Ber-Islam Di Era Multikulturalisme
Tanggal dimuat: 7/6/2004
Oleh:
Zakiyuddin
Baidhawy
Satu pelajaran berharga dari
evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung
dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali
untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan
memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna
yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.
Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.
Pada faktanya relasi antar agama,
antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus
mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling
konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung
pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas
untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih
dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara
kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling
berjumpa.
Islam perlu memanfaatkan momentum
kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda
bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20.
Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin
luwes dan umum (general) sebagai
lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya,
agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi
dan nasib bersama.
Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.
Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.
Belajar dari kegagalan politik
penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam
multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara.
Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan
terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment
teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya
secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani
yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai
realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah
perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi
partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan
"sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan
perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka
melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur
teologi multikulturalis (summum bonum)
adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan,
kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah,
dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan
antaragama,etnik dan budaya.
Sulam Ragam Rajut Harmoni
Islam pada intinya adalah seruan
pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa
membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa
dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis
terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus
kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah:
Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan
dan keadilan (melalui dialog)antara kami dan kamu".Dialog bukan semata
percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama,
dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang.
"Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa
pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi
dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi,
klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan
tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju
kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).
Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia
melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada
tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai
selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan
berbagai dimensinya.
Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.
Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.
Pluralitas dan multikulturalitas
untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari
pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi
semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia
keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak
diskriminatif. Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui
pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama
dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan
disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler.
Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan
dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit
perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nir kekerasan dan berkeadaban. Penemuan
sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan
suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar
dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses
pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat
jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang
mendalam dan kematangan kemanusiaan.
satu pelajaran berharga dari
evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung
dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola
pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami
kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita
merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas
nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.
Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatif.
Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatif.
** Peneliti Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas
Muhamadiyyah Solo (UMS)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking