Surat Untuk Raisa
( Alam Mitologis,
Kreativitas dan Estetika yang Menyejarah )
Oleh: Riadi Ngasiran[1]
Raisa, yang manis,
Kalau aku tulis surat ini, kau pun tahu
sesungguhnya kau berhak tahu sebagian obesesiku. Ketika kau baca surat ini,
tentu kau akan mengenang kembali masa-masa kanakmu ketika setiap sore kau
mengantarkanku di sudut pintu keluar dari gang buntu. Tetapi, itu tak jadi
soal. Sebab, tak ada yang paling menyakitkan dalam hal hidup kecuali buntunya
kreativitas. Karena itu, aku ingin banyak bertutur lewat baris-baris kalimat
dalam surat ini.
Meski ini tak akan memberikan pencerahan dalam
pikiranmu tapi, sebagaimana obsesiku, paling tidak akan menjadikan pintu
kesadaran baru meski sebelumnya kau sudah tahu. Aku ingin berkisah tentang dua
pelukis yang, di antara keduanya, mempunyai pengalaman hidup dan perjalanan
kreativitas yang saling bertolak-belakang.
Sebut ia pelukis kita. Kita menyaksikan saat-saat
bahagia pelukis kita, yang hidup bersama istri tercintanya, di sebuah bilik
kecil di pantai. Tapi, sudahlah enaknya aku pinjam saja kisah Iwan Simatupang
dalam Ziarah-nya: Pelan-pelan ia menuntun suaminya ke dalam bilik. Di sana ia
menggumul suaminya, menimbun dan menenggelamkannya dalam pelukan-pelukan dan
ciuman-ciuman yang membara dipanggang berahi.
Kebahagiaan pelukis kita dan istrinya, dapat
menarik perhatian orang-orang di seluruh negeri. Tentang pelukis dan sanggarnya
di pantai, dengan istrinya yang sangat dicintainya, akhirnya terbetik juga ke
kota. Kemudian ke seluruh negeri. Gubuk itu lalu beroleh kunjungan yang makin
ramai, terutama dari gadis-gadis, pelajar-pelajar sekolah menengah yang
tertarik pada sastra dan budaya. Maka, ketika ketenaran sudah mengantarkannya
ke dalam kesuksesan, pelukis kita kemudian hidup di kota. Mereka tinggal di sebuah
hotel di lantai tinggi. Mereka betul-betul menikmati hidupnya. Dan pada suatu
saat kemudian, si istri meninggal dunia.
Fatal bagi pelukis kita, dalam kondisi kehilangan
itulah ia tak lagi bisa berkarya. Yang lebih tragis, pelukis kita hanya bisa mengapur
tembok-tembok di kuburan, tempat jenazah istrinya itu dikuburkan. Harapan hidup
pun terasa luntur. Pernah suatu ketika, pelukis kita berputus-asa. Pelukis kita
bermaksud bunuh diri dengan jalan melompat dari jendela hotel:
“Ah, aspal...bumi dari segala resah dan risau
modern. Tempat bertemu dan berkumpulnya segala arah, di mana untuk selanjutnya
putusan-putusan penting tentang umat manusia masa datang di ambil”.
Secara eksplisit kita tahu, bahwa aspal
menggambarkan “bumi dari segala resah dan risau modern” – tempat seseorang
harus memilih arah yang akan ditujunya dan harus mengambil keputusan, dengan
segala risiko yang harus dihadapinya.
Pelukis kedua yang hendak kuceritakan, sebut ia
dengan Tokoh Kita. Tokoh kita seorang guru menggambar di sebuah sekolah
menengah pertama. Tapi, ia tak ingin terkungkung dalam rutinitas mengajar, yang
hanya berhadapan dengan anak-anak. Ia merasa bertanggung jawab dengan
memberikan pergaulan pada proses pembelajaran. Kadang, di antara
teman-temannya, ia hanya dipahami sebagai pemalas dan kerjanya hanya jagongan
di sebuah sanggar kesenian.
Bisakah kau pahami, bahwa ia juga seorang penyair.
Tokoh kita, menulis baris-baris puisi. Tentang dirinya sendiri, sebagai “Guru
Menggambar”, ia berututur:
anak-anak tak pernah mengenal gunung
gurunya menyuruh gambar seperti milik mama
sambil menanti gajian setiap bulan.
Tokoh kita hidup dengan dua istri. Di antara kedua
istrinya, ia memang pahlawan, bagi anak-anaknya. Khususnya, pada istri
pertamanya yang tak bisa membuahkan keturunan tapi harus menanggung kebutuhan
hidup mereka. Waktu berlajan, anak-anak tirinya sudah mulai besar, bahkan di
antaranya sudah memberikan cucu. Maka istri pertama Tokoh kita ini, tanpa
disadari menderita kanker payudara dan baru diketahui ketika sudah sangat
parah. Tak bisa lagi diobati, meski segala ikhtiar agar bisa bertahan hidup
dilakukan oleh Tokoh kita. Tapi, maut pun tetap menjemput pada saatnya.
Maka, Tokoh kita ditinggal mati istri pertamanya.
Kesedihan tak bisa begitu saja dihilangkan, ketika orang-orang terkasih
satu-persatu meninggalkan kita. Begitulah, Tokoh kita terus saja bersedih
hingga 40 hari kematian istri pertamanya itu. Tapi, justru dalam banyak hal ia
menemukan kembali orang-orang yang selama ini menganggapnya arogan. Di tengah suasana
pedih, Tokoh kita justru makin meninggi tingkat frekuensi dalam berkreativitas.
Dan sejumlah karya lukisan sudah dihasilkan; ia akhirnya hendak berpameran ke
Ibu Kota, bahkan sudah menyiapkan sebuah buku yang merekam sebagian besar
pikiran yang ditulis ketika ia didampingi istri pertamanya itu.
Ia tidak seperti pelukis pertama. Tokoh kita
adalah Saiful Hadjar, pelukis tinggal di Surabaya, memang banyak berpikiran
nakal. Coba bayangkan, suatu ketika ia pernah membayangkan adanya suatu
“Peristiwa”. Tokoh kita menulis:
ada anak Adam meloncat
dari hotel lantai tertinggi
tidak mati.
Ini sebuah sikap yang hendak menolak kondrat,
betapa pun sudah lazim bahwa kematian akan menjemput seseorang yang meloncat
dari atas ketinggian. Tokoh kita selalu ingin bereksperimen dengan seseorang
sebagai bagian bergulatan hidup, sebagai bagian dari proses kreatifnya.
Raisa yang baik,
Dalam hal kreativitas, seorang seniman bisa
terkungkung pada alam mitologis sebagaimana yang terjadi pada orang-orang masa
lalu. Bagi seorang seniman, lewat karya-karyanya, adakah mampu menaklukkan
kungkungan itu sehingga menjadi kian kreatif atau menjadi makin jumud. Hal itu
tergantung bagaimana kita menyikapinya: adakah daya cerap kita berobsesi atau
sekadar menangkap wajah alam semesta ini apa adanya. Belakangan, memang ada
juga ikhtiar dari sekelompok masyarakat untuk terus menghidupkan mitos-mitos
dalam sebuah komunitas etnis tertentu.
Di masyarakat Jawa, mitos bahkan terlanjur menjadi
bagian penting dalam hidup dan pola pikir masyarakat. Belakangan, di suku Bugis
yang diliputi mitos I La Galigo, menjadi pembicaran penting dalam forum telaah
dan diskusi di Barru, Sulawesi Selatan, April 2002. Mitos tentang kerajaan Luwu
Kuno, berpangaruh dalam wujud rupa dan nampak jelas dalam gaya arsitektur
masyarakat di sana. Juga di masyarakat suku-suku yang lain di Indonesia.
Demikian pula ada suku Asmat di Irian Jaya, mitos
berkembang dan nampak jelas pada seni ukir mereka. Motif-motif ukiran dapat
menerangkan filsafat manusia-manusia Asmat. Motif-motif itu merupakan binatang
yang hidup dan buah-buahan seperti belalang sembah (walang kadung) dan manusia.
Bila diperhatikan, ada motif yang domninan, dalam ukiran Suku Asmat, yaitu
motif binatang yang memakan buah. Simbolik “makan buah” digunakan mereka untuk
menerangkan posisi manusia dalam makro dan mikro kosmos. Dalam telaah J
Boelaars tentang Filsafat Manusia Orang Irian: anak dalam kandungan ibu makan
dari ibu. Demikian pula manusia dalam kandungan alam semesta dalam kandungan
masyarakat, makan dari alam dan dari masyarakat. Bahkan, ada perkataan:
suami-istri dalam persetubuhannya makan buah kemaluan dari pasangannya. Dalam
perang, tombak makan buah (badan musuh dan buah tengkoraknya) dibawa pulang ke
rumah.
Kalau ditilik dari sini, sebenarnya pola berpikir
yang ada dalam masyarakat pun masih diliputi mitos-mitos, yang hingga kini
belum juga hilang. Seperti adanya isu “culik anak” yang belakangan berkembang
sebagai tumbal pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) tak bisa
dihilangkan begitu saja dari alam pikir masyarakat. Ternyata, sejak dulu kita
belum beranjak dari kungkungan alam mitologis seperti itu. Coba kita lihat
catatan Sutan Sjahrir ketika diasingkan di Neira (Banda) di masa perjuangan
melawan penjajahan Belanda, dalam tahun 1937 ia mencatat beredarnya “tukang
culik” ialah orang-orang yang mengayau kepala orang untuk kepentingan
gubernemen. Sjahrir pun heran ketika ia menyaksikan ketakutan “gawat” justru
diucapkan orang-orang Kristen-Inlander yang baik dan “setia”, yang bercita-cita
mau jadi serdadu pada kompeni.
Sebagaimana yang ada di masyarakat kita tentang
mitos-mitos para pembunuh yang berkeliaran, yang mencari tumbah untuk
rencana-rencana besar, seperti pembangunan jembatan Suramadu itu. Itulah yang
sulit kita hindari, mitos hidup di alam pikiran kita.
Tetapi, sejauhmana sebuah mitos bisa berpengaruh
pada karya kreatif? Mitos-mitos yang menyelimuti itu, bisa menjadi daya dorong
untuk mengungkapkan bahasa visual dalam seni rupa. Di masyarakat Osing di
Banyuwangi, berkembang mitos tentang wujud seorang nenek tua yang selalu hadir
pada mereka yang congkak atau mencemoohkan eksistensi mitos itu. Wajah seorang
nenek tua, dengan payudara yang lunglai sehingga kadang menampakkannya seperti
selendang yang bisa diselempangkan di atas pundak. Kalau seorang pelukis
kreatif menangkap mitos ini, akan terwujud bahasa visual dengan deformasi yang
jelas dan punya akar dalam pikiran pelukisnya. Tetapi, soal deformasi ini
kadang ada yang ahistoris: dengan tiba-tiba seorang pelukis menghadirkan
figur-figur asing deformatif tapi hasil dari reproduksi yang pernah dihasilkan
pelukis tekenal. Inilah yang agaknya mulai menggejala menjadi penyakit yang
menjumudkan kreativitasnya sendiri.
Kita bisa menyaksikan, ketika figur-figur
deformasi ala Heri Dono atau Edie Hara mulai mendapat perhatian, seketika ada
pelukis yang mengikuti bentuk-bentuk itu. Yang menggelikan, pengkopian itu
dilakukan tanpa adanya kesadaran kreativitas yang menyejarah. Mereka tidak
tahu, Heri Dono melakukan hal itu karena dorongan mitos yang berkembang ketika
ia pernah bergaul di kalangan masyarakat di lereng Gunung Merapi. Demikian
misalnya ketika ia mengangkat Pohon Beringin dan Buaya Putih dalam sebuah
pameran seni rupa.
Raisa yang manis,
Alam pikiran tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
mitologis atau filsafat yang pernah dipelajarinya. Filsafat pun mempengaruhi
bidang-bidang lain dari ilmu pengetahuan. Saling keterpengaruhan dan
persinggungan inilah, sesungguhnya yang bisa menjadikan hadirnya seseorang
lebih kreatif.
Barangkali, Karl R Popper tak pernah menduga,
bahwa epistemologi atawa teori pengetahuan (cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya
serta secara umum hal dapat diadalkannya penegasan baha orang memiliki pengetahuan)
tentang problem solving ternyata bisa diterapkan dalam bidang-bidang yang cukup
luas. Juga dalam bidang seni, selain di bidang matematika atau logika.
Penerapan metode “problem solving” dalam bidang
seni telah ditunjukkan oleh Sir Ernst Gombrich dalam bukunya Art and Illusion.
Di situ, sejarah seni rupa diterapkan dalam istilah Popperian sebagai
“modifikasi penciptaan citra setahap demi setahap atas konvensi-konvensi
tradisional berkat tekanan penuturan-penuturan baru”. Sehubungan dengan Art and
Illusion, Gombrich sendiri dalam salah satu artikelnya pernah menulis bahwa
metodologi Popper yang tidak induktivis, melainkan Darwinian, mengilhami
Gombrich untuk mencari teori baru mengenai sejarah seni rupa.
Barangkali, kau tak pernah tahu banyak tentang
kehadiran Soedjatmoko dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam
pemikiran Soedjatmoko pun, terkandung pemahaman sebagaimana kesadaran penerapan
metode Popper. Yakni, ketika kesadaran sejarah dilihat dalam pertentangan
dengan kesadaran ahistoris: sikap hidup yang menganggap sebab-sebab kejadian
tidak harus dicari dalam dunia ini. Tindakan manusia tidak dinilai dalam hasil
praktisnya, melainkan hanya sebagai sarana untuk menguji dan menggembleng jiwa.
Tindakan manusia bukan saja tidak mempunyai kemampuan untuk memperbaiki
hidupnya, melainkan tidak mungkin mempengaruhinya. Kehidupan manusia ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan yang tak terlawankan, dan tindakan manusia – perorangan
maupun bersama – hanya merupakan pelaksanaan “kemauan” kekuatan tersebut.
Dengan ringkas, apa yang oleh Soedjatmoko dianggap pandangan ahistoris tak
berbeda dari pandangan yang mengakui determinisme sejarah.
Kesadaran sejarah, sebaliknya adalah kesadaran
bahwa sejarah adalah sejarah manusia. Makna sejarah dan kekuatan sejarah adalah
hasil pikiran, keputusan dan tindakan manusia, yang diakumulasikan dari waktu
ke waktu. Hidup dan nasib manusia pada dasarnya tergantung kepada apa yang
dilakukannya sendiri, yaitu pada kemampuannya untuk memilih dan mengolah
kemungkinan yang terdapat di dunia ini. Keberhasilan dan kegagalannya dalam
hidup tidak ada hubungannya dengan kekuatan-kekuatan di luar dunia ini. Malah,
menurut Soedjatmoko, campur tangan Tuhan pun – dalam pandangan historis – hanya
dilihat sebagai salah satu dari faktor-faktor lainnya, yang bersama-sama
memunculkan suatu peristiwa dalam sejarah. Sebagaimana ditunjukkan Ignas
Kleden, “kesadaran sejarah adalah perlawanan manusia terhadap determinisme”
untuk merebut kembali kebebasan manusia dalam menentukan tujuan dan jalan hidupnya
dan menegakkan otonomi dirinya dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan luar.
Di sinilah, seniman berada pada kesadaran bahwa
dirinya harus mengukirkan sesuatu yang sebelumnya tak ada, sebagai kreator yang
hadir dalam percaturan kebudayaan. Kesadaran akan sejarah, sesungguhnya manusia
tidak begitu saja ditundukkan alam atau mengadakan tautan harmoni dengan
kehidupan, tetapi memberi corak pada kehidupan itu sendiri. Ketika seseorang
begitu gandrungnya dengan harmoni itu sesugguhnya ia berada pada fase
mitologis: karya seni rupa mencerminkan ketergantungan manusia sepenuhnya pada
alam semesta.
Kebudayaan sebagai sebuah proses, karenanya sesuai
pandangan van Peursen, sebagai sesuatu yang dinamis dan bukan sesuatu yang kaku
atau statis. Sebagaimana dipahami olehnya, terdapat suatu model kebudayaan
bertahap tiga: tahap mitis, bilamana manusia masih terbenam di tengah-tengah
dunia sekitarnya; tahap ontologis, bilamana manusia mengambil jarak terhadap
alam raya dan terhadap dirinya sendiri, dalam karya seni rupa mencerminkan
hubungan antarmanusia dalam rangka menghadapi semesta; dan tahap fungsional,
bila manusia mulai menyadari relasi-relasi lalu mendekati tema-tema tradisional
(alam, Tuhan, sesama manusia dan identitas sendiri) dengan cara baru. Pada fase
fungsional, karya seni rupa mengungkapkan betapa setiap kepentingan dan
kehendak manusia memberdayakan ungkapan (ekspresi)nya untuk tujuan-tujuan
tertentu, seperti tujuan simbolis, spiritual, material dan kontekstual. Yang
menarik adalah ketiga tahap ini tidaklah hadir secara hierarkis, misalnya yang
satu lebih tinggi daripada yang lain, tetapi masing-masing mengandung
unsur-unsur tahap lainnya.
Saya hendak mengungkapkan, sejauh ini terdapat
fase mitologis yang membikin kita jumud dalam memahami kebudayaan. Dalam
kitabnya, Art and Social Life, Plekanov telah menandai konteks historis dalam
estetisme dengan pernyataannya bahwa “kepercayaan akan seni untuk seni muncul
ketika seniman tidak lagi sejalan dengan lingkungan sosialnya”. Di sinilah
hadir semacam proses pengasingan.
Raisa yang baik,
Seniman dengan karyanya adalah seorang teroris
yang selalu mengusik, meneror menjadi kesadaran baru. Mengusik atau penghadiran
daya teror sesungguhnya menjadi ukuran keberhasilan seorang seniman. Dalam
bentuk bahasa rupa, sesugguhnya akan kita ketahui: apakah ia seorang kreator
atau seorang tukang gambar. Ketika alam diwujudkan di atas kanvas, adakah ia
mampu mengusik kesadaran lewat karyanya? Aku tidak menolak seorang pelukis yang
menghadirkan bunga di kanvasnya. Tetapi, adakah bunga itu meneror kesadaran
penikmatnya, menjadi ukuran keberhasilannya itu. Misalnya, bunga yang tertembus
carang berduri. Hadirnya sebuah obsesi, adalah kesadaran yang seharusnya
tersirat dalam setiap karya seorang seniman.
Sebuah obsesi, adalah suasana dimana digambarkan
penyair Charles Baudelaire sebagai:”Kubenci kau, Lautan! gedebar-gedeburmu. Di
dalamnya jiwaku kembali menemukan itu tawa pahit. Lelaki yang kalah, kuyup
airmata dan nista, Kudengar semua dalam tawa gelagak laut”. Obsesi bisa terwujud
sebagaimana hal yang tak lazim di mata umum: seperti bagaimana menyenangkannya
suasana malam tanpa bintang-gemintang. Obsesi akan coba dicari dalam
kekosongan, kegelapan dan ketelanjangan. Dan kelam sendiri ialah kanvas, tempat
hidup – berhambur ribuan dari mata seorang seniman – dalam istilah Baudelaire,
“insan-insan yang gaib dengan pandangan akrab”.
Ada hal yang menarik pada Baudelaire, ialah sikap
pandangannya terhadap dunia realitas yang ia lihat. Ternyata, alam ini bukan
semata-mata alam, tetapi “suatu hutan perlambang”, yang harus disibak maknanya.
Alam adalah semacam alegori mistik, sejenis perangsang bagi imajinasi. Tak
heran di sini, karya seni (puisi atau pun lukisan) memasuki bidang mistik dan
metafisik, yang di dalamnya kita berkenalan dengan metode irasional dan
kemabukan. Karya seni, lebih banyak mengungkapkan jiwa daripada perasaan, sebab
itu segera kita merasakan kedalamannya. Rasa tragis manusia dikembangkan ke
tingkat yang setinggi-tingginya.
Raisa yang baik,
Maafkan! Aku hanya bercerita tentang kehidupan
orang-orang di sekitar kreativitas. Betapa pun, obsesi seseorang menjadi ukuran
yang bisa diwujudkan sehingga menjadi manusia kreatif. Tanpa itu, agaknya
kesadaran akan manusia utama nyaris hilang dan menjadi manusia umumnya yang tak
hendak menolak kelaziman. Alias jalan di rel yang umum dilakukan banyak orang.
Dari sikap yang menolak arus umum, niscaya akan
hadir personalitas. Tak ada kebanggaan menjadi manusia kreatif, selain
pencapaiannya menghargai kebebasan secara personal. Di situlah letak kebesaran
Pencipta, yang dimanifestasikan lewat manusia kreatif.
Surabaya, 02 Juni 2002
Salamku,
Riadi Ngasiran
galeri esai: gelar karya esai cybersastra
Dimuat hari Minggu, Juni 23, 2002
[1] Penulis adalah esais kebudayaan, Sekretaris
Dewan Kesenian Surabaya dan aktivis Bengkel Muda Surabaya.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking