Berfilsafat
Tanpa Sabuk Pengaman
Oleh : Donny
Gahral Adian (Nietzcheolog)
Kejatuhan manusia dari taman
firdaus adalah kejatuhan ke dalam semesta tanda tanya. Terang sekarang
bergantian kesunyian, keasingan dan kengerian. Semuanya sekarang serba remang,
abu-abu dan kabur. Sebuah ironi yang menarik. Siti hawa yang memakan buah
pengetahuan justru terlempar ke dalam keramang-remangan epistemik yang
menggelisahkan. Keremangan yang memunculkan banyak pertanyaan. Apakah kodrat
semesta alam raya? mengapa manusia ada? Siapakah dia sesungguhnya? Dimana
posisi kosmiknya? Dan apakah tujuan eksistensialnya.
Amnesia
primordial tersebut tidak berlangsung lama. Yang ilahi tak lega untuk tidak
memercikkan dirinya dalam sejarah dan menjelma agama. Agama menjawab tuntas semua
pertanyaan tersebut. Agama membangun sebuah narasi raksasa tentang kodrat
semesta raya termasuk manusia. Lahirnya agama-agama besar menyudahi
keberombang-ambingan tersebut. It’s all
over now! Manusia boleh merasa aman sekarang.
Di sisi lain, sekelompok orang tidak
begiitu saja puas dengan jawaban-jawaban teologis. Bagi mereka keremangan harus
disingkap dengan mengaktifkan kerja rasion semaksimal mungkin. Kebenaran tidak
didapatkan dengan gratisan. Ia harus dikejar melalui skrutinisasi rasional nan
intensif. Sekelompok orang yang berpikir
ini biasa disebut filsuf. Laboratoriumnya adalah tanda–tanya. Segalanya adalh
hipotesis. Karenanya, mereka cenderung berseberangan dengan kelompok yang mengagungkan dogma-dogma
kering.
Namun pada gilirannya, para filsuf
terjebak untuk memberikan jawaban-jawaban siap saja tentang kodrat, tujuan
semesta dan manusia.para filsuf yunani, misalnya meyakini adanya prinsif
rasional (logos) yang melandasi
gerak-gerik semesta. Prinsif rasional yang hanya bisa dimengerti oleh manusia
sebagai makhluk yang kodratnya rasional (animal
rationale). Hidup yang sempurna dan berkeutamaan adalah tujuan pokok
manusia. Puncak eksistensi yang hanya dicapai apabila manusia bisa
mendayagunakan kemampuan rasionalnya. Ini membuktikan bahwa filsuf bukanlah
sosok yang berani ambil resiko. Filsufpun ingin bermain aman.
Pencarian kodrat semesta dibalik yang
empiris akhirnya mendapat gugatan berat dari filsuf jerman, immanuel Kant. Kant
menyentil sejarah filsafat barat dengan membatasi kerja rasio manusia. Kerja
rasio terbatas pada fenomena empiris. Diluar itu tidak bisa diketahui melainkan
diyakini saja sebagai postulasi moral. Namun, kritik ini belum tuntas.
Keterbatasana manusia ala kant adalh keterbatasan yang mengabaikan perbedaan.
Seolah semua manusia dijagat dibatasi kategori-kategori epistemik yang sama.
Neitzchelah yang pertama kali
menyudahi sejarah absolutisme filsafat barat. Ia dengan gagah berani
mengumumkan matinya kebenaran kodrati. Kebenaran yang dikejar-kejar sepanjang
sejarah peradaban dipandangnya tak lebih dari gerombolan metafor. Metafor
selalu berpersfektif. Pengetahuan manusia tak lebih dari sekadar metafor.
Objektivitas pengetahuan selama ini diagungkan ternyata Cuma fiksi belaka.
Fiksi guna menyembunyikan persfektif dan
kepentingan sesungguhnya.
Kalau kodrat hanyalah sebentuk
metafor, maka tantang neitzche-lah selanjutnya adalah “Beranikah kaulayari
samudra ini meski tahu tak satupun pulau disana untuk berlabuh”. Artinya,
beranikah manusia hidup dalam suasana remang tanpa pegangan kebenaran. Tanpa
saturujukan puntentang kodrta hal ihwal. Beranikah manusia menciptakan
kebenarannya sendiri. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkan sejarah. Manusia
selalu membangun kuil-kuil kebenaran tampatnya berlindung. Kuil agama, kuil
ilmu pengetahuan, dan kuil filsafat.
Filsafat anti kodrati. Itulah nama
yang cocok bagi modus berfilsafat Neitzche. Modus berfilsafat yang sangat
dibenci kelompok-kelompok pendamba kebenaran. Michel Foucault adalah salah satu
penganut berfilsafat tersebut. Filsuf asal francish ini bukan saja mengadopsi
gaya berfilsafat Neitzche secara akademis. Ia bahkan menghisupkannya secara
eksistensial. Itulah mengapa ia senantiasa menjelajah medan-medan pengucapan
baru seksualitas. Sebuah eksperimentasi kehidupan yang berujung pada kematiannya.
Bagi foucaultyang disebut oleh
seorang professoramerika sebgai cripto-marxis,
hidup adalah seni.hidup adalah penciptaan diri lewat pelampauan terus-menerus.
Karenanya, kotak-kotak kategorial yang membungkus rapi eksistensi manusia harus
disobek-tembus. Sebelum menyobek, lebih dulu mesti dibuktikan bahwa kotak-kotak
yang memasung hidup manusia tersebut tidaklah semutlak yang dibayangkan. Ini
bukan kerjaan teoretikal baru. Neitzche pernah melakukan hal yang sama terhadap
moralitas. Kategori moralitas kristiani yang dianggap suci, bening dan mutlak
dibuktikan sebaliknya. Kategori tersebut muncul pada satu konteks historis
tertentu.Konteks historis saat para budak terhina membalik nilai-nilai
aristokrat yang dikaguminya menjadi
“ÿang jahat dan terkutuk”. Prinsif geneologi ini yang kemudian harus
diadopsi foucault. Prinsif yang menekankan bahwa tiap bentuk kebenaran bisa
dilacak secara historis pada institusi dan wacana yang dominan yang
melahirkannya. Kehendak untuk tahu adalah nama lain bagi kehendak untuk
berkuasa.
Prinsif-prinsif geneologi yang
diadopsi foucault guna mengobrak-abrik kategori-kategori yang oleh masyarakat
dimutlakkan. Penelitian historis foucault terhadap kegilaan, misalnya.
Penelitian tersebut adalah serangan foucault terhadap pemutlakan kegilaan
sebagai penyakit mental. Kita cenderung menyebut orang-orang yang tiba-tiba
melucuti pakaiannya dimuka umum sebagai “gila”. Seseorang yang harus segera
mendapat bantuan profesional. Kegilaan bagi foucault bukan suatu sudah pada
kodratnya penyakit. Penelitiannya membuktikan bahwa pada satu masa kegilaan
bukan dikonsepsikan sebagai penyakit, malainkan kesalahan moral yang mereduksi
manusia ketingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung
dan diisolasi, bukan disembuhkan. Kategorisasi kegilaan ini bukan kesalahan
yang harus dibenahi oleh psikolog modern. Kegilaan, baik sebagai cacat moral
maupun penyakit mental, tak lebih dari sekedar konstruksi sosial. Konstruksi
berdasarkan prinsif penataan hal-ihwal yang membuat beberapa hal mungkin dan
lainnya tidak. Prinsif penataan yang oleh Foucault diberi julukan teknis: Episteme.
Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya
sangat halus menguasai pola pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir
alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana sesuatu
fenomena dikategorisasi, didefinisikan dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga
komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya saat
ini didominasi oleh disiplin psikologi. Disiplin yang didapatkan melalui
institusi yang namanya universitas. Dan di universitas jualah mahasiswa
berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti freud, Jung, adler dan tokoh
lainnya.Kombinasi ketiganya menghasilkan satu mesin kebenaranuntuk berbicara
tentang kegilaan. Diluar itu semua, adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim
di pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang
kesehatan mental seorang terdakwah. Hakim pasti ahli psikologi jebolan
universitas yang sudah mengunyah banyak jajanan intelektual dari beranekaragam
tokoh psikologi.
Pengetahuan selalu bersangkutan
dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan menguatkan.
Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang mempunya kekuasaan untuk menghakimi
kondisi mental orang lain. Bukan hanya itu, pengetahuan juga memiliki dampak
sosial. Pengetahuan bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli
bahwa kegilaan adalah penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam
asilum. Pendapat ahli bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual
melahirkan kebijakan yang melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang
mengatakan bahwa masturbasi pada anak dapat mengakibatkan kebodohan berujung
pada pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah.
Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan mengahsilkan
tubuh-tubuh yang taat. Sebuah permainan yang mematri perilaku badani yang
sehat, normal dan baik.
Akhirnya, pertanyaan siapakah
manusia, tetap dibiarkan menggantung. Atau bahkan tak usah ditanyakan sama
sekali. Buat apa tanya-tanya kalau ternyata manusia sudah wafat seperti
dikidungkan Si Foucault. Manusia tak llebih sekedar bentukan wacana dominan
yang disokong oleh institusi dan profesional. Sebagai realitas, manusia bukan suatu
yang ajek. Ibarat tanah lliat, ia selalu berubah bentuk. Tidak ada satupun yang
kodrati dalam diri manusia. Semuanya tak lebih dari sekedar bentukan sosial.
Apa yang kita kira sebagai sebagai
kodrat manusia ternyata dibangun oleh episteme zaman yang berpihak pada
pengetahuan, wacana dan institusi tertentu.
Namun jangan terlalu kuatir. Kodrat
bukan sesuatu yang ditemukan. Ia diciptakan, sebab itu manusia bisa
mendobraknya. Karenanya, ikut lah pesan Ban Napi: hiduplah layaknya karya seni.
Daripada susah melacak yang namanya kodrat lebih baik ciptakan diri secara baru
terus-menerus. Proses yang menyaratkan pelampauan terus-menerus dari segala
bentuk kemutlakan
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking