Martabat Tujuh
Ajaran wahdah al-wujud atau wujudiyyah telah berakar lama di
kesultanan Buton. Ajaran tersebut dikenal sejak masa kekuasaan Sultan Dayyan
Ihsan ad-Din pada perempat pertama abad ke -17. Beberapa naskah yang memuat
ajaran ini telah dipelajari di daerah itu sebelum abad ke-19. Dan pada abad ke
19, ajaran ini tetap berlanjut menjadi ajaran yang dianut oleh penghuni
keraton.
Munculnya paham
ini dalam dunia tasawuf adalah sebagai akibat adanya pengalaman fana dan baqa’ yang terjadi bagi sufi
dalam “pengembaraan” tasawufnya. Pemikiran tasawuf di Buton pada abad ke-19,
rupanya mengikuti alur pemikiran ini. Hal ini diketahui melalui ajaran tasawuf
Muhammad ‘Aidrus. Ia menerima paham tasawuf wujudiyyah
karena ia terlebih dahulu mengakui terjadinya fana’ dan baqa’ dalam
pengembaraan tasawufnya. Karena menerima paham wujudiyyah, ‘Aidrus menerima pula konsep “martabat tujuh’ yang
menjadi bagian ajaran wujudiyyah
dalam tasawuf teosofis.
Konsep “martabat
tujuh” adalah satu ajaran dalam tasawuf teosofis yang bertolak dari konsepsi
bahwa hanya Tuhan yang satu-satunya wujud hakiki. Agar Ia
dikenal, maka Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli). Penampakan diri Tuhan ini
melalui tujuh tingkatan. Tujuh tingkatan inilah yang dikenal dalam kamus
tasawuf Indonesia
dengan “martabat tujuh”.
Martabat tujuh
atau tujuh tingkatan tajalli tuhan
yang dimuat dalam Undang-Undang Kesultanan Buton menyerupai konsep tujuh tahap tajalli Tuhan yang ditulis oleh Muhammad ibn Fadlullah
al-Burhanpuri. Adapun ajaran “martabat tujuh” yang dipahami di Buton pada abad
ke-19 adalah sebagai berikut[1] :
1.
Martabat ahadiyyah”.
Yang disebut ahadiyyah adalah zat
Allah semata, yang tidak diiktibarkan dengan sifat. Itulah yang disebut oleh
ahli tasawuf dengan “la ta ayyun”,
artinya tiada nyata akan “kenyataan-Nya”, sebab tiada sekali-kali jalan bagi
akal untuk mengetahui-Nya karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan
nama (asma’).
2.
Martabat wahdah’’.
Yang disebut demikian adalah sifat Allah. Dan itulah yang disebut oleh ahli
tasawuf dengan “ta’ayyun awwal”,
artinya “kenyataan pertama”. Disebut demikian, karena pada “kenyataan pertama”
itulah permulaan akal bisa mengetahui sifat Allah, sifat salbiyyah dan sifat wujudiyyah.
3.
Martabat wahidiyyah”.
Yang disebut demikian adalah asma Allah. Dan oleh ahli tasawuf disebutnya
dengan “ta’ayyun sani”, artinya
“kenyataan yang kedua”. Disebut demikian, karena pada tingkatan ini Allah dapat
dikenali oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya itulah menunjukkan zat-Nya.
Ketiga
atau tingkat tersebut diatas adalah qadim
(tidak bermula) dan baqa (kekal
selamanya). Urutan keberadaannya bukan dari sisi zaman atau waktu, tetapi hanya
dari sisi akal.
4.
Martabat alam arwah”.
Itulah pokok permulaan segala nyawa, baik manusia, maupun bagi makhluk l;ain.
Dan nyawa yang pertama dijadikan oleh Tuhan adalah nyawa nabi Muhammad saw.
Oleh karenanya, ia bergelar “abu
al-arwah”, artinya “bapak segala nyawa”. Seratus dua puluh ribu tujuh tahun
sesudahnya barulah diciptakan roh yang lain. Dan segala sesuatu yang diciptakan
sesudahnya adalah karena roh Muhammad. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad saw., “
Khalaqtu asy-syai’ li-ajlik wa-khalaqtuka
li-ajli.” (Aku menciptakan sesuatu karena kamu, dan Aku menciptakanmu karena
Aku). Sebabnya ia disebut ruh dalam bahasa Arab karena ia “pergi pulang”.
Maka dalam bahasa Wolio, rih disebut dengan lipa.
Kata ini juga berarti “pergi pulang”. Disebut demikian karena roh ini datang
dan pergi pada jasad (badan). Jasad akan hidup jika didatangi oleh roh, dan
mati jika ditinggalkan roh.
5.
Martabat alam misal”.
Yaitu perumpamaan segala keadaan, selain keadaaan Tuhan. Segala sesuatu selain
Tuhan ada perumpamaannya dalam alam misal
ini. Karena hanyalah sebagai perumpamaan, alam misal keadaanya halus, tidak dapat dicapai oleh pancaindera.
6.
Martabat alam ajsam”,
yaitu segala kenyataan yang nyata, seperti tanah, batu, awan, air, dan segala
keadaan yang dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam
ini bernama juga alam syahadah,
artinya alam yang nyata, karena dapat diselidiki oleh pancaindera. Alam yang
pertama dijadikan oleh Allah adalah ‘arsy
dan kursi, kemudian kalam, lauh mahfuz. Sesudah itu baru
tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit.’arsy,
kursi, dan tujuh lapis langit
disebut “wujud aba”, sedangkan bumi disebut “wujud ummahat”. Dan ajsam yang
ada dibawah langit ada tiga jenis, yaitu :beku, tidak berkembang biak, dan nabatat, artinya tubuh segala
tumbuh-tumbuhan. Dari semua ajsdam,
tubuh Nabi Adamlah yang pertama diciptakan diatas bumi. Karenanya, ia bergelar
“abu al-basyr”. Dan badan manusia ini
terbentuk dari empat anasir, yaitu tanah, air, angin dan api.
7.
Martabat alam insani”,
yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut pula ”martabat jam’iyyat”, artinya tingkat yang mengumpulkan segala
dalil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu sifat jalal dan jamal. Pada
manusia itulah berkumpul dua perumpamaan, yaitu: roh adalah perumpamaannya al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh
adalah perumpamaannya al-kahlq
(ciptaan). Dikatakan demikian karena manusia memiliki sifat dua puluh yang
wajib bagi Tuhan; dan karena segala sesuatu sifat yang ada pada badan atau
tubuh manusia ada pula pada alam besar. Sebagai contoh, batu pada alam besar
ditamsilkan dengan tulang dan daging pada manusia, angin pada alam besar
ditamsilkan napas pada manusia. Itulah sebabnya manusia disebut dengan “alam
kecil”, dan alam yang diluar manusia disebut “alam besar”. Ini berarti, segala
sesuatu yang ada di alam ini ada tamsilannya pada manusia. Bahkan lebih dari
itu, pada manusia ada roh sebagai tamsil Tuhan yang tidak ada pada alam besar.
[1] Naskah yang memuat ajaran “martabat tujuh”
ini dimuat dalam Undang-Undang Kesultanan Buton pada masa Sultan Muhammad
‘Aidrus Qa’im ad-Din (SBF: 179). Naskah ini ditranskripsi dan diterjemahkan
oleh A. Mulku Zahari. Baca Zahari Asrar, hlm. 2-6.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking