disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing
ad Accountability Journal, Vol.9. No 1 pp.77-108
Harahap Sofyan Safri, 1988, Sosio Economic Accounting (SEA) :
Menyoroti etika dan tanggung jawab social perusahaan, Majalah Akuntansi No.
3 bulan Maret
__________________, 1993, Teori Akuntansi, edisi satu, cetakan
ke dua, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
__________________, 2001, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam,
cetakan ke pertama, November 2001, Penerbit Pustaka Quantum,Jakarta.
Hendriksen Eldon.S,1994, Accounting Theory, Third Edition, Mc.Hill, USA.
Henny dan Murtanto, 2001, Analisis pengungkapan social pada
Laporan Tahunan, Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi,
Universitas Trisakti, Jakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI), 1999. Standar Akuntansi Keuangan, buku satu,
Salemba empat diterbitkan untuk IAI , Jakarta.
Ince, Davult. 1997. Determinant of Sosial and environmental Discolusre
of UK Company, paper , Interdiciplinary Perspective o Accounting Conference,
Manchester, England
Rizal Ramli, 1999, Masa Depan Ekonomi Indonesia, makalah,
disampaikan Pada seminar nasional sehari Pemulihan Ekonomi Indonesia, ISEI
cabang Medan ,13 Pebruari 1999, di Medan
Satyo, 2001, Pengungkapan Sosial dalam Laporan tahunan, artikel,Media
Akuntansi,edisi 17/April Mei,2001,Penerbit PT.Intama Artha Indonusa, Jakarta
Sawardjono,1991, Pencantuman Kegiatan Eksternal ke dalam Laporan
Keuangan, Akuntansi, No 4 April
Tsang, Eric, WK. 1998. A Longitudinal Study of Corporate Sosial
Reporting in Singapore
: The Cases of Banking, Food and Beverages and Hotel Industries, Accounting,
Auditing and Accountability journal, Vol.11 No 5,pp. 624-635.
Muslim Utomo, 2000, Praktik pengungkapan sosial pada laporan
tahunan perusahaan di Indonesia,Lapora
penelitian, Simposium Nasional Akuntansi III, IAI Kompertemen Akuntan Pendidik
, Jakarta.
LAMPIRAN. 1
PENGUNGKAPAN
SOSIAL TEMA MASYARAKAT
No
|
Item pengungkapan aspek
sosial
|
01
|
Dukungan pada kegiatan sosial
budaya (pameran,pagelaran seni,dsb)
|
02
|
Dukungan pada kegiatan olahraga
( termasuk sponsorship)
|
03
|
Dukungan pada dunia anak
(pendidikan)
|
04
|
Partisipasi pada kegiatan
sekitar kantor atau pabrik (perayaaan Hari besar)
|
05
|
Dukungan ke Lembaga kerohanian
(Dewa Masjid, Bazis,dsb)
|
06
|
Dukungan ke lembaga pendidikan
( termasuk beasiswa, kesempatan magang dan kesempatan penelitian )
|
07
|
Dukungan ke lembaga sosial
lainnya
|
08
|
Fasilitas sosial dan fasilitas
umum
|
09
|
Prioritas lapangan pekerjaan
bagi masyarakat sekitar ( termasuk pemberian fasilitas dan motivasi oleh
perusahaan untuk berwirausaha bagi masyarakat sekitar industri)
|
Sumber : Muslim Utomo, 2000
PENGUNGKAPAN
SOSIAL TEMA KONSUMEN
No
|
Item pengungkapan aspek
Sosial
|
01
|
Mutu, kualitas produk
|
02
|
Penghargaan kualitas ( termasuk
sertifikasi kualitas, sertifikasi halal , penghargaan , dsb )
|
03
|
Costumer Satisfaction (
upaya – upaya untuk meningkatkan kepuasan konsumen )
|
04
|
Masalah komputer ( MKT ) 2000 /
Y2K
|
06
|
Iklan yang terlalu
mengekploitasi konsumen
|
07
|
Spesifikasi produk, umur
produk, aspek masa berlaku dsb
|
Sumber : Muslim Utomo, 2000
PENGUNGKAPAN
SOSIAL TEMA TENAGA KERJA
No
|
Item
pengungkapan aspek Sosial
|
01
|
Jumlah tenaga kerja
|
02
|
Keselamatan kerja ( kebijakan
dan fasilitas keselamatan kerja )
|
03
|
Kesehatan ( termasuk fasilitas
dokter dan poliklinik perusahaan )
|
04
|
Koperasi karyawan
|
05
|
Gaji / upah
|
06
|
Tunjangan dan kesejahteraan
lain ( termasuk UMR , bantuan masa krisis untuk keluarga karyawan, asuransi
dan fasilitas transportasi )
|
07
|
Pendidikan dan latihan (
termasuk kerjasama dengan perguruan tinggi )
|
08
|
Kesetaraan gender dalam
kesempatan kerja dan karir
|
09
|
Fasilitas peribadatan (
termasuk fasilitas peribadatan dan peringatan hari besar agama)
|
10
|
Cuti karyawan (termasuk cuti
yang diperlukan oleh pekerja wanita )
|
11
|
Pensiun ( termasuk pembentukan
atau pemilihan yayasan dana pensiun )
|
13
|
Kesepakatan Kerja Bersama ( KKB
) dan Serikat Pekerja
|
14
|
Turnover pekerja ( termasuk pengurangan
kerja dan rekrutmen )
|
Sumber : Muslim Utomo, 2000
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking