Trending Template
Maandag 25 November 2013
Agama, Perubahan Sosial dan Sublimasi Identitas Sutrisno Abdullah
Agama, Perubahan Sosial dan Sublimasi Identitas
Sutrisno Abdullah
Abstract
Position of religion in social change is a discourse that has ‘ceased’ and finished in theoretical polarity, between materialism and idealism. The latent pull of both materialism and idealism has emerged obviously since early capitalism era. Nowadays is an era that almost viewed as to cease idealism position after Max Weber. Prescription that religion should be innovative to respond reality of social structure is to say that religion should be adaptive. This long process is a reading about identity sublimation as well as weakening of truth interpreter authority. The new phase of history is ready to begin.
Keywords: religion, social change, identity sublimation, truth interpreter, authorithy, idealism, materialism
Eksplorasi pendekatan tentang hubungan agama dengan perubahan sosial Moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia mulai ‘jungkir balik’ secara dramatik sepanjang sejarah peradaban umat manusia ketika kapitalisme yang sesungguhnya lahir secara utuh. [1] Hugh Dalziel Duncan [2] melukiskan kapitalisme sebagai peradaban yang bercirikan uang, dimana uang pertama kali dipercakapkan dalam ranah peristilahan transendental. Perjuangan demi keadilan ekonomi merupakan reduksi legal dari setiap terma perjuangan demi keadilan. Pada babak yang lebih matang, perubahan uang dari lambang kejahatan menjadi lambang kebaikan. [3] Hugh mengutip Bernard de Mandeville bahwa dalam babak peradaban baru ini agama adalah satu hal dan dagang adalah hal lain. Bagaimana formasi agama dalam babak sejarah yang dianggap baru sepanjang peradaban?
Wacana agama dan ‘perubahannya’ hari ini menjadi penggalan pendek dari garis sejarah peradaban. Hubungan agama dengan negara; hubungan islam dengan demokrasi; islamisasi ilmu atau hindunisasi ilmu; ekonomi islam; kebangunan islam; fundamentalisme agama dan pembaharuan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari grand wacana hubungan panjang dan (mungikn) tidak pernah selesai antara agama dengan perubahan sosial. Hubungan tersebut dibangun dari rumusan pertanyaan dan ragam tesis mengenai letak agama dalam perubahan sosial hari ini.
Merujuk Max Weber (1864 – 1920), agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Setelah pengikut Weber dari Amerika, Talcot Parson, menterjemahkan karya Weber kedalam bahasa inggris dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism tahun 1958, buku Weber ini menjadi bacaan wajib bagi para penggemar sosiologi. Namun Weber, bukanlah manusia ‘hari ini’, tesisnya mengenai agama sebagai motor perubahan sosial itu dilahirkan sekitar seratus empatpuluh tahun yang lalu . Hari ini kelihatannya yang terjadi sebaliknya, agama (utamanya) melalui instrumen teologinya harus mengejar ‘kebaruan’ pola interaksi sosial. Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Tesis ini berangkat dari sebuah teori kritis yang menyeruak sekitar tahun 60-an utamanya melalui Mazdhab Frankfurt. Atau, pada tataran epistemologi menjadi sebuah alternatif atas metodologi positivistik.
Sehingga paling tidak hingga hari ini, hemat saya, terdapat tarik – menarik yang begitu besar pada wacana yang berpengaruh dalam hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Pertama, pendapat yang menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Kedua, lebih dipicu oleh ‘kegelisahan’ terhadap perkembangan kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak terhadap kontrol agama, berpendapat kondisi hari inilah yang harus (dirubah) menyesuaikan (teks-teks) agama.
Pendapat yang pertama tersebut menempatkan agama sebagai suprastruktur sosial. Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial diluarnya. [4] Bahkan entitas ‘luar agama’ itu bisa jadi mendikte (perubahan) agama. [5] Agama terus berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya. Karen Amstrong bahkan menggunakan term Tuhan (God), A History of God dalam menggambarkan betapa ‘agama’ terus berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya. Tuhan berevolusi.
Sebuah buku terbitan Cross Cultural Publication tahun 1994 yang diedit George B. Grose dan Benjamin J. Hubbart, The Abraham Connection: A Jew, Cristian and Muslim in Dialogue, diterjemahkan ke Indonesia Tiga Agama Satu Tuhan oleh Penerbit Mizan, tahun 1998 persis memperkuat tesis Karen Amstrong dalam cara penuturan yang jauh berbeda. Buku ini disambut ‘biasa’ saja oleh pengamat (perilaku) ke-agama-an atau para agamawan. Hemat saya buku hasil dialog pemuka tiga agama, yaitu antara David Gordis (Yahudi), George Grose (Kristen) dan Muzammil Siddiq (Islam) ini ‘luar biasa’. Karena titik temu agama - agama yang selama ini didengungkan melalui wacana teologi, atau lebih dari itu melalui semacan etika, moralitas agama yang dikandung, maka buku ini merupakan eksplorasi serius ‘kesatuan’ agama - agama melalui sejarah yang otentik dan mudah dilacak. Mengutip Kitab Suci masing-masing malah semakin menunjukan otentisitas ‘kesatuan’ agama itu. Kesan yang dapat ditangkap, polarisasi menjadi tiga agama adalah persoalan interpretasi dibalik struktur sosial yang mendasarinya.
Ketika Karen Amstrong mengeksplorasi bagian “Kematian Tuhan” menuliskan: “Kaum muslim tidak mempunyai banyak waktu atau energi untuk mengembangkan pemahaman tradisional mereka tentang Tuhan. Mereka sibuk dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat…. Di Barat, “Tuhan” dipandang sebagai suara keterasingan; di dunia islam suara tersebut berasal dari proses kolonial Karena tercerabut dari akar budaya sendiri, orang–orang merasa kehilangan arah dan putus asa. Sebagian pembaharu Muslim berupaya mempercepat langkah kemajuan dengan cara paksa meletakkan islam pada posisi minor”. [6]
Tesis yang dikembangkan Keren Amstrong tersebut mensejajarkan agama dengan ide, filsafat, seni, hukum dan ideologi berada pada posisi super struktur dari infrastruktur material. Secara substantif tesis ini bukan baru, bahkan jauh melampaui masa kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir ilmuwan muslim kelahiran Tunisia, Ibn Khaldun (1332–1406). Khaldun meneliti pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial primitif dan modern, hubungan antar kelompok dan berbagai fenomena kultural (kesenian, kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau kohesi sosial). [7] Sungguhpun demikian dalam sejarah khasanah intelektual islam tesis semacam ini dipersoalkan sebagai sebuah masalah teologik, bukan sebuah persoalan keilmuan yang positiv dalam matra epistemologik atau metodologik. Sehingga aktifitas keilmuan yang bertumpu pada metode induktif di kalangan muslim terhenti karena studi empirik (induktif) yang lahir dari pendekatan Ibn Khaldun dihampiri secara deduktif-teologik. [8] Kritik terhadap perspektif Khaldunian [9] secara keilmuan (bukan bentuk kritik teologiknya) sulit ditemui dikalangan ilmuwan muslim. Kritik yang relefan hanya dapat ditemukan ditemukan pada perspektif idealistik yang bermuara dari pandangan Alfred North Whitehead yang menyatakan “ide umum selalu mengancam tatanan yang ada”. Kemudian Auguste Comte, Frederich Hegel dan kajian induktif secara monumental bermuara pada Max Weber dalam studinya mengenai hubungan agama dengan perkembangan ekonomi.
“Perang dingin” teologi di kalangan muslim terjadi dalam merespon implikasi perspektif. Perspektif materialism menempatkan agama hanya sebagai bagian dari ragam institusi yang ada di dalam masyarakat dan ‘berlokasi’ diujung mata rantai ketika terjadi perubahan sosial. Ilyas Ba.Yunus [10], sosiolog dari The State University, New York mengkritik tajam pendekatan yang disebutnya sebagai bias Barat ini dari ranah epistemologis. Bahwa kesalahan besar pandangan ini adalah menempatkan agama sebagai segmen atau bagian kecil saja dari masyarakat. Tangkisan untuk menolak tesis mengenai agama sebagai supra-struktur dari infrastruktur material adalah bahwa tesis tersebut hanya belaku pada pengalaman sejarah Barat – Kristen. Unsur pengalaman Barat seperti sekularisme [11], pemisahan agama dari kehidupan publik tidak terjadi dalam masyarakat muslim.
Kemudian sekularisme seperti sontak tiba – tiba menjadi tema utama yang menantang sejak proses perubahan struktural di masyarakat dunia ketiga pada tahun 60-an. Pergeseran struktural sebagai sebuah data empirik ke arah defferensiasi struktural yang gelagatnya menyamai sistim sosial Barat sulit diingkari sebagai sebuah kenyataan. Meminjam istilah Anthony Giddens gerak itu ibarat Jugernout, truk besar yang melaju tak terkendali.
Tesis yang menempatkan agama sebagai suprastruktur sama dengan penonjolan sisi antroposentris dibandingkan sisi teosentrisnya. Term antroposentris difahami bahwa agama kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan. Human (sisi kemanusiaan) sebagai dasar segala aktifitas, maka spiritual maupun ritus akan selalu disandarkan dalam konteks kemanusiaan. Sisi humanitarian ini ‘kehadirannya’ hanya dapat wujud pada aktualisasi interaksi sosial. Sementara sisi teosentris memandang Tuhan diatas segalanya; ‘ketundukan’ manusia adalah dalam rangka ketundukan itu sendiri tanpa harus dimengerti sebagai prosesi imanensi.
Agama bagaimanapun (selalu) menampilkan dua sisi tersebut (antroposentris dan teosentris). Pada masyarakat islam, kita dapati bagaimana ummat memperlakukan (tafsir) Al Qur’an; posisi antroposentris (humanetarian?) ketika memandang Al Qur’an yang kehadirnya semata mata sebagai petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja ‘tersembunyi’ tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus perbedaan keberlakuan tesis ini pada komunitas Islam Suni dan Islam Syiah. Dikalangan Suni pembaharuan pemikiran islam terasa lebih progresiv, barangkali watak teologinya yang ‘meminimalkan’ perlunya kema’suman keturunan. Ini maknanya kalangan Suni akan lebih adaptif terhadap gagasan demokrasi. Dengan demikian dalam Suni doktrin otoritas atas tafsir rawan sekali goyah, dalam pengertian ini doktrin Suni lebih bernuansa antroposentris dibandingkan dengan sahabatnya kalangan Syiah.
Fenomena Ulil Abshar Abdalla, misalnya, bukanlah pemandangan baru (dalam Suni), dimana involvement “orang kebanyakan” dalam pemikiran agama kemudian berimplikasi pada semacam gugatan terhadap sistem otoritas ulama. Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah mengomentari kiprah Ulil sebagai dekonstruksi agama (islam) tanpa rekonstruksi. Hemat saya, pada tataran sosiologis, dekonstruksi pemikiran islam yang dilakukan Ulil sekaligus menampilkan tawaran [12] (re)-konstruksi pada tataran sistem otoritas agama. Nuansa pesan sosiologis ini pernah diperkenalkan oleh Abdul Munir Mulkhan, sosiolog agama dari Yogyakarta pada dua tahun sebelum kasus Ulil populer dalam kolomnya di Dwi Mingguan Gatra, 23 September 2000. Ia menulis dengan tajuk “Islam Bagi Semua”: “Seorang muslim, pemeluk agama lain atau ateispun terbuka untuk mengapresiasi, memahami dan mengamalkan ajaran Islam, terutama ajaran hubungan sosial. Hal ini juga tidak mesti dilakukan dengan membaca atau menafsisr ayat–ayat Al Qur’an dan sunah, melainkan bisa juga dari wahyu model kedua atau sumber kedua.”
Jauh lebih mendasar gugatan terhadap sistem otoritas agama itu ditujukan terhadap syarat–syarat menafsir ‘kebenaran’ agama yang disusun ulama dalam ilmu syariah, tafsir dan tauhid, 10 abad yang lalu. Seperti ungkapan Mulkhan berikut: “…pernyataan bahwa hanya orang islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Qur’an bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Qur’an hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elit yang Arabis.”
Sublimasi identitas
Kolom Munir Mulkhan Gatra tersebut merangsang pertanyaan, bagaimana gambaran sebuah keberagamaan tanpa otoritas ? Inikah yang akan menjadi tren keberagamaan masa depan ? Gejalanya menunjukan kearah realitas tersebut, sebut saja Jaringan Islam Liberal (JIL) yang lahir dari rahim lanskap kebebasan penafsiran kebenaran agama tanpa wujud otoritas. Dimotori oleh mereka yang meneguk ilmu islam dari sumber (keislaman) tradisional, tapi mereka diasuh dalam buaian ruh masyarakat kota yang serba cair. Model keberagamaan yang dikembangkan JIL ini bagaikan gayung bersambut untuk menjadi pengisi perangkat lunaknya generasi baru umat yang oleh Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2001; 130) disebutkan pengetahuan agama mereka tidak didapatkan dari lembaga islam konvensional.
Meskipun ‘gerakan’ semacam JIL menarik diri dari upaya yang bersifat advokatif secara langsung namun memberikan ruh emansipatoris yang kuat bagi generasi baru yang oleh Kuntowijoyo di atas dikenalkan sebagai muslim yang tanpa masjid. Generasi baru yang sekarang ini (atau sejak 1998) bermain pada gerakan politik jalanan dari rentang ideologi gerakan yang paling kiri hingga ke ujung kanan . Kuntowijoyo (2001;130) menggambarkan berikut “Kita tidak boleh sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas KUI, MUI, ormas – ormas dan tokoh-tokoh islam lalu mengnggapnya bukan muslim”.
Realitas mengilustrasikan betapa batas antara Umat Muhammad dengan yang bukan dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi dan defferensiasi menjadi sangat sublim. Gugatan Forum Umat Islam (FUI) yang dikomandoi KH. Atian mengenai tulisan Ulil di Harian Kompas (18/11/2002), menyatakan Ulil sebagai berbahaya bagi islam merupakan penggalan kecil dari sublimasi identitas itu [13]. Begitu pula dalam issue mengenai konflik Irak – Amerika, tidak begitu mudah meyakinkan massa islam bahwa konflik tersebut bukanlah soal agama.
Sangat pentingnya sebuah identitas (keagamaan), baik Ulil Abshar maupun Atian pada substansi perdebatannya lebih cenderung bergeser pada persoalan ‘perebutan’ identitas islam. Persoalan perlunya indentitas ini semata persoalan sosiologis, adanya pergesekan-pergesekan otoritas keagamaan. Bukan teologis yang berfungsi menimbang apakah seseorang beriman atau tidak. Dan, dalam kasus Irak – Amerika, identitas keagamaan ini menjadi sebuah komoditas politik. Struktur kognisi masyarakat sangat sulit menerima ucapan Pramudya Ananta Toer, misalnya, bahwa dirinya ateis. Pernyataan itu dianggap sebuah pernyataan yang mengejutkan, tapi juga cukup maklum karena yang mengatakannya sudah tanpa identitas (jelasnya dia tidak bisa mengatas namakan ‘bahasa’ agama karena tanpa otoritas).
Sebuah realitas akan sulit difahami hanya semata dari pendekatan normatif agama. Ilustrasi terbaru pada kasus Inul. Dalam masyarakat muslim Indonesia, bagaimana ‘wejangan’ susila yang secara substantif diakui publik sebagai norma yang dirumuskan agamanya kemudian patah melalui gesekan opini publik ? Yang justru menyudutkan Rhoma Irama pada ‘ketidak-populeran’ dalam serangakain pergesekan opini publik tersebut. Dalam khasanah komunikasi opini publik terdapat tawaran ‘teori’ bahwa penampilan opini dipengaruhi oleh siapa yang ada dibalik atau dibelakang layar opini. Kawan – kawan fundamentalis (islam) seringkali menggemari teori ini. Pada kasus Inul, popularitas Inul, menurut teori ini, digarap seorang arsitek public opinion (disebutlah nama Arswendo Atmowiloto). Media apa saja yang dipegang oleh Arswendo, tambah teori ini akan mampu menguasai aras publik.
Teori ini sangat strukturalis. Problemnya, bagaimana menjelaskan proses pengaruh aktor dibelakang layar – Arswendo -- dalam pergulatan normatif struktur kognisi masyarakat? Atau, kembali pada rumusan di atas bagaima kubu Rhoma Irama yang nota bene ‘lebih mewakili’ nilai agama secara subtantif menjadi tidak populer dalam pergesekan opini publik? Teori ini buntu memahami proses (pergeseran) struktur kognisi itu. Oleh karena itu harus ada asumsi sebelumnya tentang telah adanya sebuah perubahan yang sangat fundamental dalam struktur kognisi melalui proses sejarah panjang pergulatan agama dengan perubahan sosial. Asrwendo dalam konteks ini tidak dalam kerangka merubah struktur kognisi masyarakat, tetapi cukup menumpangi perubahan dalam masyarakat yang sedang mengalir. Arswendo “menegaskan” adanya sebuah realitas yang sedang berubah itu.
Ilustrasi menarik sekitar perpolitikan post-Suharto. Tanggal 21 Mei 1998 mahasiswa radikal di politik jalanan menduduki gedung MPR/DPR itu sujud syukur menyaksikan Suharto lengser. Kuntowijoyo terperangah, dalam komentarnya; “ternyata mereka muslim juga!”. Tapi umat dibuat kecewa lantaran kemudian ternyata Habibie-pun ditolak, padahal waktu itu Habibie relatif representasi dari islam. Keraguan terhadap mereka melahirkan counter dari masyarakat dan mahasiswa ‘yang lebih muslim’. Dan mereka berbondong - bondong berangkat dari Mesjid Al Azhar dan Istiqlal pada hari Jum’at dengan menggotong spanduk berisi dukungan terhadap Habibie. Bentrok fisik dua kelompok penolak dan pendukung Habibie itu tak terhindarkan.
Mahasiswa itu, pada sisi lain, ‘menyatu’ dalam menolak Sidang Istimewa (10-14 November 1998) sehingga sama-sama berhadapan dengan Pam Swakarsa yang mendukung SI. Pada kesempatan bentrok anggota Pam Swakarsa yang memang kebanyakan ‘soleh’ itu berteriak “Pak, mereka itu bukan orang islam!.”
Generasi baru Muslim ini, mengikuti Kuntowijoyo, lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Hasilnya, mereka hampir menafikan adanya otoritas sosial dalam menafsir kebenaran agama. Sekali lagi, ‘ruh’ keberagamaan yang ditiupkan JIL mendapatkan signifikansinya. Lagi, ilustrasi menarik pada peringatan Peristiwa Semanggi di hari ke-40, dimana Cak Nur menghimbau agar mahasiswa membatalkan acara itu. Cak Nur meragukan kemurnian niat ibadah mahasiswa. Tapi acara itu berjalan terus, dan mulus. Malah sementara mahasiswa kembali mencurigai Cak Nur sebagai telah tergadaikan idealismenya.
Persoalan sublimasi identaitas muslim (islam) ini sesungguhnya bukan pemandangan baru dalam sejarah islam. Tidak hanya terjadi pada hari ini ketika masyarakat terdeferensiasi sedemikian rupa, meskipun pada masyarakat kontemporer kompleksitasnya sangat jauh berbeda dengan masyarakat klasik. Bagi Peter L. Berger, [14] sublimasi identitas ini nyaris tidak dapat dihindari dalam masyarakat plural. Meskipun dalam teori budaya (Budaya Massa) yang terjadi adalah homogenisasi budaya. Sublimasi identitas juga harus bermain dengan intensitas plural yang semakin tinggi. Sehingga persoalannya dapat dirumuskan, bagaimana seorang beragama bisa mendifinisikan dirinya ditengah – tengah agama lain. Eksplorasi atas pertanyaan seperti ini paling rajin dimuatkan di Harian Kompas, dibandingkan dengan harian lain. Mudah difahami kalau kalangan islam ortodox tidak ragu untuk menyatakan mempunyai jarak ‘ideologis’ dengan harian ini.
Ragam bentuk pembaruah (pemikiran) agama atau teologi hadir dalam kerangka merespon persoalan yang dirumuskan tersebut di atas sebagai akibat dari gerak sturktur sosial yang tak terkendali. Kebanyakan bangunan teologi mengasumsikan gerak struktur sosial tersebut sebagai sebuah keniscayaan. Sebutlah wacana teologi diujung paling kanan, Pembaruan Pemikiran Islam yang dilakukan Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang diintrodusir tahun 70-an, menempatkan perspektif ‘modernitas’ sebagai kenyataan sejarah. Ummat Islam, menurutnya harus meletakkan agama sebagai sebuah realitas ‘tersendiri’ dari wilayah negara ( publik atau politik), yang kemudian terkenal dengan jargon “Islam yes, politik no”. Tesis ini, hemat saya, mempunyai paralelitas dengan konstruksi teoritik Emile Durkheim tentang pemisahan agama secara analitik dalam dua wilayah kerja, wilayah sakral dan wilayah profan. Term sekularisasi mendapatkan legitimasi etik melalui rekonstruksi dialektika pemahaman antara filsafat moral yang bersumber dari sejarah dan konteks sosial hari ini ( dinamika struktural yang tak terkendalikan), walaupun bagi Cak Nur term itu dibedakan secara tegas dengan ‘sekularisme’.
Tentu saja gagasan pembaruan dari Cak Nur selain mendapatkan hasil akomodasi struktural pada tingkat sosial – politik juga mengundang bangkitnya model teologi yang berseberangan. Yang dapat dibaca sebagai melahirkan kontradiksi internal ummat Islam Indonesia. Tren teologi yang lahir pada post pembaruan Cak Nur, misalnya (model ini longgar saja, perlu eksplorasi lebih jauh); revivalis atau salaf ( kebanyakan kaum skriptualis – fundamentalis); revolusi (mengingatkan Ali Syariati); emansipasi–liberasi (bermuara pada Hassan Hanafi) ; transformatif atau empowerment (Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Muslim Abdurrahman); pencerahan dan revitalitas (masih variasinya Cak Nur walau agak sedikit lain, seperti Kang Jalal, JIL ). Munculnya teologi transformatif merupakan reaksi dari adanya keprihatinan terhadap kontradiksi internal di Indonesia pada post pembaruan Cak Nur ini. Menurut teologi transformatif ini model teologi yang dikembangkan Cak Nur dan beberapa reaksi atasnya kurang terlibat dalam menjawab persoalan aktual umat islam.
DR. Abuddin Nata [15] menggali sebanyak 12 bentuk gerakan teologi di Indonesia. Keduabelas gerakan teologi tersebut pada dasarnya mempunyai rujukan dalam sejarah islam, walaupun banyak diantaranya sangat sumir, yaitu Islam Fundamentalis, Islam Teologis—normatif, Islam Eksklusif, Islam Rasional, Islam Transformatif, Islam Aktual, Islam Kontekstual, Islam Esoteris, Islam Tradisional, Islam Modernis, Islam Kultural, Islam Inklusif-Pluralis.
Otoritas penafsir kebenaran itu
Kemajuan sebuah masyarakat, seperti telah disinggung di atas pada dasarnya ditandai semakin melebarnya deferensiasi struktural dibarengi ketajaman spesialisasi, sekaligus homogenisasi budaya. Pada derajat tertentu realitas ‘kemajuan’ yang digambarkan ini bersifat antagonis, dengan berkembangnya perbedaan yang membengkak sekaligus diikuti homogenisasi. ‘Kesadaran’ tentang antagonisme semacam ini diintrodusir dalam pandangan – pandangan yang dikembangkan Antony Giddens. Pandangan Giddens ini melengkapi Auguste Comte ( lahir 1798 ). Tutur Comte perjalanan sejarah masyarakat manusia berujung pada sebuah ‘agama generik’, Comte menyebut agama humanisme. Giddens menambahkan ujung sejarah sesungguhnya berada pada kompleksitas ( dualitas yang antagonis ), tidak sesederhana yang digambarkan dalam hukum tiga tahap. Masyarakat era positivistik sebagai tahapan akhir dari perkembangan masyarakat itu ternyata mengandung kontradiksi - kontradiksi didalamnya.
Era positivistik menempatkan ilmu menjadi ‘panglima’, sebuah perkembangan dari dua tahap sebelumnya yaitu tahap teologik dan tahap metaphisik. Positifistik merupakan konsepsi serta merta menempatkan otoritas kebanaran ada pada ilmu, bukan pada filsuf atau gereja seperti tahap sebelumnya. Gerak sosial hanya dapat difahami melalui pencerapan hukum ( sosial ) positiv, sosiologi-lah yang yang dimaksud agama baru itu. Sesungguhnya sebuah rumusan yang (sebelumnya) susah dibayangkan. Karena ilmu jauh lebih bersifat abstrak dibandingkan filsuf atau gereja maka ilmu dengan demikian seperti halnya agama dan filsafat membutuhkan institusi (wadah) untuk melekatkan diri, dimana kemudian institusi tempat melekatnya ilmu itulah sebuah otoritas ilmu. Disinilah persoalannya, dalam kerangka Giddens, dalam realitas ini terdapat kontradiksi. Institusi cenderung birokratik, sebuah kondisi dimana memungkinkan slip of its substanstial goul, seperti halnya institusi agama menggerogoti substansi nilai agama.
Tetapi sangat sulit dibayangkan pada tataran praksis dimana sebuah abstraksi nilai beroparasi tanpa institusi (baca : organisasi ). Maka yang dimaksud otoritas ilmu pada masyarakat positivistik kemudian beralamatkan ( address ) pada insitusi kampus. Pada sisi evolusi sosial kecenderungan institutionalized ini dapat juga dibaca sebagai defferensiasi struktural atau gejala impersonalisasi. Struktur sosial impersonal mensyaratkan infrastruktur budaya homogen (homogenisasi budaya), yang kontennya adalah pengakuan terhadap pluralitas.
Penerimaan sisi realitas plural atau pengakuan ‘adanya realitas yang lain’ yang disyaratkan untuk sebutan ‘masyarakat maju’, hemat saya sangat penting memahami apa yang terjadi di kalangan akademisi kampus untuk mengukur jarak kemajuan yang telah ditempuh sejarah. Karena kampus cukup kuat memasok definisi atas realitas; memungkinkan pasokan realitas yang lain (the other reality) dari realitas yang (pernah) ada. Gambaran yang terjadi di dalam kampus, teori-teori ilmu pengetahuan sosial (paradigma sosial?) yang lahir tahun 60-an menjadi energi pengaruh bagi realitas plural yang perlu diperhitungkan. Awalnya, berangkat dari anti positivisme logik kemudian setelah melampaui rasionalisme kritis dan empirisme analitis, berhenti pada hermenetika dan konstruktivisme kritis [16]. Tiga kerangka teori ilmu pengetahuan yang pertama (positivisme logik, rasionalisme kritis dan empirisme analitis) merupakan teori ilmu pengetahuan analitis. Yaitu mempelajari gejala (ilmu pengetahuan) sebagai gejala yang berdiri sendiri. Meyakini ‘kebenaran’ ada didalam dirinya, kemudian inilah yang dimaksudkan universalitas. Sehingga metodologi yang dikembangkan pada ketiga teori pengetahuan ini menampik “anather world is posible”.
Kedua teori ilmu pengetahuan yang terakhir (hermenetik dan konstruksionisme) disebut non-analitik. Mulanya di Indonesia ada perasaan canggung menempatkan teori ilmu yang bersifat non-analitik ini pada bagian ilmu sosial; lebih kuat dugaan ditempatkan pada humaniora. Teori ilmu pengetahuan non analitik ini memungkinkan membuat celah – bolongan kecil – untuk mengintip adanya “yang lain”. Kredo yang ditawarkan, “kebenaran” tidak selalu ada dalam dirinya tetapi bersifat sosial. Celah itulah yang kemudian dengan gagah berani diproklamairkan oleh (teori) post-modern, bahwa ada “kebenaran”yang lain dari “kebenaran” yang ada ini.
Sekitar tahun 1994, ketika saya mahasiswa baru untuk Program Studi Sosiologi sempat bertanya kepada seorang profesor dengan nada serius mengapa tidak dimasukkan Mata Kuliah mengenai (teori) Post-modernisme pada program ini. Jawabnya, karena post-mo tidak menampilkan kejelasan (kerigidan, atu heuristik [17] ? ) teori. Terus terang saya masih tidak mengerti jawaban itu, yang saya ketahui adalah kekuatan wacana post-mo ini dalam membangun opini dunia sekaligus menjadi kontributor praktek sosial; pengakuan adanya ‘yang lain’. Misalkan, di era kontemporer ini banyak bentuk penegasan identitas (de-sublimasi identitas), baik identitas etnik maupun agama mendapatkan energinya dari belakang teori dengan semakin menguatnya dua teori ilmu pengetahuan terakhir tersebut.
Selain persoalan pada kisaran epistemologis tersebut terdapat pula persoalan struktural pada ‘pelembagaan ilmu’ era positivistik hingga hari ini. Temuan – temuan besar dalam ilmu, apalagi dalam ilmu sosial, pada dasarnya selalu lahir dari kerja individual. Bukan dari pencarian ‘gotong--royong’, ada kecenderungan jawaban psikologis bahwa temuan ilmu sacara monumental lahir dari pribadi “nyeleneh”. Pribadi yang tidak dapat di-struktur dalam proses kerja bersama (institutionalized). Institusionalisasi ini cenderung mereduksi proses kreatif manusia. Mudah difahami hadirnya sekolah yang sadar akan pentingnya kreatifitas itu kemudian cenderung meminimalisir aturan atau arahan dalam kurikulumnya.
Kembali kepada persoalan otoritas di atas, kebangkrutan institusi ilmu ini (baca; universitas dan sekolah) menjadi awal babak baru lahirnya ilmu sebagai otoritas yang sesungguhnya. Term impersonal dalam masyarakat kedepan bukan harus difahami sebagai “non-personal dalam arti kelembagaan (baca organisasi)”, tetapi berada dalam sebuah abstraksi nilai, yaitu Ilmu. Pelembagaan atau institutionalized cenderung mengundang personalisasi, dalam bahasa sarkastik adalah feodalisasi. Nasib agama, yang juga abstraksi sebuah nilai, dalam masyarakat impersonal akan sangat bergantung pada eksistensi otoritas ilmu. Organized relegion tidak dapat hadir sepenuhnya dalam struktur masyarakat impersonal, dimana ilmu dapat menjadi otoritas sepenuhnya. Sebaliknya, un-organized relegion hadir dalam struktur masyarakat yang meletakkan ilmu sepenuhny sebagai otoritas, dan kondisi ini dipersyaratkan dalam struktur masyarakat impersonal.
Catatan Akhir
Bagian di atas mencoba menggabarkan kekaburan identitas keberagamaan, pada satu sisi, di sisi lain resistensi terhadap penegasan identitas itu mesti berhadapan dengan kondisi pluralitas (pada wilayah ini kemudian adanya (gerakan) teologi dianggap signifikan). Sesungguhnya banyak faktor yang dapat menjelaskan sebab – sebab sublimasi identitas keberagamaan, selain yang diurai di atas. Merujuk teori klasik, Emile Durkheim (1858-1915) melalui konseptualisasi masyarakat mekanik – masyarakat organik, misalnya. Identitas primordial menjadi tidak penting atau cenderung ditinggalkan dalam pergeseran masyarakat mekanik ke masyarakat organik, maka identitas primordial menjadi sublim. Hemat saya konseptualisasi Durkheim ini paling umum dipakai dalam memahami masyarakat kontemporer. Max Weber, melalui perkembangan rasionalitas. Pada rasionalitas yang paling akhir –rasionalitas legal formal – yang terjadi sebuah imperatif hukum – hukum kontrak formal dan bersifat birokratik. Disini tidak ada ruang bagi sebuah identitas primordial.
Auguste Comte (1798-1844) secara monumental meletakkan konseptualisasi sejarah perjalanan masyarakat, dan prediksi runtuhnya peran agama di tahap akhir perkembangan sosial itu. Banyak kalangan menilai pewacanaan Comte ini sebagai ‘bukan teori’. Comte membagi tiga tahapan perkembangan peradaban masyarakat, dari teologik ke metafisik, dan berakhir pada positivistik. Meskipun konseptualisasinya mengilhami teoritikus klasik, namun yang dianggap sebagai kelemahan adalah meng-otomatiskan atau meniscayakan perkembangan masyarakat dalam tiga tahap secara diskrit. Sehingga menemukan kesulitan jika konseptualisasinya digunakan untuk memotret kondisi masyarakat hari ini. Misalkan, relejiusitas atau bahkan aspek mistis ternyata juga hadir bersama – sama praktek teknologi modern.
Namun, hampir semua teoritikus besar di atas yang membangun tesis bahwa agama dalam sejarah masyarakat manusia akan cenderung ditinggalkan. Bagaimana kita mamahami realitas keberagamaan hari ini dalam kaitan tesis tersebut ? [18] Jawabannya seringkali bertumpu pada apa yang dinamakan “sekularisasi” . Sekularisasi umumnya difahami sebagai berkurangnya peran agama dalam perilaku manusia melalui berkurangnya kekuatan organisasi – organisasi relegius secara progresiv sebagai akibat dari pembangunan politik dan ilmu. Maka sekularisasi, sebuah term yang (selalu) berkonotasi negatif. Hemat saya, setelah Nurcholis Madjid melansir konsep ini (awal dekade tahun 70-an) stigma buruk sekularisasi mulai ‘dikunyah ulang’ utamanya pada kalangan islam kota minus islam ortodok. Biasanya, sekularisasi ini diidentifikasi sebagai ujung zaman, hari ini adalah ujung zaman itu. Wacana yang minoritas memahami sekularisasi sebagai (hanya) bergeseran perilaku keagamaan, tanpa tendensi berkurangnya peran agama [19].
Bagian ini bukan untuk menghakimi nasib agama di ujung sejarah, persoalannya jika kita mengimani apa yang diprediksi nabi tentang asingnya islam di akhir zaman, kita masih belum tahu apakah peradaban manusia hari ini betul-betul telah berada di ujung sejarah itu. Sementara kalau kita meletakkan ujaran nabi tersebut sebagai satire terhadap sistem sosial di ujung zaman maka tugas keberagamaan kita adalah menempatkan kembali posisi hakekat agama dalam setiap signifikansi kehidupan. Maka dalam kontek inilah agama harus difahami sebagai sebuah ajaran yang bersifat universal. Menjadi penting untuk menjelajah ‘universalitas’ agama (islam) karena justru wataknya yang universal, logikanya, ia harus dapat hadir dan hidup mengatasi tempat dan waktu. Persoalan sublimasi yang disinggung di atas adalah persoalan agama menghadapi pluralitas, perdebatan keagamaan tiada standar untuk menghentikan melalui sebuah judgment. Maka pertanyaan mendasar, sejauh mana islam membuka peluang mengabsorbsi pluralitas ? Pertanyaan ini sama rumitnya dengan menanyakan bagaimana sebuah gambaran islam yang asli (otentik).
Islam asli (otentik ), menurut Bassam Tibi ternyata hanya bermaknakan Arab, jadi Arabosentris [20]. Masyarakat Arab bahkan memandang (Islam) Syi’ah sebagai agamanya orang Iran [21]. Mukti Ali ketika memberikan orasi pada konferensi filsafat tahun 1979 mengenai konsepsi orang Indonesia tentang Islam ternyata menimbulkan polemik bagi kalangan profesor Al Azhar, karena menurut mereka hanya ada satu Islam yang monolitik. Yaitu Islam Arab. Zuhairi Misrawi, cendikiawan muda kelahiran Sumenep pernah mepolemikkan Islam dan budaya lokal. Zuhairi mengangkat pertanyaan apakah ludruk yang memerankan laki – laki menyerupai perempuan atau sebaliknya itu dapat direstui Islam Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan penulis Senegal tahun 1982 (dan diplomat Arab), apakah tambur yang mengandung sihir dapat diakui sebagai ritual Islam. Bagi penulis Senegal ini tambur dan kandungan sihirnya membentuk bagian dari kebudayaan mereka, masyarakat Islam Senegal. Jawaban yang sama juga nampaknya diikuti Zuhairi Misrawi.
Maka penelusuran sejarah menjadi sangat lebih penting untuk mendapatkan gambaran otentisitas (agama) Islam dibandingkan merujuk langsung pada teks-teks normatif [22]. Untuk kemudian membedakannya dengan budaya (‘urubah) atau kebiasaan sebuah komunitas. Cara kritis ini dianjurkan Peter L. Berger, dalam terminologi debungking, [23] semacam motif mengikis kepalsuan yang inhern dalam realitas sosial. Out put-nya adalah identifikasi antara sisi historisitas agama dengan sisi normatifitas agama, istilah yang dipakai Amin Abdullah [24]. Dalam wacana keagamaan sesungguhnya manusia hanya sampai pada dimensi historisitas agama, tidak pernah sampai pada normatifitas agama. []
Etikette:
Agama
Teken in op:
Plaas opmerkings (Atom)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking