I
GENERAL PRICE LEVEL ACCOUNTING
Di Indonesia, General Price Level
Accounting dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum menyatakan bahwa nilai
sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh barang atau jasa yang
dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa inflasi ataupun
deflasi, jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan nilai uang
nominal yang konstan, yang berarti bahwa daya beli Rupiah berubah. Akuntansi
tingkat harga umum akan mengadakan penyajian kembali komponen-komponen laporan
keuangan ke dalam Rupiah pada tingkat daya beli yang sama, namun sama sekali
tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam akuntansi
berdasarkan nilai histories.
Penyesuaian atas besaran keuangan
untuk inflasi guna mencerminkan nilai harga umum atau tingkat harga umum dan
penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi. Perubahan
tingkat harga umum dapat dihitung atau diukur dengan indeks harga. Indeks harga
yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu suatu indeks yang
menyajikan perubahan periodic dalam biaya kelompok barang-barang terpilih yang
dibeli konsumen yang digunakan sebagai ukuran inflasi.
Penyusunan berdasarkan nilai
historis disesuaikan menjadi berdasarkan tingkat harga umum dapat dilakukan
dengan mengkonversikan nilai historis dengan factor konversi menjadi tingkat
harga umum.
Dalam penyusunan berdasarkan tingkat
harga umum perlu diperhatikan pos-pos yang akan terpengaruh dengan adanya
penurunan daya beli Rupiah, yaitu:
1. Monetery assets, seperti kas ditangan,
surat-surat berharga, dan pos-pos piutang dan lain-lain yang sifatnya sebagai
dormant account akan mengalami pengaruh penurunan daya beli secara berarti
karena rekening-rekening tersebut tidak dapat lagi dinilai (di-appraisal)
2. Non monetary assets secara riil tidak
mengalami pengaruh penurunan daya beli, tetapi dari sudut akuntansi merupakan
pos yang terkena pengaruh penurunan harga beli. Akan tetapi hal tersebut tidak
menjadi masalah yang serius karena rekening-rekenig tersebut dapat dinilai.
Assets dalam bentuk valuta asing
tidak dipengaruhi oleh penurunan daya beli Rupiah karena dapat dinilai dengan
kurs yang terakhir.
Kontroversi
yang berkaitan dengan kerelevanan GPLA telah dan masih berlangsung hingga saat
ini. Sejumlah argumentasi yang mendukung telah dikembangkan (Richard &
Myrtle 1995):
Laporan
keuangan yang tidak disesuaikan dengan tingkat harga umum atau dengan kata lain
disajikan berdasarkan nilai historis tidak mencerminkan perubahan kemampuan
atau daya beli (purchasing power) dari bermacam-macam aset dan klaim dalam
perusahaan. Sedangkan laporan yang disajikan berdasarkan tingkat harga umum
menyajikan data yang mencerminkan purchasing power dari aset dan klaim dalam
mata uang tertentu pada akhir periode.
Conventional
historical-cost accounting tidak mengukur pendapatan (income) dengan sewajarnya
sebagai hasil matching Rupiah dalam laporan laba rugi. Beban-beban yang telah
terjadi pada periode sebelumnya dikontrakan dengan pendapatan-pendapatan yang
umumnya dicerminkan dalam nilai Rupiah tertentu pada saat ini. General
price-level accounting menyediakan konsep matching pendapatan dan beban yang
lebih baik karena menggunakan nilai uang konstan (common value).
General
price-level accounting relatif mudah diterapkan. Hanya sekedar mengganti “nilai
lama” dengan “nilai saat ini”. General price-level accounting mencerminkan
konsep terakhir dari Prinsip Akuntansi Umum (General Accepted Accounting
Principles). Sebagai akibatnya, dirasa relatif lebih obyektif dan dapat diuji kebenarannya.
Karakteristik tersebut yang menyebabkan general price-level accounting lebih
dapat diterima dibanyak perusahaan dibanding current-value accounting.
General
price-level accounting menyediakan informasi yang relevan bagi manajemen dalam
evaluasi dan penggunaannya. Jadi laba dan rugi berdasarkan tingkat harga umum
dihasilkan dari penanganan item-item moneter yang merefleksikan respon
manajemen terhadap inflasi. Pada akhirnya, general price-level accounting
menyajikan pengaruh inflasi secara umum terhadap laba dan menyediakan hasil
investasi (rate of returns) yang lebih realistis. Relevansi lebih
berkepentingan dengan masa sekarang dan masa mendatang, karena itu informasi
yang didasarkan pada nilai historis dianggap kurang relevan untuk tujuan pengambilan
keputusan khususnya dalam kondisi ekonomi yang cenderung mengalami inflasi.
Disisi
lain, penolakan terhadap general price-level accounting didasarkan pada
beberapa argumentasi berikut ini:
Kebanyakan
studi empiris mengindikasikan bahwa relevansi dari informasi tingkat harga umum
juga lemah atau dengan kata lain tidak dapat diterima. Penelitian-penelitian
selanjutnya diharapkan lebih dapat memberikan jaminan sebelum adanya kesimpulan
yang dapat dicapai sehubungan dengan tingkat relevansi informasi tingkat harga
umum dan kemampuan untuk mengintepretasikan hal tersebut secara penuh.
Tingkat
harga umum merubah rekening hanya untuk perubahan dalam tingkat harga secara
umum dan tidak merubah rekening ke dalam tingkat harga tertentu. Jadi,
penanganan laba dan rugi untuk aset-aset non-moneter tidak diakui dan para
pengguna data yang disesuaikan pada tingkat harga umum mungkin mempercayai
bahwa perubahan nilai-nilai telah berkorespondensi dengan nilai-nilai saat ini.
Pengaruh
atau akibat adanya inflasi akan berbeda dalam berbagai perusahaan.
Perusahaaan-perusahaan yang intensif modal akan lebih dipengaruhi oleh inflasi
dibanding dengan perusahaan-perusahaan yang dipenuhi dengan aset-aset jangka
pendek.
Biaya-biaya
diimplementasikan lebih besar dari nilai pokoknya dalam general price-level
accounting dibanding benefitnya.
Beberapa
peraturan yang dikeluarkan oleh Financial Accounting Standard Board (FASB) di
USA juga masih tidak memberikan kepastian mengenai perlu tidaknya penggunaan
general price-level accounting, diantaranya:
Statement
No.33 yang mengharuskan beberapa perusahaan tertentu untuk menyajikan informasi
tambahan dengan menggunakan general price-level accounting dan current cost
accounting.
Statement
No.89 menyatakan bahwa informasi tambahan dengan general price-level accounting
dan current cost accounting sebaiknya disajikan tetapi tidak diharuskan.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia bahwa informasi tambahan
antara lain mengenai pengungkapan pengaruh perubahan harga bersifat tidak mengikat.
(SAZ KAUKES)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking