Trending Template
Maandag 25 November 2013
Teleologi Persepsi ) William C. Chittick State University of New York, USA
Teleologi Persepsi )
William C. Chittick
State University of New York, USA
Abstrak
Karya-karya filosofis Mulla Sadra terutama ditujukan untuk memetakan jalan dalam pencapaian kesempurnaan jiwa manusia. Beberapa kontribusinya yang terkenal dalam kosa kata filosofis, misalnya “kemenduaan sistematis” (systematic ambiguity, tasykik) eksistensi ) dan “gerakan substansial,” ) telah memberikan bantuan yang sangat signifikan dalam menjelaskan bagaimana jiwa memasuki alam ini melalui korporealisasi dan bagaimana jiwa meninggalkan alam ini melalui spiritualisasi. Mulla Sadra yang telah melakukan penelitian yang luar biasa terhadap dalil-dalil untuk menilai kebenaran (modalities) tentang pengalaman alam akhirat, telah membuktikan keinginannya untuk menjelaskan segala kemungkinan yang terbuka bagi jiwa manusia. Untuk memahami penjelasan persepsi di dalam semua karya Mulla Sadra, terlebih dahulu harus dipahami arah dan tujuan persepsi serta sifat-sifat kesempurnaannya. Secara alamiah, jiwa itu mampu mempersepsi. Namun, beberapa jenis persepsi yang dimiliki oleh jiwa hewani tidak cukup dalam pencapaian kesempurnaan manusia, walaupun persepsi tersebut tetap menjadi sifat esensial bagi jiwa. Usaha-usaha manusia untuk menghilangkan segala kekurangan persepsi memegang peranan penting di dalam upaya penyempurnaan jiwa. Disini, konsep yang mungkin paling penting adalah tajrid, “keterlepasan,” yang menunjukkan upaya pembebasan persepsi dari semua bentuk godaan bentuk-bentuk materi dan berusaha melatih persepsi untuk terfokus pada hakikat bentuk tersebut, yakni bentuk-bentuk di dalam wujud akal yang terlepas dan “terpisah” (mufariq) dari setiap jenis keterhubungan dengan wujud materi. Tujuan akhirnya adalah perubahan persepsi melalui perkembangan akal pahaman (acquired intellect) yang sempurna. Setelah itu, jiwa akan mampu memahami bentuk-bentuk hakiki dari setiap maujud, termasuk alam tak berbatas di hari akhir nanti.
************
D
i dalam filsafat modern, kata persepsi biasanya merujuk pada sensasi pisik. Namun beberapa filosof awal sering memahami istilah ini dalam arti yang lebih luas, sebagaimana yang didasarkan pada makna dasar dari bahasa Latin percipio. Demikian juga, para filosof Muslim pun membicarakan masalah persepsi – dengan menggunakan istilah bahasa Arab idrak – dalam pengertian yang lebih luas. Bagi mereka, persepsi berarti pemahaman dan pencapaian pengetahuan dengan berbagai cara, mulai dari pemahaman terhadap binatang sampai pada pengetahuan tentang Tuhan, dalam berbagai tingkatan yang berbeda-beda, dari sensasi pisik sampai penampakan akal.
Di dalam filsafat Mulla Sadra, konsep persepsi memegang peranan yang sangat penting di dalam menjelaskan sifat-sifat wujud dan menganalisis tujuan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa filsafat Mulla Sadra cenderung sebagai “psikologi” dari sudut pandang filsafat pra-modern. Dengan kata lain, Sadra mencoba untuk menyediakan suatu pandangan yang menyeluruh terhadap hakikat manusia beserta seluruh cabang-cabangnya dan memberikan pemetaan jalan bagi diri manusia untuk dapat mencapai puncak tertinggi dari semua kemungkinannya, yakni kemungkinan yang berakar pada kemampuannya untuk memahami segala sesuatu.
Persepsi
Pada bagian akhir dari bagian pertama empat kitab al-Asfar, Mulla Sadra memberikan berbagai defenisi sekitar tiga puluh kata yang dianggap perlu di dalam mendiskusikan modalitas pengetahuan (al-‘ilm). Dalam daftar kata tersebut, Mulla Sadra menempatkan kata “persepsi” sebagai kata pertama. Di dalam mendefenisikannya, Mulla Sadra memulai penjelasannya dengan makna literal kata persepsi tersebut. Sebagaimana yang terdapat di dalam banyak kamus bahasa Arab, memang kata “persepsi” ini memiliki banyak makna, seperti halnya perolehan (attaining), pencapaian (reaching), kedatangan (arriving), penangkapan (catching), penggenggaman (grasping), pemahaman (comprehending), dan kecerdasan (discerning). Mulla Sadra menulis,
Idrak adalah “perjumpaan (liqa’) dan kedatangan (wusul).” Ketika potensi akal sampai pada kuiditas ) pahaman akal dan mencapainya, inilah yang disebut persepsi. Di dalam filsafat, makna yang dimaksud dalam suatu kata berhubungan dengan makna harfiahnya. Artinya, persepsi dan perjumpaan yang benar hanyalah perjumpaan dalam pengertian ini, yakni persepsi oleh pengetahuan. Perjumpaan dalam pengertian pisik bukanlah perjumpaan yang sebenarnya. (al-Asfar 3:507, 323.31) 1)
Sebelum sampai pada pembahasan selanjutnya, terlebih dahulu kita harus menyinggung beberapa issu yang muncul dari defenisi persepsi ini. Seperti filosof Muslim yang lain, Mulla Sadra juga menganalisa diri manusia (human self) dengan membaginya dalam berbagai fakultas. Namun di dalam bahasa Arab, kata “fakultas” diterjemahkan menjadi “quwwah” yang juga bisa berarti “potensialitas,” suatu kata yang maknanya diperlawankan dengan “aktualitas.” Dengan demikian, setiap fakultas pada saat yang sama juga adalah suatu potensialitas; dengan kata lain, quwwah pun dapat diterjemahkan sebagai “potensi.” Dua pengertian ini memiliki makna yang sangat penting di dalam semua karya-karya Mulla Sadra, karena analisis-analisisnya terhadap jiwa manusia sangat tergantung pada suatu pandangan yang menganggap jiwa manusia sebagai suatu potensialitas besar yang mengarahkan setiap potensialitas yang lain yang diberi nama sesuai dengan fakultas-fakultas tersebut.
Di dalam defenisi persepsi ini, Mulla Sadra memaksudkan bahwa kekuatan dan potensi diri untuk mengetahuai adalah dengan “potensi akal” (intellective potency). Ketika kekuatan ini mencapai suatu objek, maka ia akan bergerak dari potensialitas ke aktualitas. Adapun derajat aktualitas yang dicapainya menjadi tema dasar yang harus dijelaskan selanjutnya.
Di dalam defenisi ini, Mulla Sadra mengatakan bahwa melalui persepsi, potensi akal akan sampai pada “kuiditas” sesuatu. Dengan kata lain, ketika persepsi terjadi, kita sampai pada pengetahuan “apa” yang menjadi objek persepsi tersebut. Demikian juga, Mulla Sadra menekankan di dalam kata kedua pada daftar kata atau istilah teknis yang dibuatnya, yakni kata syu’ur atau “kesadaran,” bahwa persepsi memerlukan pengetahuan terhadap kuiditas sesuatu. Menurutnya, kesadaran adalah pemahaman sesuatu tanpa “pencapaian kestabilan” (achieving fixity, istitsbat), yakni tanpa (perlu) mengetahui dengan pasti (ascertain) tentang keapaan sesuatu. 2) Mulla Sadra menambahkan, “kesadaran adalah tingkatan pertama dari kedatangan pengetahuan pada potensi akal. Dengan demikian, kesadaran hanyalah persepsi yang belum stabil. Itulah karenanya tidak dikatakan bahwa Allah ‘sadar’ terhadap segala sesuatu” (3:508, 323.34), tetapi dikatakan bahwa Dia ‘memahami’ segala sesuatu.
Sesuatu yang dipahami adalah suatu “pahaman akal” (intelligible), yakni suatu objek yang diketahui oleh akal (intelligence). ) Pahaman akal disebut “bentuk” (surah) sesuatu. Disini, ‘bentuk’ tersebut diperlawankan dengan ‘materi’ (maddah), yakni yang bukan pahaman akal (unintelligible) di dalam dirinya sendiri. Sesuatu yang bisa kita dapat pahami dengan sebenarnya adalah ‘bentuk,’ bukan materi. )
Akhirnya, di dalam defenisi ini Mulla Sadra ingin menegaskan bahwa idrak yang sebenarnya – yakni perolehan, pencapaian, kedatangan, dan perjumpaan yang sebenarnya – berhubungan dengan pengetahuan dan bukan dengan tubuh pisik. Hal ini mengingatkan kita bahwa persepsi terhadap sesuatu yang benar akan tercapai jika pelaku akal (intelligent agent) bertemu dengan objek pahaman akal (intelligible object). Setiap perolehan yang sifatnya pisik hanya akan cepat hilang dan cepat berlalu. Demikian juga, pada tingkat tertentu, nilai kebenaran suatu persepsi yang ‘dikotori’ oleh materialitas pisik akan menjadi tidak sempurna, karena ‘bentuk’ yang dipahami akan dikaburkan oleh media persepsi dan situasi eksternal objek yang dipersepsi tersebut.
Tingkatan-tingkatan Persepsi
Pada daftar istilah penting yang sama, Mulla Sadra juga memberikan defenisi lain yang dapat membantu kita dalam memahami tujuan akhir dari suatu persepsi. Istilah tersebut adalah “dzihn” yang artinya “pikiran.” ) Mulla Sadra menulis, “Pikiran adalah potensi jiwa untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang belum pernah dicapai sebelumnya.” (3:515, 325.35).
Dengan mengikuti pandangan umum filsafat Islam-Yunani (Graeco-Islamic), Mulla Sadra memahami bahwa jiwa atau diri manusia mempunyai beberapa fakultas dan tingkatan-tingkatan aktualisasi yang dimulai dari tingkatan tumbuhan dan hewan. Jiwa tersebut mengatualkan dirinya melalui potensi pemahamannya. Tujuan jiwa di dalam wujudnya adalah untuk bergerak dari potensi mengetahui ke mengetahui secara aktual. Ketika pengetahuan potensialnya menjadi benar-benar aktual, ia tidak lagi disebut sebagai ‘jiwa,’ ia sudah menjadi ‘akal,’ atau ‘akal dalam perbuatan.’ Dalam pandangan Mulla Sadra, potensi jiwa manusia untuk mencapai pengetahuan aktual disebut ‘pikiran.’
Pikiran dapat mengetahui segala sesuatu melalui persepsi. “Persepsi” adalah penyebutan bagi perbuatan yang dilakukan oleh jiwa untuk mengetahui, apapun objek yang diketahuinya. Jika kita memandang persepsi dari sisi ‘yang mempersepsi,’ maka persepsi tersebut mempunyai empat jenis dasar. Dalam setiap persepsi, pikiran bertemu dengan ‘bentuk’ sesuatu, yakni kuiditas atau realitas akalnya, bukan materinya. Namun, keempat persepsi tersebut mempunyai keadaan yang berbeda-beda dalam masing-masing ‘pertemuannya.’ Perbedaan-perbedaan tersebut berhubungan dengan instrumen persepsi dan modalitas eksistensi objek yang dipersepsi (perceptible’s existence).
Tingkatan persepsi yang pertama adalah persepsi indra (al-hiss). Pada tingkatan ini bentuk objek persepsi mewujud di dalam materi, dan yang mempersepsi menemukan bentuk tersebut di dalam wujud-wujud material. Pada dasarnya wujud dari objek-objek tersebut adalah aksiden-aksiden ) Aristotelian, misalnya kuantitas, kualitas, waktu, tempat, dan keadaan. Di dalam eksistensi eksternalnya sebagai sesuatu, bentuk tersebut terpisah dari atribut-atribut aksidental, dan sebenarnya melalui atribut-atribut itulah kita dapat memahami objek tersebut melalui indra. Dan materi yang menjadi wadah tempat bentuk tersebut mewujud, tidak akan pernah dapat dipahami dalam hakikat kemateriannya, karena ia adalah eksistensi yang terjauh dan paling gelap, suatu wujud yang hampir tidak akan bisa diketahui secara tepat sampai kapanpun.
Tingkatan persepsi yang kedua adalah imajinasi (khayal, takhayyul) yang sebenarnya juga mempersepsi objek-objek indrawi dalam semua karakteristik dan kualitasnya. Namun, berbeda dengan persepsi indra, imajinasi dapat memahami suatu objek tanpa perlu mensyaratkan kehadiran objek tersebut bagi indra.
Tingkatan persepsi yang ketiga adalah wahm. (Para filosof) abad pertengahan menterjemahkan kata ini sebagai “estimao,” tetapi pemikir modern tidak sependapat dengan makna yang sebenarnya dari kata ini dan bagaimana menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (yang tepat). Saya (W.C. Chittick, ed.) sendiri menterjemahkannya sebagai “intuisi indra” (sense intuition), hanya untuk memaksudkan statusnya sebagai perantara antara akal dan indra. ) Menurut Mulla Sadra, wahm adalah persepsi dalam makna pahaman akal tetapi pensifatan makna tersebut adalah sesuatu yang partikular, sesuatu yang bersifat indrawi. Di dalam intuisi indra, jiwa memahami sesuatu yang universal, tetapi masih di dalam suatu partikular dan bukan universal itu sendiri.
Tingkatan persepsi yang tertinggi adalah inteleksi (ta’aqqul), ) yakni persepsi terhadap kuiditas sesuatu dan bukan yang lain. 3)
Apa yang membedakan tingkatan-tingkatan persepsi tersebut adalah derajat “keterlepasan” (disengagement, tajarrud), suatu istilah yang memiliki makna penting di dalam tulisan-tulisan Mulla Sadra. Sekali lagi, tajarrud adalah salah satu istilah dimana pemikir modern tidak sependapat dalam menerjemahkannya. Umumnya, kata ini diterjemahkan sebagai “abstraksi,” suatu kata yang mengaburkan makna kata tajarrud yang sebenarnya. 4) Sesuatu “yang terlepas” bukan hanya bebas dan berada di luar materi, tetapi juga berada di dalam suatu wilayah eksistensi dan kesadaran yang kuat. Secara umum, di dalam filsafat Islam, beberapa konsep yang menjelaskan tujuan akhir penyempurnaan manusia, telah memaknai kata tajarrud ini dengan makna yang lebih signifikan. Di dalam arti yang sebenarnya, tajarrud ini dinisbatkan (hanya) kepada Allah, yakni Wujud Wajib dalam diriNya sendiri, karena (hanya) Wujud Wajib-lah yang tidak memiliki keterhubungan maupun keterikatan dengan apapun selain diriNya sendiri. Dalam pengertian yang lebih khusus lagi, tajarrud adalah atribut akal yang mampu melihat segala sesuatu dalam hakikatnya, yakni tanpa gangguan kekaburan yang disebabkan oleh imajinasi dan persepsi indra. 5) Tajarrud ini juga menjadi atribut ) dari bentuk-bentuk atau kuiditas-kudiditas yang dipahami oleh akal.
Menurut Mulla Sadra, empat tingkatan persepsi harus dibedakan berdasarkan derajat keterlepasan yang dicapai oleh objek-objek persepsi (perceptibles).
Tingkatan pertama, yakni persepsi indra, dapat dipahami di dalam tiga kondisi yang ditentukan oleh sifat-sifatnya: pertama, materi harus hadir pada instrumen persepsi, yakni bahwa jiwa memahami sesuatu secara eksternal di dalam wujud materialnya. Kedua, bentuk sesuatu tertutupi oleh kualitas-kualitas dan sifat-sifatnya yang bisa dipahami. Ketiga, sesuatu yang dipersepsi secara indrawi adalah sesuatu yang partikular, bukan universal.
Pada tingkatan kedua, yakni imajinasi, objek-objek persepsi terlepas dari syarat pertama dari tiga syarat pada persepsi indra, yakni objek tersebut terlepas dari wujud material karena kehadiran eksternal sesuatu dalam persepsi imajinasi tidak dipersyaratkan.
Pada tingkatan ketiga, objek-objek intuisi indra terlepas dari wujud material maupun kualitas-kualitas dan sifat-sifat khususnya.
Pada tingkatan terakhir, objek-objek pahaman akal terlepas dari ketiga syarat di atas, karena akal hanya memahami objek-objek universal. 6)
Mulla Sadra menyimpulkan penjelasannya tentang tingkatan-tingkatan persepsi dengan mengatakan bahwa keempat tingkatan tersebut dapat direduksi menjadi tiga saja, karena baik imajinasi maupun intuisi indra, keduanya merupakan penghubung antara akal dan indra. 7)
Tingkatan-tingkatan Wujud
Tiga tingkatan persepsi – indra, imajinasi dan akal – bersesuaian dengan tiga alam yang terdapat di alam eksternal. Ketiga alam tersebut adalah alam pisik, alam imajinasi, dan alam akal. Pembahasan tentang tingkatan-tingkatan persepsi tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang tingkatan-tingkatan wujud. Jika hanya ada satu tingkatan wujud saja, maka hanya akan ada satu persepsi yang sangat sederhana. Dan kenyataannya, demikianlah pandangan sebagian filsafat modern. Dengan mereduksi persepsi hanya sebagai sensasi ) saja, maka hal itu akan menghilangkan wilayah imajinal dan spiritual yang merupakan bagian yang sangat penting di dalam perbincangan filosofis.
Dalam membicarakan tingkatan-tingkatan wujud, yang dimaksud dengan “wujud” dalam hal ini adalah wujud mungkin, atau wujud formal dan terbatas, bukan Wujud Wajib. Wujud di dalam dirinya adalah realitas dasar segala sesuatu, dan oleh karena itu ia di atas semua alam dan di atas semua tingkatan. Di dalam dirinya, wujud tetap tidak akan bisa dicapai, dipersepsi, dan diketahui. Namun, wujud tersebut mempunyai derajat-derajat kekuatan dan kelemahan. Kita dapat mengetahuinya melalui pemahaman tidak langsung di dalam berbagai modalitas tertentu. Semakin tinggi realitas wujud tersebut, ia akan semakin terlepas dari materi serta segala kondisi dan karakteristik sesuatu. Demikian juga, persepsi yang memahami tingkatan (wujud) yang lebih tinggi akan lebih kuat dan semakin langsung.
Setiap tingkatan wujud secara tipikal disebut sebuah “alam” (‘alam), dan keseluruhan tingkatan-tingkatan alam disebut “kosmos” atau “alam semesta.” Sederhananya, pembicaraan tentang alam adalah pembicaraan tentang pengetahuan dan persepsi. Di dalam bahasa Arab, cakupan ini juga terkandung di dalam kata ‘alam itu sendiri. Secara etimologi, kata ‘alam mempunyai akar kata yang sama dengan ‘ilm yang artinya pengetahuan. Para ahli kosa kata mengatakan bahwa makna dasar dari “alam” adalah “yang melaluinya seseorang bisa mengetahui.” Dengan demikian, “alam” secara keseluruhan adalah maujud yang didefenisikan dan dianggap sebagai objek pengetahuan. Artinya, setiap alam atau tingkatan di dalam keseluruhannya didefenisikan melalui jenis persepsi yang menjadikannya sebagai objek pengetahuan. Kenyataan bahwa terdapat tiga jenis persepsi, diambil dari suatu pahaman bahwa terdapat tiga maujud dasar yang bisa menjadi objek pengetahuan.
Salah satu penjelasan Mulla Sadra yang lebih detail tentang alam ini terdapat di dalam suatu bagian dari kitab al-Asfar yang berjudul “Tentang Pembagian Pengetahuan,” yakni “ilmu” atau modalitas-modalitas di dalam pengetahuan. Pada tempat ini Mulla Sadra menjelaskan bahwa realitas pengetahuan merujuk pada “wujud formal,” yakni realitas wujud di dalam bentuk-bentuk yang tampak bagi persepsi. Mulla Sadra kemudian mengatakan bahwa wujud formal mempunyai tiga pembagian – sempurna, cukup, dan kurang. Wujud sempurna adalah bentuk-bentuk pahaman akal serta akal-akal yang ‘terlepas.’ Wujud yang cukup adalah bentuk-bentuk jiwa, yang juga disebut ‘alam imajinasi.’ Wujud yang kurang adalah bentuk-bentuk indra, yang merupakan ‘bentuk-bentuk yang berada di dalam dan terikat dengan materi.’ (3:501, 322.10)
Setelah menjelaskan tiga tingkatan wujud formal, Mulla Sadra kemudian membicarakan tingkatan keempat, yakni materi pisik yang mengalami transformasi dan pembaruan secara terus menerus. Karena materi pisik tenggelam di dalam non-wujud, kemungkinan, kontingensi dan kegelapan, maka ia tidak dapat diketahui walaupun ia tetap disebut sebagai ‘wujud.’ Sebagai contoh, Mulla Sadra menyebutkan waktu dan gerak. 8)
Di dalam menjelaskan perbedaan keempat wujud tadi, Mulla Sadra mengatakan bahwa keempatnya berbeda di dalam intensitas dan kelemahan wujudnya. Semakin kuat modalitas wujud sesuatu, semakin terlepas wujud tersebut dari kesementaraan alam materi. Semakin terlepas wujud tersebut, semakin ia mendekati wujud akal karena ia semakin murni di dalam dirinya. Setiap alam yang lebih rendah daripada alam kesempurnaan dan alam akal akan tenggelam di dalam derajat-derajat kekeruhan dan dan kegelapan yang disebabkan oleh kejamakan, ketersebaran, keterpisahan dan ketidakjelasan. 9)
Kehadiran (Hudhuri)
Kunci untuk memahami konsep persepsi di dalam pemikiran Mulla Sadra adalah pemahaman terhadap konsepnya tentang wujud. Harus diingat baik-baik bahwa kata ‘eksistensi’ (existence) bukanlah kata yang tepat untuk menerjemahkan kata ‘wujud’ dalam bahasa Arab, bahkan juga kata ‘ada’ (being) untuk menggantikan kata ‘eksistensi’ tersebut. ) Salah satu bagian yang penting di dalam mendiskusikan masalah wujud yang tidak dapat diterjemahkan secara tepat ini adalah kenyataan bahwa kata ‘wujud’ itu sendiri mensyaratkan kesadaran dan persepsi. ) Makna literal dari ‘wujud’ adalah ‘perolehan’ (finding) dan ‘yang diperoleh’ (being found), ) suatu pengertian yang lebih ditekankan di dalam tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi dan pengikut-pengikutnya, sumber yang sangat diakrabi oleh Mulla Sadra dan bahkan menjadi rujukan yang sering dikutipnya.
Namun, bukan hanya pemikir sufistik yang mensyaratkan bahwa wujud memerlukan kesadaran dan pengetahuan. Bahkan, seorang filosof Hellenis sekalipun, seperti Afdal al-Din Kasyani (m. sekitar 610H / 1213M) yang tidak memiliki hubungan dengan Ibn ‘Arabi serta banyak menulis karyanya di dalam bahasa Persia, juga menggunakan dua syarat dari kata wujud ini (yakni kesadaran dan pengetahuan, ed.) di dalam membagi wujud ke dalam dua alam dasar. 10) Wujud pertama dalam pembagian ini adalah ‘yang ada’ (being, hasti) tanpa kesadaran dan pengetahuan; dan wujud yang kedua adalah wujud yang disertai “perolehan” (yaft). Sebagai penjelasan tambahan, bahwa Baba Afdal (Afdal al-Din Kasyani, ed.) menggunakan kata yaft dalam bahasa Persia bukan hanya sebagai sinonim dari kata wujud dalam tingkatannya yang lebih tinggi, tetapi juga sebagai sinonim dari kata persepsi (idrak). Afdal menjelaskan bahwa alam yang tampak kepada kita sebagai ‘ada’ biasanya melalui objek-objek benda mati, sedangkan alam perolehan dan persepsi tampak melalui wujud jiwa dan akal.
Jika kita sudah memahami bahwa persepsi dan perolehan adalah sesuatu yang implisit di dalam kata wujud sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak filosof, maka kita akan melihat bahwa setiap upaya yang mereduksi wujud hanya sebagai “yang ada disana” (being there) merupakan tindakan yang bodoh. Wujud di dalam hakikatnya bukanlah hanya sekedar sesuatu “yang ada disana,” tetapi juga sesuatu “yang memperoleh apa yang ada disana” (which finds what is there). Semakin kuat sesuatu itu “disana,” maka akan semakin kuat pula “ia memperolehnya.” Derajat wujud yang tertinggi diperoleh di dalam kehadiran, persepsi, dan kesadaran yang tertinggi pula.
Di dalam penjelasan singkat tentang arti persepsi, Mulla Sadra mengatakan, “Persepsi adalah wujud yang dipersepsi bagi yang mempersepsi” (al-idrak ‘ibara ‘an wujud al-mudrak li al-mudrik). 11) Di dalam dualitas pengertian kata wujud, defenisi ini juga bisa diartikan “persepsi adalah objek persepsi yang diperoleh yang mempersepsi.” Di dalam beberapa penjelasan yang sama terhadap kata wujud ini, Mulla Sadra sering mengganti kata wujud dengan kata “kehadiran” (hudhur) atau “penyaksian” (musyahadah), 12) dua kata yang merupakan istilah yang mempunyai sejarah panjang dalam memberikan inspirasi bagi Mulla Sadra dalam memahami sifat-sifat dasar sesuatu. 13)
“Kehadiran” adalah lawan kata “ketidakhadiran” (ghaybah), dan secara praktis kata ini sinonim dengan “penyaksian.” Mulla Sadra kadang-kadang membagi alam semesta ke dalam dua “pahaman” dasar (idraki), yakni alam kehidupan dan pengetahuan yang merupakan alam akal dan jiwa, serta alam kematian dan kebodohan yang merupakan alam benda-benda mati. 14) (Pembagian ini sama dengan Afdal yang membagi alam ke dalam alam “perolehan” dan alam yang “ada”). Ketika Mulla Sadra menyebutkan pembagian ini, dia kelihatannya mengutip istilah Alquran untuk kedua alam tersebut, yakni “tidak hadir” (ghayb) dan “yang disaksikan” (syahadah). Yang “tidak hadir” adalah segala sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa dipersepsi, sementara yang “disaksikan” adalah segala sesuatu yang hadir di depan indra kita.
Ketika kita bertanya mungkinkah bisa memahami dan menyaksikan alam yang “tidak hadir,” tentu para filosof akan menjawab ya. Kita memang bisa memahami sesuatu walaupun indra tidak mampu menangkapnya. Namun, untuk benar-benar memahami alam objek-objek yang tidak hadir, terlebih dahulu kita harus memperkuat fakultas-fakultas persepsi dan belajar bagaimana melihat kegelapan alam korporeal dan alam indra dengan membawanya ke dalam wilayah yang melebihinya (yakni alam jiwa dan alam akal, ed.). Alam yang tidak hadir harus mewujud bagi kita dan kita harus memperolehnya. Dengan kata lain, alam tak hadir itu harus hadir di dalam diri dan harus disaksikan oleh diri tersebut.
Dengan demikian, persepsi merupakan suatu manifestasi wujud, atau bahkan wujud itu sendiri, yakni suatu “kehadiran” – ada dan diperoleh disana. Persepsi merupakan wujud objek yang dipersepsi di dalam yang mempersepsi. Konsekuensinya adalah, bahwa di dalam pemahaman terhadap alam internal dan eksternal, derajat suatu persepsi sama dengan derajat wujud. Memahami sesuatu secara langsung berarti ketercakupan secara menyeluruh di dalam wujud.
Wujud Mental
Ketika Mulla Sadra mengatakan bahwa persepsi adalah “ada-nya” dan “diperolehnya” objek persepsi di dalam yang mempersepsi, maka dia tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa objek tersebut mewujud secara internal persis sama dengan wujud eksternalnya. Mulla Sadra menjelaskan bahwa ketika pikiran memahami sesuatu, maka ia berubah dari potensialitas menjadi aktualitas, dan aktualitas pikiran adalah kehadiran bentuk-bentuk objek pahaman di dalam pikiran tersebut. Kehadiran ini disebut “wujud mental” (wujud dzihni), suatu istilah yang juga bisa diartikan sebagai “perolehan mental.” Namun, selama jiwa masih tetap menjadi jiwa dan belum menjadi akal di dalam aktualnya, maka manifestasi wujud dan persepsi jiwa tersebut masih lemah sehingga apapun yang dipahami dan eksis di dalam jiwa juga pasti masih lemah. Mulla Sadra mengatakan bahwa karena kelemahan ini, maka perbuatan-perbuatan dan implikasi-implikasi khusus yang diperintahkan kepada jiwa dan kemudian mewujud di dalamnya, tetap akan menjadi wujud yang memiliki kelemahan sepenuhnya. Atau, wujud bentuk-bentuk akal dan imajinal yang mewujud dari jiwa tersebut hanya akan menjadi bayang-bayang dan sesuatu yang aneh dan muncul tiba-tiba dari wujud eksternal yang berasal dari Pencipta, walaupun kuiditasnya terjaga di dalam dua wujud. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang diperintahkan pada kuiditas di alam eksternal tidak akan diperintahkan pada wujudnya di dalam jiwa.....
Wujud sesuatu yang kepadanya perbuatan-perbuatan tidak diperintahkan namun pada saat yang sama ia (tetap) muncul dari jiwa di dalam modalitas perwujudan ini disebut wujud “mental” dan “bayang-bayang.” Sementara itu, wujud yang diberikan perintah disebut wujud “eksternal” dan “terpisah” (entified). (1:266, 65.27)
Singkatnya, segala sesuatu yang dipahami oleh persepsi indra mewujud dengan wujud yang sebenarnya di dalam pikiran, tetapi wujud mentalnya merupakan suatu bayang-bayang dari wujud eksternalnya. Namun, karena jiwa secara gradual mengaktualkan potensinya untuk mengetahui alam yang lebih tinggi, maka objek-objek yang dipahaminyapun akan mengalami proses peningkatan di dalam intensitasnya. Pada tingkatan persepsi akal yang sebenarnya, akal yang mempersepsi akan mempunyai wujud dan kesadaran yang sama dengan bentuk-bentuk yang dipersepsinya.
Potensi Jiwa
Persepsi terjadi di dalam jiwa (nafs), suatu kata yang arti literalnya adalah “diri.” Pembicaraan tentang diri atau jiwa dimulai dari tingkatan tumbuhan sampai tingkatan tertinggi yang bisa dicapai dalam penyempurnaan manusia. Jiwa manusia secara sederhana dapat dijelaskan sebagai “keseluruhan potensi” (8:221, 777.31). Dengan pemahaman ini, Mulla Sadra ingin mengatakan bahwa jiwa rasional adalah “satu-satunya yang dapat memahami semua persepsi yang disifatkan kepada potensi-potensi manusia” (Ibid). Dengan kata lain, jiwa manusia adalah potensi murni yang dalam keadaan ini ia tidak mempunyai aktualitas. Aktualitas jiwa ini justru mewujud melalui persepsi. Ketika jiwa memahami sesuatu, maka sesuatu itu akan mewujud di dalam jiwa dengan wujud tertentu, kemudian jiwa akan mengaktualkan di dalam dirinya wujud mental yang sesuai dengan wujud yang dipahami tersebut.
Tujuan dari wujud manusia adalah untuk membawa potensialitas jiwa ke dalam aktualitas. Pada permulaan penciptaannya, diri manusia masih kosong dari pengetahuan tentang sesuatu. Sebaliknya, sesuatu yang lain diciptakan bersama pengetahuan aktual dan hal ini kemudian menetapkan identitas-identitas khususnya. Karena jiwa manusia diciptakan tanpa mengetahui sesuatupun, maka jiwa tersebut mempunyai potensi untuk mengetahui apapun. Hanya karakteristik inilah yang dapat merubah jiwa menjadi akal melalui aktualitasasi potensi tersebut. )
Allah menciptakan ruh manusia yang di dalamnya kosong dari perwujudan sesuatu serta kosong dari pengetahuan terhadap segala sesuatu... Tidakkah Allah menciptakan ruh manusia untuk mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya? Memang seperti itu. Pada awalnya ruh manusia adalah kosong, namun ketika pertama kali diciptakan fitrah ruh manusia, maka salah satu dari sesuatu itu mewujud, dan jiwa pun tidak lagi kosong sama sekali.
Meskipun pada awalnya ruh manusia hanyalah potensi yang kecil dan kosong dari pahaman-pahaman akal, namun keadaan ini cukup bagi ruh untuk mengetahui dan menyatu (ittisal) dengan semua pahaman akal tersebut. Dengan keadaan itulah ruh akan sampai kepada tujuan utama, yakni pengetahuan tentang Allah yang sebenarnya (‘irfan), pengetahuan tentang alam spiritual (malakut), serta pengetahuan tentang tanda-tandaNya (ayah)..... Pengetahuan adalah yang pertama dan yang terakhir, asal sekaligus tujuan akhir. (3:515-16, 326.2) 15)
Persepsi mengaktualkan suatu pengetahuan potensial jiwa. Aktualitas mensyaratkan perbuatan. Mulla Sadra mengatakan bahwa para filosof yang telah menjelaskan bahwa persepsi adalah gambaran objek-objek pahaman di dalam jiwa, berarti mereka kehilangan makna yang sebenarnya dari persepsi tersebut, karena sesungguhnya persepsi lebih tepat disebut aktivitas dan aktualitas dibandingkan sebagai penerimaan (receptivity).
Hubungan antara bentuk yang diketahui terhadap esensi yang mengetahui adalah hubungan antara “yang dibuat” (maj’ul) terhadap “pembuat” (ja’il), bukan suatu hubungan “tinggal di dalam” (hulul) atau “tergambar di dalam” (intiba’). (8:251, 785.32
Dalam hubungannya dengan objek pahaman imajinal dan indrawi, jiwa lebih mirip dengan pelaku inovatif (al-fa’il al-mubdi’) dibanding sebagai tempat tinggal reseptif (al-mahall al-qabil). (1:287, 70.35)
Di dalam penjelasannya tentang penglihatan (vision), ) Mulla Sadra memberikan suatu contoh khusus bagaimana jiwa dapat mencapai penglihatan itu melalui persepsi. Setelah menolak teori-teori dari kelompok saintis, matematikawan, dan bahkan Suhrawardi sendiri, Mulla Sadra kemudian mengatakan,
Penglihatan terjadi melalui pembuatan suatu bentuk yang sama (dengan yang bentuk yang dilihat, ed.) dengan bantuan kekuatan Allah, yakni bentuk yang datang dari alam jiwa, alam spiritual. Bentuk tersebut terlepas dari materi eksternal dan hadir di dalam jiwa yang memahaminya. Bentuk tersebut tetap hadir melalui jiwa sama dengan kehadiran perbuatan melalui pelakunya, bukan sebagai kehadiran sesuatu yang diterima melalui wadahnya. (8:179-80, 768.8)
Setelah mengatakan hal ini, Mulla Sadra melanjutkan penjelasannya dengan menunjukkan bahwa penglihatan hanyalah salah satu contoh sifat-sifat umum suatu persepsi, yakni penyatuan antara yang dipahami dan yang memahami. Pembuktian ini sama dengan yang sebelumnya ditunjukkan oleh Mulla Sadra pada bagian “Penyatuan antara Akal dan Objek Pahaman Akal” (ittihad al-‘aql wa al-ma’qul) yang dianggapnya sebagai salah satu inti bangunan filsafatnya. Mulla Sadra membuktikannya secara khusus karena Ibn Sina dan para pengikutnya telah menolak konsep tersebut.
Apa yang telah kami tunjukkan di dalam penyatuan antara akal dan objek pahaman akal, juga berlaku di dalam semua persepsi indra, imajinasi, maupun intuisi indra. Kami harus memperhatikan masalah ini di dalam membicarakan masalah akal dan objek pahaman akal. Kami katakan bahwa persepsi indra di dalam indra yang sesungguhnya (unqualified sense) tidak sama dengan yang dipahami oleh sebagian besar pemikir yang menganggap bahwa sensasi memisahkan bentuk objek indrawi dari materi dan memahaminya melalui aksiden-aksiden; dan dengan cara yang sama, imajinasi memisahkan bentuk tersebut dengan pemisahan yang lebih besar 16) .......Tetapi, persepsi di dalam indra yang sesungguhnya dapat dicapai hanya dari pancaran Pemberi Karunia 17) terhadap bentuk perseptual yang bercahaya, yang melaluinya persepsi dan kesadaran juga dapat dicapai. Bentuk inilah yang memiliki kekuatan untuk melihat di dalam perbuatan (sensate in act) sekaligus objek indrawi di dalam perbuatan (sensible in act). Dan untuk wujud bentuk di dalam materi, bentuk tersebut bukanlah persepsi indra, juga bukan bukan objek persepsi indra. Namun, ia adalah sesuatu yang menyiapkan jalan bagi pancaran bentuk tersebut. (8:81, 768.10)
Dengan demikian objek persepsi adalah suatu bentuk yang dipancarkan ke dalam jiwa oleh Allah. Mempelajari penjelasan Mulla Sadra tentang implikasi teologis dari pandangan ini akan membutuhkan studi yang lain, oleh karena itu disini mungkin sudah cukup jika dipahami bahwa pancaran Allah terhadap bentuk akan mengaktualkan potensi jiwa untuk mengetahui. ) Dalam prosesnya dari potensi menjadi aktual, jiwa memperoleh suatu wujud mental yang ‘sama’ dengan wujud eksternal objek yang dipersepsinya. Wujud dari sesuatu yang diketahui adalah wujud dalam bentuk akal atau imajinal, dan kehadiran bentuk tersebut terhadap jiwa adalah wujud mentalnya di dalam jiwa, yakni wujud yang identik dengan wujud jiwa itu sendiri karena tidak ada lagi kejamakan wujud di dalam jiwa. Kesadaran jiwa terhadap bentuk tersebut adalah wujud bentuk tersebut terhadap jiwa. Di dalam wujud mental, persepsi dan wujud adalah dua hal yang sama. Konsekuensinya, sebagaimana yang sering dikatakan oleh Mulla Sadra, objek yang dipersepsi selalu sama dengan yang mempersepsi. Melalui sentuhan, rasa, dan penglihatan, jiwa memahami objek-objek yang sama dengan dirinya sendiri. Hal itu karena objek-objek tersebut adalah bentuk-bentuk dari sesuatu yang disentuh, dirasa, dan dilihat yang kemudian teraktualkan di dalam jiwa. 18)
Ketika Mulla Sadra mengatakan bahwa jiwa adalah “semua potensi,” yang dimaksudkannya adalah bahwa diri manusia adalah potensi yang tak terbatas untuk mengetahui. Kesempurnaan jiwa mewujud di dalam aktualisasi potensinya, dan potensi ini tidak bisa dibatasi. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles pada bagian awal Metafisika-nya, merindukan kemahatahuan karena potensinya yang mampu memahami apapun. Akan tetapi, segala sesuatu hanya dapat diperoleh di dalam akal murni, tempat dimana sesuatu itu mewujud sebagai bentuk-bentuk akal. Oleh karena itu, tingkatan persepsi yang tertinggi adalah ketika jiwa menjadi akal. Dengan kata lain, jiwa mempersepsi dalam kapasitasnya yang maksimal sehingga ia mewujud di dalam maksimalitas perolehan aktual. Jika jiwa sudah mengalami kesempurnaan persepsi dan wujud, maka segala sesuatu menjadi hadir padanya secara aktual. Dalam hal ini segala sesuatu menjadi hadir di dalam akal dengan kejelasan wujud akalnya, tidak terganggu lagi oleh wujud indrawi dan imajinalnya.
Ketika jiwa sudah menjadi akal, pada saat itu ia sudah menjadi segalanya. Pada saat itu juga, jiwa sudah menyatu dengan segala sesuatu yang telah dihadirkan di dalam esensinya – yang saya maksudkan adalah bentuk-bentuk sesuatu itu, bukan entitasnya yang eksternal. Hal ini tidak lantas berarti bahwa jiwa tersusun dari entitas-entitas eksternal, juga tidak tersusun dari bentuk-bentuk tersebut. Maksudnya adalah, jika jiwa semakin sempurna, ia juga akan semakin sempurna sebagai ‘keseluruhan dari segala sesuatu’ dan akan semakin kuat di dalam kesederhanaannya (esensinya akan semakin sederhana yang merupakan sifat wujud akal, ed.). Hal ini karena sesuatu yang paling sederhana adalah segala sesuatu, sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya. ) (8:253, 786.16)
Harus diingat bahwa bagi Mulla Sadra, wujud adalah yang utama sedangkan kuiditas adalah yang kedua. Kuiditas adalah apa yang disebut oleh Ibn ‘Arabi sebagai “entitas-entitas tetap” (fixed entities) dimana sifat “tetap” itu adalah karena memang entitas-entitasnya tidak pernah berubah. Yang berubah hanyalah wujud formal, yakni melalui proses penguatan maupun pelemahan. Tingkatan-tingkatan persepsi dibedakan berdasarkan kekuatan dan kelemahan wujud formal ini. Di dalam istilah Mulla Sadra, (wujud yang sempurna adalah) hanya ketika ia mencapai tingkatan “akal sederhana, yang benar-benar terlepas dari alam pisik dan kuantitas, dan ia telah menjadi semua objek akal dan segala sesuatu, sedemikian sehingga ia lebih kuat dan lebih sempurna dari segala sesuatu dalam dirinya sendiri.” (3:373, 293.32)
Pada setiap tingkatan persepsi, jiwa melepaskan objek-objek persepsi dari materi dan kondisi tingkatan ontologis lainnya. Bahkan, persepsi indrapun harus melepaskan objek persepsinya (dari materi, ed.) karena materi eksternal tidak bisa masuk ke dalam jiwa. Tetapi, ketika jiwa melepaskan objek-objek persepsinya, maka pada saat yang sama jiwapun akan terlepas dari kondisi-kondisi alam yang lebih rendah. Perpindahan dari persepsi indra menuju imajinasi dan kemudian ke inteleksi adalah suatu perpindahan dari wujud dan persepsi yang lemah ke wujud dan perolehan yang lebih kuat. Kapanpun jiwa mengaktualkan potensinya melalui pengetahuan, maka ia akan mencapai kekuatan wujud tertentu, dan ketika ia menjadi akal di dalam perbuatan, berarti ia telah mencapai wujud yang abadi dan sempurna.
Mulla Sadra sangat kritis terhadap penjelasan para filosof pendahulunya dalam membicarakan makna “keterlepasan” (disengagement, tajarrud) ini. Penolakannya terhadap pemahaman mereka telah membantu dalam menjelaskan mengapa “abstraksi” bukanlah kata yang tepat untuk menerjemahkan kata tajarrud tersebut. 20) Mulla Sadra menulis,
Makna dari keterlepasan di dalam inteleksi dan persepi yang lain bukanlah seperti yang dikenal sebelumnya – yakni bahwa ia adalah penghilangan hal-hal asing tertentu (zawa’id). Ia juga bukanlah keadaan dimana jiwa dalam keadaan diam sementara objek-objek persepsi dikirimkan dari substrat ) materialnya ke sensasi, dari sensasi ke imajinasi, dan dari imajinasi ke akal. Tetapi, yang disebut keterlepasan adalah keadaan dimana yang mempersepsi maupun yang dipersepsi keduanya terlepas pada saat yang sama. Keduanya dilepaskan dari satu wujud ke wujud yang lain. Keduanya dikirimkan dari satu keadaan menuju keadaan yang lain, dan dari satu alam ke alam yang lain, sampai akhirnya jiwa di dalam aktualnya telah (sekaligus) menjadi akal, yang melakukan inteleksi, dan objek pahaman akal, yang sebelumnya jiwa hanya berada dalam potensinya (sebelum ia teraktualkan). (3:366, 292.1)
Berbeda dengan apa yang diajarkan oleh filosof sebelumnya, keterlepasan bukan berarti penolakan terhadap (eksistensi) pisik karena realitas esensial pisik adalah wujud formal, bukan materi. Jika jiwa semakin kuat, maka semakin kuat pula bentuk intelektif pisik dan wujudnya. Mulla Sadra mengatakan,
Di antara beberapa hal yang harus diketahui adalah bahwa (di dunia ini) manusia adalah gabungan antara jiwa dan pisik. Kedua bagian ini, walaupun berbeda dalam derajatnya, namun keduanya adalah dua maujud yang meng-ada melalui satu wujud. Perumpamaannya adalah bahwa kedua bagian ini seperti sesuatu yang mempunyai dua sisi. Salah satu dari sisi itu mengalami perubahan dan kematian, ia mirip dengan cabang; sementara sisi yang lain adalah sisi yang tetap dan hidup, ia menyerupai akar. Semakin sempurna jiwa di dalam wujudnya, maka pisik juga akan semakin halus dan jernih. Pisik tersebut akan semakin kuat dalam hubungannya dengan jiwa, dan penyatuan antara keduanya akan semakin kuat pula. Akhirnya, ketika wujud akal sudah menjadi aktual, keduanya sudah tidak memiliki perbedaan sama sekali.
Masalah ini berbeda dengan anggapan umum – bahwa ketika jiwa dari wujud duniawi ini berubah menjadi wujud ukhrawi, maka jiwa akan keluar dari pisik dan seolah-olah pisik itu menjadi telanjang tanpa pakaian. Mereka menganggap seperti itu karena mengira bahwa tubuh pisik – yang diatur secara bebas oleh jiwa melalui suatu pengaturan esensial dan suatu aktifitas bebas primer – hanyalah daging mati yang akan dibuang setelah kematian, namun sesungguhnya tidak demikian adanya. Yang benar adalah, bahwa daging mati ini justru berada di luar dari substrat aktivitas bebas dan pengaturan jiwa tadi. Tubuh pisik ini mirip dengan suatu beban dan ampas yang merupakan hasil aktifitas alam, seperti kotoran dan sejenisnya. Atau, tubuh pisik mirip dengan rambut, bulu binatang, tanduk, atau kuku yang muncul secara eksternal melalui proses alam untuk fungsi-fungsi eksternal pula. Ia mirip dengan rumah. Manusia membangun suatu rumah bukan karena wujudnya, tetapi hanya untuk menahan panas dan dingin, dan untuk hal-hal lain yang tanpanya tidak mungkin hidup di dunia ini. Tetapi, kehidupan manusia sendiri bukanlah hanya di rumah tersebut. 21) (9:98, 846.8)
Kesimpulan
Kita telah mendiskusikan sepuluh teori-teori dasar yang harus diperhatikan dalam menjelaskan keseluruhan penggambaran Mulla Sadra tentang bagaimana persepsi berpindah dari tingkatan yang terendah menuju tingkatan yang tertinggi melalui proses keterlepasan. Kesepuluh teori dasar ini dapat kita ringkaskan seperti berikut:
1. Persepsi adalah (proses) untuk mencapai pengetahuan tentang sesuatu dengan melihat kuiditasnya, yakni bentuk atau realitas akalnya.
2. Persepsi mempunyai empat tingkatan yang kemudian dapat disederhanakan menjadi tiga tingkatan saja: indra, imajinasi dan akal.
3. Tingkatan persepsi ditentukan oleh kekuatan keterlepasan persepsi dari materi.
4. Tiga tingkatan dasar persepsi tepat bersesuaian dengan tiga alam dasar yang menyusun alam semesta.
5. Realitas wujud tidak terpisahkan dengan realitas pengetahuan dan persepsi, dengan demikian tingkatan wujud identik dengan tingkatan persepsi.
6. Wujud mental objek persepsi merupakan bayangan wujud eksternalnya, kecuali di dalam persepsi akal dimana akal dan objek pahaman akal menyatu di dalam satu wujud yang abadi dan permanen.
7. Jiwa manusia mewujud dalam keadaan kosong dari pengetahuan dan aktualitas sehingga ia mempunyai potensi untuk mengetahui segala sesuatu. Dengan demikian persepsi adalah aktualitas dan aktifitas jiwa.
8. Jika jiwa semakin kuat di dalam suatu persepsi, maka semakin kuat pula wujudnya. Semakin kuat wujudnya semakin kuat pula ia menerima sifat realitas wujud sederhana yang melaluinya jiwa mengetahui segala sesuatu.
9. Keterlepasan jiwa dari sesuatu (yang material, ed.) melalui persepsi terjadi bersamaan dengan keterlepasannya melalui penguatan wujud dan kesadaran.
10. Keterlepasan jiwa bukanlah penolakan terhadap (wujud) pisik, tetapi keterlepasan adalah perubahan pisik dan semua objek-objek pisik.
Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bahwa bagi Mulla Sadra, tujuan akhir suatu persepsi adalah agar manusia dapat melihat segala sesuatu di dalam hakikatnya. Hal ini dapat tercapai hanya jika jiwa mengaktualkan potensi tak terbatasnya untuk mengetahui. Potensi ini adalah kemampuan untuk memahami segala sesuatu yang mewujud di dalam tingkatan-tingkatan wujud formal. Potensi ini dapat berubah menjadi aktualitas melalui penguraian, pelepasan, dan pemisahan (mufaraqa) dari semua materialitas dan aspek pisik, serta kembalinya ke realitas akal jiwa yang pada hakikatnya adalah akal di dalam perbuatan, atau akal yang memahami segala sesuatu sebagaimana wujud aktualnya. Hal ini tidak berarti bahwa jiwa tidak lagi mempunyai hubungan dengan sesuatu di dalam eksternal. Tetapi, hal ini berarti bahwa jiwa akan dapat memahami segala sesuatu secara jelas pada tingkatan wujud apapun sesuatu itu. Jiwa tidak akan terjerumus lagi ke dalam pandangan yang salah (nearsightedness) dalam mempersepsi bentuk-bentuk karena keragaman tempat bentuk-bentuk tersebut mewujud bagi yang mempersepsi, tempat yang diselimuti oleh kegelapan persepsi indra dan imajinasi. Jiwa akan mencapai tujuan akhirnya setelah ia memahami dirinya dan memahami segala sesuatu dalam hakikatnya, juga setelah ia menemukan dirinya menyatu dengan segala sesuatu.
Catatan
1. Saya menuliskan referensi halaman untuk al-Asfar baik untuk edisi sembilan volume yang terlihat di Qum pada tahun 1378/1958-59) seperti yang ada di dalam CD-Rom “Nur al-Hikmah 2” (Qum: Computer Research Center of Islamic Science); maupun untuk edisi litograp (Tehran: 1282/1865-66). Untuk edisi litograp ini, saya juga menuliskan nomor baris. Karena edisi litograp ini mempunyai halaman yang tidak lengkap, maka saya mengikuti penomoran halaman yang dilakukan oleh M. Ibrâhîm Ayatî di dalam Fihrist-i abwâb wa fusûl-I kitâb-i Asfâr (Tehran: Dânishgâh-i Tihrân, 1340/1961). Edisi litograp ini juga telah diterbitkan di dalam S. H. Nasr, Yâd-nâma-yi Mullâ Sadrâ (Tehran: Dânishgâh-i Tihrân, 1340/1961), hal. 63-106.
2. Disini Mulla Sadrâ tidak menggunakan istilah kuiditas, tetapi dia menyinggung masalah ini dengan menggunakan istilah istitsbât, atau “pencapaian kestabilan.” Kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan kata tsâbita, yang artinya “stabil” sebagaimana di dalam istilah ‘ayn tsâbita, yakni “entitas stabil” yang diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi dan sering dijelaskan oleh Mulla Sadra. Di dalam tulisan-tulisan Mulla Sadra dan Ibn ‘Arabi, kata ini digunakan sebagai sinonim kata kuiditas.
3. al-Asfâr 3:360-61, 290.27
4. Masalah mendasar “abstraksi” adalah bahwa kata ini benar-benar kehilangan keterhubungan dengan makna penguatan wujud dan realitas di dalam derajat peningkatan keterlepasan (dari materi). Bandingkan dengan pembahasan saya tentang kata ini di dalam “The Heart of Islamic Philosophy” (Oxford University Press).
5. “Untuk persepsi-persepsi indra, ia terpengaruh oleh ketidaktahuan. Persepsi ini bercampur dengan kegagalan dalam memperoleh (pengetahuan yang sebenarnya, ed.) karena ia hanya mencapai sisi luar sesuatu serta bayangan sifat-sifat kuiditas namun ia tidak mencapai realitas serta sisinya yang terdalam.” (3:367, 292.14)
6. al-Asfar, 3:361-62, 290-91.
7. al-Asfar, 3:362, 291.
8. Untuk pembagian alam menjadi tiga tingkatan dalam hubungannya dengan tiga “konfigurasi persepsi” (nasya’at idrakiyyah) jiwa, lihat Asfar, 9:21, 826.18. Di dalam menjelaskan keempat tingkatan wujud ini, Mulla Sadra melanjutkan penjelasannya bahwa keempatnya adalah empat alam, dan setiap tingkatan wujud tersebut merupakan pembagian pengetahuan karena setiap tingkatan bentuk-bentuk yang diketahui berhubungan dengan tingkatan wujud yang berbeda. Kemudian Mulla Sadra menjelaskan pembagian “objek-objek persepsi yang bersifat mungkin” (possible perceptibles) yang berhubungan dengan setiap tingkatan wujud serta memperjelas maksudnya dengan membagi tiga tingkatan pertama ke dalam wujud yang sempurna, cukup, dan kurang: “Bagian pertama dari objek persepsi adalah wujud dan pengetahuan yang ‘sempurna.’ Wujud yang sempurna ini adalah akal dan objek pahaman akal. Karena kekuatan wujud, cahaya dan kejernihannya, wujud ini terlepas dari pisik, bayangan-bayangan yang tidak benar, dan penjumlahan. Walaupun ia banyak dan beragam, namun ia mewujud dalam satu wujud saja, wujud dari segalanya....Yang kedua adalah alam jiwa-jiwa malakut (the world of celestial souls), bayangan yang terlepas (dari materi, ed.) dan gambaran-gambaran kuantitatif. Wujud ini cukup di dalam esensi dan bentuk-bentuk akalnya karena ia mempunyai hubungan dengan alam bentuk-bentuk ilahiyyah (the world of divine forms) yang sempurna di dalam wujud sehingga kekurangan wujud yang kedua ini tertutupi dan kemudian bergabung dengan alam bentuk-bentuk ilahiyyah tadi....Yang ketiga adalah alam jiwa indrawi, alam spiritual yang lebih rendah (al-malakut al-asfal), serta semua bentuk-bentuk indrawi di dalam aktualitas dan yang dipahami melalui kesadaran dan organ-organ, yang juga menjadi bagian dari alam spiritual yang lebih rendah (the lower spiritual realm). Wujud ini kurang di dalam wujud selama ia masih berhubungan dengan dunia ini. Namun, wujud ini bisa terangkat ke alam yang lebih tinggi dan terlepas dari alam dunia ini – sampai di alam yang terlepas dari bayangan-bayangan yang tidak benar (the world of disengaged apparitions) – dengan megikuti perjalanan jiwa manusia....(Dan) yang keempat adalah alam materi dan bentuk-bentuk pisik, yang merupakan wujud antara (transient), yang akan menghilang, yang mengalami transformasi, serta yang mengalami keberlanjutan (generation) dan degradasi (corruption).” (3:502, 322.12)
9. Di dalam salah satu karyanya, Mulla Sadra menjelaskan bahwa kegelapan (kebodohan, ed.) yang harus dihindari oleh manusia untuk dapat mencapai pemahaman akal adalah “aksiden-aksiden asing” (a’rad gharibah). Mulla Sadra menulis, “aksiden-aksiden asing yang harus dihindari oleh manusia untuk dapat mencapai pemahaman akal bukanlah kuiditas-kuiditas dan makna sesuatu, karena pada hakikatnya tidak ada kontradiksi antara pemahaman akal terhadap sesuatu dengan pemahaman akal terhadap atribut-atribut sesuatu itu. Dengan cara yang sama, “aksiden-aksiden asing” yang harus dilepaskan oleh manusia dalam mengimajinasikan sesuatu bukanlah bentuk-bentuk imajinatifnya, karena juga tidak ada kontradiksi antara pengimajinasian sesuatu dengan sifat-sifat imajinatif (hay’a) sesuatu itu. Justru, yang menghalangi beberapa persepsi adalah modalitas-modalitas sesuatu yang tertentu. Penghalang tersebut adalah kegelapan (darkness) serta non-wujud (non-existence) yang menutupi bagian-bagian tak terlihat di dalam proses persepsi. Sebagai contoh adalah “yang ada” (kawn) di dalam materi, (hal ini terjadi) karena kondisi materi memerlukan hijab terhadap bentuk yang justru harus disingkap di dalam suatu persepsi. Demikian juga “yang ada” di dalam sensasi dan imajinasi, karena ia merupakan wujud kuantitatif maka ia bisa juga menghalangi persepsi akal walaupun kuantitas (miqdar) itu sudah terlepas dari materi. Tetapi, wujud akal bukanlah wujud kuantitatif, karena ia telah terlepas dari dari dua alam wujud dan berada di atas dua alam tersebut.” (3:362, 291.9)
10. Karya-karya Baba Afdal yang hampir semuanya ditulis dalam bahasa Persia, tidak dikenal oleh Mulla Sadra. Namun, kita harus ingat bahwa Mulla Sadra menerjemahkan salah satu karya Baba Afdal ini ke dalam bahasa Arab. Karya tersebut adalah Jawidan-nama yang diterjehamahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Iksir al-‘Arifin. Lihat pengantar saya dalam terjemahan saya terhadap kitab Iksir al-‘Arifin ini.
11. 8:40, 732.31. Bandingkan dengan 8:165, 764.3; 8:251, 785.31
12. Sebagai contoh: “Persepsi adalah kehadiran objek persepsi di dalam yang mempersepsi” (4:137, 377.6). “Persepsi terdiri dari wujud sesuatu serta kehadirannya untuk wujud sesuatu yang lain.” (6:146, 635.11) “Persepsi terdiri dari wujud suatu bentuk yang hadir pada suatu maujud yang wujudnya adalah miliknya sendiri.” (8:163, 764.3) “Persepsi hanyalah pandangan (iltifat) dan penyaksian jiwa terhadap objek-objek persepsi.” (6:162, 573.22)
13. Pembahasan tentang “kehadiran” di dalam konteks persepsi secara langsung berhubungan dengan pembagian dua jenis pengetahuan yang sudah sering dibahas di dalam filsafat Islam sebelumnya – yakni ilmu melalui “kehadiran” (hudhuri) dan ilmu melalui “perolehan” (hushuli). Makna “kehadiran” yang sinonim dengan “penyaksian” agak diabaikan di dalam literatur kedua dan hal ini mengaburkan hubungan dengan keseluruhan tema tentang “penyaksian” di dalam tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi dan pengikut-pengikutnya. Bagi mereka, penyaksian semakna dengan “penyingkapan” (kasyf) dan “penglihatan langsung” (‘iyan). Selanjutnya, kata penyaksian ini juga semakna dengan “wujud” ketika istilah ini digunakan untuk menunjukkan kemungkinan tertinggi yang bisa dicapai oleh persepsi manusia sebagaimana yang ditemukan di dalam istilah yang umum tentang ahl al-kasyf wa al-wujud, “orang-orang yang mengalami penyingkapan dan mencapai perolehan.” Tentang penggunaan istilah ini di dalam tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, lihat dalam buku saya “Sufi Path of Knowledge” (Albany: SUNY Press, 1989).
14. Selanjutnya Mulla Sadra mengatakan bahwa dua kategori ini – yang tak tampak dan yang disaksikan – berhubungan dengan keterbatasan pandangan duniawi yang di dalamnya ketinggian kemampuan akal belum diaktualkan. Menurut Mulla Sadra, alam akhirat mempunyai wujud yang lebih kuat dibandingkan dunia ini, dan setiap wujud yang lebih kuat akan lebih kuat pula di dalam kehadiran, penyaksian, dan manifestasi. “Setiap tingkatan Taman yang lebih kuat di dalam keterpisahannya dari alam ini serta lebih kuat di dalam ketinggian dan keterlepasannya dari materi, pasti akan lebih kuat di dalam manifestasi dan penerimaannya (terhadap wujud yang sederhana).” (6:152, 571.20)
15. Orang mungkin menolak bahwa jiwa manusia bukan “potensialitas murni” karena jiwa tersebut lahir bersama insting dan pengetahuan yang dibawa sejak lahir (innate knowledge). Saya berpikir Mulla Sadra akan menjawabnya dengan mengingatkan kita bahwa apa yang kita sebut “insting” tidak berhubungan dengan jiwa manusia, tetapi berkaitan dengan jiwa-jiwa tumbuhan dan binatang. Adalah benar bahwa tidak mungkin jiwa manusia mewujud tanpa adanya jiwa binatang dan jiwa tumbuhan, tetapi pembahasan tentang potensi tak terbatas hanya berhubungan dengan jiwa manusia saja, bukan dengan dimensi-dimensi lain dari wujud manusia tersebut. “Kemanusiaan” jiwa manusia merupakan maksud bahasan yang paling tepat dimana manusia tidak bisa didefenisikan dan dilukiskan. Sehingga dengan demikian, jiwa manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi (wujud) apapun.
16. Bandingkan dengan bagian berikut ini: “Ketika jiwa mempersepsi objek pahaman akal yang universal, maka ia menyaksikan semua objek tersebut sebagai akal (intellective), esensi yang terlepas (dari materi, ed.). Tetapi hal ini bukan karena jiwa-lah yang melepaskannya atau karena keterlepasan (intiza’) bentuk pahaman akalnya dari bentuk indrawi – sebagaimana yang banyak dipahami oleh sebagian besar urafa’. Tetapi, hal itu terjadi melalui suatu perpindahan (transferal) yang dimiliki oleh jiwa – dari indra, imajinal, ke wujud akal; melalui suatu perpindahan (migration) dari dunia ini ke alam akhirat serta alam yang lebih tinggi; serta melalui suatu perjalanan (journey) dari alam pisik ke alam imajinasi dan alam akal.” (1:289-90, 71.18)
17. “Pemberi Karunia” (Wahib) adalah salah satu nama Allah. Mulla Sadra lebih sering menggunakan frase “Pemberi Karunia Bentuk-bentuk” (al-Wahib al-Suwar), dan hal ini menjelaskan bahwa ini yang dimaksudkan oleh Mulla Sadra disini. Frase ini merupakan salah satu penamaan filosofis terhadap Allah, dan memang frase ini adalah salah satu nama Allah di dalam Alquran, al-Musawwir, “pemberi bentuk.” )
18. (Asfar 1:387, 96.7; 8:160, 763.10; 8:253, 786.13; 8:301, 798.27)
19. Alasan bahwa jiwa adalah (wujud) segala sesuatu secara potensial adalah bahwa jiwa tersebut adalah suatu gambaran (image) wujud per se. Inilah yang di dalam istilah filosofis menjadi makna dari salah satu hadits, “Allah menciptakan Adam menyerupai bentukNya (surah).” Mulla Sadra menggunakan bahasa-bahasa teologis yang standar di dalam penjelasan tentang sifat-sifat jiwa: “Al-Bari’ adalah pencipta semua wujud, baik yang terbaharui (innovated) maupun yang dari tiada menjadi ada (engendered) (yakni wujud spiritual dan wujud korporeal). Allah menciptakan jiwa manusia sebagai gambaran (mitsal) dari esensiNya, sifat-sifatNya, dan perbuatanNya – karena Allah tidak bisa diperbandingkan dengan apapun (mitsl), tetapi tidak dengan suatu gambaran. Kemudian Allah menciptakan jiwa sebagai gambaranNya di dalam esensi, sifat dan perbuatan sehingga pengetahuan tentang (esensi, sifat dan perbutan) jiwa tersebut merupakan tangga untuk mengetahuiNya. Allah membuat esensi jiwa terlepas dari wujud-wujud yang berasal dari tiada kemudian ada, pembatasan ruang, dan arah (direction). Allah menjadikan jiwa sebagai pemilik kekuatan, pengetahuan, keinginan, hidup, pendengaran dan penglihatan. Allah menjadikan jiwa sebagai pemilik kerajaan yang sama dengan kerajaan yang mengadakannya (yakni Allah, ed.). “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” (QS.28:68) sesuai dengan apa yang diinginkanNya. Namun, meskipun jiwa berasal dari alam spiritual, alam kekuatan (the world of power), dan sumber dari kemuliaan dan pengaruh (terhadap yang lain), tetapi jiwa lemah di dalam wujud dan kekuatan setelah jatuh ke dalam tingkatan-tingkatan kekurangan, juga karena ia mempunyai perantara dengan Yang Mengadakannya.” (Asfar 65.22, 1:265-66)
20. Di dalam mengkritik filosof awal tentang tema “keterlepasan” (tajarrud), Mulla Sadra kelihatan menghindari kritik yang keras terhadap konsep Ibn ‘Arabi. Sebagai contoh, lihat William Chittick, Self-Disclosure of God (Albany: SUNY Press, 1998), hal. 346-47. Bandingkan juga dengan kritik sikap filosofis yang dikutip dari murid Ibn ‘Arabi, Sadr al-Din al-Qunawi di dalam Sachiko Murata, The Tao Of Islam, (Albany: SUNY Press, 1992), hal. 222.
21. Bandingkan dengan bagian ini: “Secara singkat, keadaan jiwa pada tingkatan keterlepasannya sama dengan keadaan objek-objek persepsi eksternal ketika menjadi objek persepsi indra, kemudian objek imajinasi, dan terakhir objek persepsi akal. Telah dikatakan bahwa setiap persepsi mempunyai bagian-bagian proses keterlepasan dan bahwa tingkatan-tingkatan persepsi dibedakan berdasarkan tingkatan keterlepasannya (dari materi). Pengertian dari penjelasan ini adalah seperti yang telah kami katakan: keterlepasan objek-objek persepsi bukanlah dengan membuang beberapa atribut dan mempertahankan beberapa atribut lainnya. Tetapi, keterlepasan ini adalah perubahan-perubahan wujud dari yang lebih rendah, yang mempunyai kekurangan yang lebih besar, menuju wujud yang lebih tinggi, yang lebih kuat. Dengan cara yang sama, keterlepasan dan perpindahan manusia dari alam dunia ini menuju alam yang lain pada hakikatnya adalah perubahan dari keadaan pertama ke keadaan yang kedua. Ketika jiwa telah mencapai kesempurnaan dan menjadi akal di dalam aktualitas, hal itu bukan berarti bahwa beberapa potensinya – misalnya persepsi indra – akan menghilang sementara potensi lainnya – yakni persepsi akal – masih akan tinggal. Sebaliknya, ketika jiwa mencapai kesempurnaan dan esensinya mengalami peningkatan, potensi-potensinya yang lain juga akan mencapai kesempurnaan dan peningkatan yang sama.” (9:99-100, 846.18).
Teken in op:
Plaas opmerkings (Atom)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking