Akhlaq Nabi:
Elaborasi Bahasa Kemanusiaan
|
|
bismihi
ta'ala
Hampir semua
pemimpin besar yang pernah lahir di dunia meninggalkan banyak pesan-pesan
penting tentang kemanusiaan. Setiap pesannya mengandung prinsip-prinsip hidup
yang mendetail dengan kandungan makna yang sangat dalam. Di antara sosok
manusia besar yang pernah hidup dalam blantika sejarah kemanusiaan adalah
Muhammad Saw. Kebesaran nama Muhammad tidak dengan sendirinya tercipta begitu
saja. Dalam dirinya bersinergi dengan apik potensi kemanusiaan dengan
nilai-nilai Rububiyyah Allah Swt. Kualitas inilah yang membentuk makna
universalitas dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Dalam menegaskan
posisi dirinya sebagai manusia “langit” di bumi beliau bersabda; “Setiap
aku menyampaikan perkataan dan melakukan perbuatan aku dituntun dan dibimbing
oleh Allah Swt sehingga menjadi perkataan dan perbuatan yang sempurna.”
Dalam proses kompilasi sunnah Rasul kita
menemukan untaian perkataan dalam peristiwa demi peristiwa yang dilaluinya.
Tak satupun dari perkataan dan perbuatannya yang tidak memiliki kandungan
pesan spiritual dan kemanusiaan dengan refleksik persoalan yang jauh ke
depan. Hanya saja tidak semua orang mampu mengelaborasi dengan baik setiap
makna dari pesan yang disampaikannya. Berikut ini adalah petikan salah satu
pesannya berkenaan dengan perintah untuk memahami setiap detail dari
kata-katanya yang sarat makna: “Setiap perkataan yang anda dengarkan dari
saya, anda dapat merekam dan menjaganya kemudian anda menyampaikannya kepada
generasi yang akan datang. Ketika sampai kepada generasi mendatang, mereka
akan lebih memahami setiap makna perkataan perkataan saya dari anda yang
sekarang ini berada dalam majelis ini.” Dalam sebuah hadist, Rusulullah
Saw bersabda: ”Allah akan mensucikan wajah hambanya yang mendengarkan
perkataanku dan merekamnya (dalam akal) kemudian menyampaikannya kepada
mereka yang tidak mendengarnya”.
Perintah
untuk merekam dengan baik setiap perkataan dan perbuatan nabi memberikan
inplikasi yang sangat besar terhadap
keberlangsungan nilai-nilai ajaran Islam. Di samping itu sebagaimana yang
dikatakan Rasulullah Saw sendiri bahwa semua bentuk perkataan dan
perbuatannya mempunyai makna yang sangat dalam dan melingkupi seluruh zaman.
Orang-orang pada setiap zaman akan mengalami kemajuan dan tingkat pemahaman
yang lebih baik dari zaman sebelumnya. Dari situlah kemudian terlihat bahwa
perkataan dan perbuatan nabi tetap up to date sepanjang zaman. Berbarengan dengan itu umat Islam akan senantiasa memelihara
hubungan emosional dan kecintaan yang mendalam terhadapnya, dan bahkan Islam
sebagai sebuah ajaran mampu mengatasi setiap perubahan zaman.
Dalam al-Quran sejumlah ayat telah
menjelaskan kepada kita betapa mulianya Akhlak beliau. Bahkan diyakini bahwa
Rasulullah adalah refresentasi hidup dari al-Quran, sehingga dengan demikian
keseluruhan perkataan dan perbuatannya tak terbatasi oleh ruang dan waktu.
Sebagaimana dalam perkataannya yang mengandung pesan berkelanjutan dan tak
terikat oleh ruang dan waktu maka dalam tindakan dan perbuatannyapun
demikian. Allah Swt sebagaimana dinukil dalam al-Quran berfirman; “Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah suri teladan bagi kamu. Yaitu bagi orang-orang
yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari akherat…” (QS, 33 : 21)
Dengan kedudukan nabi yang sedemikian
tinggi itu dan mendapat legitimasi dari Allah adalah sangat wajar jika
keseluruhan komponen kehidupannya sarat dengan makna. Karenanya para perawi
hadis atau bahkan penulis sejarah nabi sekalipun tidak akan mampu merekaveri
keseluruhan makna dari setiap perkataan dan perbuatannya. Dan tidak jarang
kita temukan dalam riwayat hadis dan catatan sejarah terjadi mispersepsi
ataupun penyimpangan pemahaman yang bias. Untuk itu dalam memahami dan
mengkontekstualisasikan ajaran Rasulullah tidak cukup dengan mengandalkan
catatan sejarah ataupun uraian perawi hadis. Tetapi itu harus dibarengi
dengan kajian secara mendalam yang dapat melahirkan interpretasi baru sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Untuk dapat mendekati dan menangkap makna
generik dari setiap pesan dan perbuatan nabi diperlukan adanya metodologi
yang baik dan benar. Para kritikus sejarah
menggunakan paling tidak dua pendekatan yaitu pendekatan kronologis dan
pendekatan analisis. Pendekatan kronologis mendekatkan kita pada
tahapan-tahapan setiap peristiwa yang dialami oleh nabi. Dan pedekatan
analisis mengajak kita untuk mengkaji secara detail latar setiap peristiwa.
Untuk menajamkan pendekatan analisis ini, harus dibantu dengan teknik
pendekatan ilmiah seperti analisis linguistik, komparatif, induktif, deduktif
dan lain-lain. Cara pendekatan di atas mengharuskan kita untuk mempertanyakan
setiap episode kejadian dengan semua detail permasalahannya, misalnya kenapa
nabi berbuat seperti itu, apa tujuannya, dan seterusnya. Dengan metode ini
akan lahir penafsiran baru yang segar dan lebih membumi.
Kita patut mempertanyakan kenapa umat Islam
hari ini rancu dalam memahami kepribadian Rasulullah. Sangat sulit kita
menemukan orang yang dengan pasih dan rinci dalam menjelaskan diri dan
kepribadian nabi, apalagi untuk mengaktualisasikannya dalam pragmen kehidupan
modern sekarang. Keadaan ini terjadi karena kelemahan metodologi para perawi
hadis dan penulis sejarah. Akibatnya kemudian diri nabi telah dijadikan sama
dengan artifak-artifak dari peninggalan masa lalu yang tidak memiliki
signifikansi hubungan dengan masa kekinian manusia. Efeknya yang lebih jauh
adalah pupusnya kecintaan yang menghilangkan hubungan emosional dengan nabi.
Dalam bahasa masyarakat awam bahwa apa yang terjadi pada masa nabi telah
berlalu dan karenanya tidak kontekstual lagi dengan masa kekinian kita di
mana peradaban manusia telah maju dan modern yang berbeda dengan masa nabi
yang kolot dan primitif.
Dari gambaran di atas memperlihatkan bahwa
perjalanan sejarah Islam yang direpresentasikan oleh pribadi nabi sadar atau
tidak telah mengalami reduksi yang demikian rupa. Sebagai misal, sebagian
penafsir al-Quran mengatakan bahwa nabi pernah melakukan kesalahan seperti
yang dinukil di dalam surah Abasa’ .Digambarkan bahwa nabi menunjukkan
perilaku yang tidak bersahabat terhadap orang miskin dan buta dihadapan
pembesar Qurays yang kafir, padahal orang miskin itu adalah seorang muslim.
Pertanyaan kita mungkinkah sifat buruk itu terjadi pada nabi? Apakah tidak
terjadi kontradiksi antara diri nabi sebagai personifikasi al-Quran yang
mulia dengan nilai-nilai mulia dari ajaran al-Quran? Apakah tidak terjadi
pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya yang menjelaskan keutamaan
akhlaq nabi? Atau mungkinkan nabi melakukan pelanggaran terhadap ayat-ayat
yang menjamin kedudukan dan ketinggian akhlaqnya seperti termaktub dalam
surah al-Qalam; “Dan sesungguhnya bagi engkau pahala yang tak
putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlaq yang tinggi dan
mulia.” ( QS, 68: 3-4) Dan dalam surah An-Najm; “Dan dia tidak berkata
dengan hawa nafsunya, Semua yang
dikatakannya adalah wahyu Allah.” (QS, 53 : 3-4) Surah-surah di atas
dalam asbabun nuzul, turun mendahului surah Abasa.’ Karenanya
sebuah kemustahilan bagi nabi untuk melakukan pelanggaran atas wahyu Allah
yang diajarkan untuk umat manusia.
Dalam catatan sejarah suatu hari Rasulullah
diundang oleh kalangan bangsawan kafir Quraiys di rumah Mughirah bin Syu’bah
salah seorang bangsawan kafir penentang Dakwah Rasul. Nabi datang meladeni
undangan dialog tersebut. Saat dialog berlangsung tiba-tiba Ibn Ummi Maktum
(seorang sahabat nabi miskin dan buta) datang untuk mendengarkan pembicaraan
mereka. Konon katanya nabi merasa tidak enak dan nampak pada wajahnya.
Penafsiran ini sangat mustahil terjadi pada diri dan wajah suci yang maha
mulia itu. Ada
beberapa kemustahilan. Pertama, kita percaya bahwa al-Quran itu
diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui Muhammad. Ini menunjukkan bahwa
semua ayat yang disampaikan ditujukan kepada manusia yang direprentasikan
oleh nabi, sebagaimana kata Aisyah (istri) beliau ketika menjawab pertanyaan
para sahabat tentang akhlaq nabi, beliau mengatakan, “akhlaq nabi adalah
al-Quran”. Kedua, Pertemuan tersebut terjadi di rumah bangsawan
quraiys dan dihadiri oleh bangsawan lainnya yang menentang dengan penuh
kebencian terhadap nabi dan pengikutnya yang rata-rata budak, dan orang-orang
miskin. Logika kita bertanya kalau suatu hajatan diadakan dan diperuntukkan
bagi kalangan khusus dan terhormat tetapi ada orang lain (miskin, kaum
tertindas) yang hadir dan tidak diundang. Apakah undangan yang bermuka masam
atau pemilik acara hajatan? Apalagi kalau yang datang itu adalah orang yang
sebelumnya telah dibenci. Ketiga, Nabi dalam sejarah dicatat dengan
baik bahwa orang-orang pertama yang membela dan membantunya dalam menegakkan
Islam adalah orang miskin dan tertindas. Kita tahu masuk Islamnya Bilal
misalnya itu di awali hanya dengan uspan dan belaian tangan suci nabi tatkala
Bilal disiksa oleh bangsawan kafir Quraiys. Mungkinkah nabi yang
memperjuangkan hak-hak kaumnya yang tertindas (apalagi Ummi Maktum) seorang
muslim dan sahabat beliau menghinakan saudaranya sendiri di depan lawan-lawan
dakwahnya. Sebuah akhlaq yang sangat buruk yang bahkan anjingpun tidak tega
melakukannya.
|
Trending Template
Saterdag 15 Februarie 2014
Akhlaq Nabi: Elaborasi Bahasa Kemanusiaan
Etikette:
Agama
Teken in op:
Plaas opmerkings (Atom)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking