Jejak Sejarah
Kesultanan Buton
Culture: Friday, 12
Nov 2004 9:12:46 WIB
Pulau Buton. Nama yang selalu
dihubungkan dengan pertambangan aspal alam. Tak banyak yang tahu, di pulau ini
ada satu kesultanan, yang berperan mengisi sejarah Indonesia. Juga tak tercantum dalam
buku pelajaran sejarah sekolah dasar. Kesultanan Buton seakan berdiri sendiri,
diluar hiruk pikuk pentas sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Datanglah
ke Kota
Bau-bau. Di kota
kecil inilah komplek Kesultanan Buton berada. Terletak di puncak bukit dan
menghadap ke Selat Buton. Penduduk setempat menyebutnya keraton. Aura
kemegahannya masih terasa nyata.
Dari arah laut, tiang bendera setinggi
dua puluh satu meter, adalah tanda pertama yang akan terlihat oleh kapal yang
datang. Tiang megah dari kayu jati ini didirikan tahun 1712 tepat dihalaman
depan benteng. Seolah memberi isyarat, anda sedang memasuki wilayah kota raja. Di tiang ini
juga pernah dikibarkan bendera kerajaan Belanda, Jepang sebelum akhirnya
dikibarkan sang merah putih.
Kerajaan Buton diperkirakan berdiri
pada abad empat belas, dua abad kemudian berubah menjadi kesultanan. Kompleks
keraton dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu tujuh ratus empat puluh
meter. Benteng ini dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan
yang berbeda.
Benteng berbentuk huruf 'dal' dalam
aksara Arab ini, disusun dari batu kapur dan pasir. Benteng ini dilengkapi dua
belas pintu masuk dan enam belas kubu pertahanan. Banyaknya meriam yang
ditempatkan di tiap sisi benteng, menunjukkan masa Kesultanan Buton tidaklah
mudah. Ada
musuh, ada tamu asing, dan juga ada kerajaan tetangga, yang setiap saat datang
sebagai lawan.
Disisi tebing yang sekaligus pembatas
benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk. Letaknya tepat di bawah tanah
keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian Arupalaka, Raja Bone, saat
melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa. Berkat
sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak berada di atas tanah Buton,
maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.
Perubahan sistem kerajaan menjadi
Kesultanan Buton, tidak lepas dari nama besar Sultan Murhum. Dialah yang
menorehkan sejarah di atas tanah Buton. Raja terakhir dari enam raja, sekaligus
sultan pertama dari tiga puluh delapan sultan. Ia memerintah dari tahun 1538
hingga 1584, dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis. Makamnya hingga
saat ini masih terawat dengan baik di dalam kompleks keraton. Orang Buton tidak
melupakannya. Nama sang sultan diabadikan menjadi nama pelabuhan laut, udara
dan nama jalan.
Dalam komplek keraton, kediaman sultan tampak jauh lebih sederhana dibanding
dengan istana raja-raja di tanah lain. Rumah panggung yang pernah didiami
sejumlah sultan dari era yang berbeda, masih tersisa hingga kini. Rumah-rumah
itu disebut kamali atau malige. Didalamnya, berbagai benda bersejarah juga
masih disimpan, seperti bendera kerajaan yang pernah berkibar megah ratusan
tahun lalu.
Kesederhanaan ini seperti cermin dari
iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia
lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda tugas, Sultan Buton tidak selalu
diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota
dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon
dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran.
Nuansa Islami amat lekat dengan
Kesultanan Buton. Ddalam setiap pengangkatan sultan baru, ada sejumlah ritual
yang telah menjadi tradisi. Ada
sebuah batu berbentuk tonggak tempat menyimpan air, yang akan dipakai mandi
sang calon sultan, sebelum diambil sumpahnya di Masjid Agung dalam kompleks
keraton. Sehabis diambil sumpahnya, sang sultan baru dibawa ke batu pengangkatan.
Diatas batu yang menyerupai alat kelamin perempuan ini, sang sultan di upacarai
seolah-olah baru terlahir kembali. Bentuk batu ini mengingatkan pada lingga
yoni, dalam konsep ajaran Hindu.
Masjid Agung keraton. Bangunan segi
empat berbentuk tumpeng ini, didirikan pada awal abad delapan belas, pada masa
pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Meski menjadi bagian dari kompleks
keraton dalam Kesultanan Buton, wujud bangunan ini tetap terlihat sederhana.
Namun sebaliknya, setiap komponen bangunan masjid ini penuh dengan simbol yang
kaya akan makna.
Pengaruh Islam masuk ke Buton secara
resmi pada tahun 948 hijriah, dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Sulaiman.
Syeikh ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu. Namun baru dua abad kemudian
Masjid Agung keraton dibangun. Untuk mendirikan masjid ini konon menghabiskan
tiga ratus tiga belas potongan kayu, yang sama jumlahnya dengan potongan
tulang-tulang tubuh manusia.
Dilengkapi dengan dua belas pintu,
masjid ini mampu menampung hingga lima
ratus orang jemaah. Jumlah pintu merupakan simbol jumlah lubang dalam tubuh
manusia.
Pengaruh demokrasi dalam sistem
kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masjid Agung, yang berjumlah lima puluh enam orang.
Namanya Sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan maupun rakyat
jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam,
empat orang khatib, sepuluh orang moji dan empat puluh orang anggotanya.
Di era Indonesia modern, pengurus masjid
tidak diperbolehkan berpolitik, karena dapat mengganggu indepedensi dewan
masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika
membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur,
dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian
salah
satu
pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi
para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul
enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang Shalat Jumat. Petugas pemukul
bedug atau tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan,
dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain khas Buton.
Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna
putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.
Ada
banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang shalat,
para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di
tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus
untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari
keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin shalat.
Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan
shalat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju
ke depan mimbar. Ada
empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam
ritual sebelum shalat di mulai.
Ritual sebelum shalat di mulai memang
terlihat rumit. Namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun,
yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang di coba untuk dipertahankan demi
nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
Keberadaan para pengurus masjid ini
begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus
jenasah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat,
karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta
kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir
setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan
wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam
mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang
sulit untuk dicerna.
Sayangnya denyut nadi kehidupan dan
budaya masyarakat Buton yang begitu elok, seperti terisolasi dari pengetahuan
nasional. Ceritanya hanya bergaung lewat artikel-artikel sederhana dalam koran.
Padahal, dengan sedikit polesan tangan terampil, Pulau Buton bisa menjadi surga
wisata.(Idh)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking