ILMU
Perhiasan
Tak Ternilai Bagi Muslimah
Oleh : Ummu Abdillah
bintu Mursyid
[ MUSLIMAH Edisi
XXVIII/1419 H/1998 M ]
|
Seorang
yang mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat harus memiliki
pedoman dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan pedoman hidup seorang hamba
semua telah diatur dalam syariat Islam.
Seorang
yang sukses bukanlah orang yang hidup dengan bersemboyan ‘semau gue’
dengan mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang sukses adalah orang yang
mengambil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dengan pemahaman As Salafus Shalih sebagai pengikat aturan
hidupnya. Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam ini tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i.
Karena itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah
yang baligh dan berakal (mukallaf) untuk menuntut ilmu.
Dalam
sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan.
Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar,
tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat
hadits ini)
Imam
Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini
adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara
shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan
manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat
Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala
yang dapat menyempurnakan kewajibannya.
Sebagai
hamba Allah, seorang Muslimah wajib mengenal Rabbnya yang meliputi
pengetahuan terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu
wa Ta'ala sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang
shahih. Selain itu, ia harus mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
bersendiri dalam mencipta, mengatur, memiliki, dan memberi rezeki. Ia pun
wajib menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah
berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan
untuk beribadah kepada-Ku.”
(Adz Dzariyat : 56)
Seseorang
tidak akan berada di atas hakikat agamanya sebelum ia berilmu atau mengenal
Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menuntut ilmu dien
(agama).
Di
samping mengenal Allah, seorang Muslimah juga wajib mengenal Nabi-nya, yaitu
Muhammad Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam, karena beliau
merupakan perantara antara Allah dengan manusia dalam penyampaian
risalah-Nya. Sesuai dengan makna persaksiannya bahwa Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati segala yang
beliau perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa
yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang
beliau syariatkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah,
dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah, dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7)
Ayat
ini merupakan kaidah umum yang agung dan jelas tentang wajibnya seluruh kaum
Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan hadits-hadits shahih dalam
aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak akan
diketahui kecuali dengan menuntut ilmu terlebih dahulu.
Selain
mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslimah juga wajib mengenal agama
Islam sebagai agama yang dianutnya, dengan memperhatikan dalil-dalil dari Al
Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki pendirian kokoh,
tidak mudah terombang-ambing. Dan agar ia berada di atas cahaya, bukti, dan
kejelasan dari agamanya.
Inilah
masalah pertama yang disebutkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
dalam bukunya Al Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum
beramal dan berdakwah.
Seorang
Muslimah juga wajib membekali dirinya dengan ilmu sebelum memasuki jenjang
pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan kewajibannya sesuai dengan tuntunan
syariat.
Sebagai
isteri, seorang Muslimah dituntut agar menjadi isteri yang shalihah, sehingga
ia dapat menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan justru menjadi
fitnah atau musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu
'anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita yang shalihah.”
(HR. Muslim)
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang sifat-sifat wanita shalihah :
“… maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah
memelihara mereka.”
(An Nisa’ : 34)
Maksud
ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy
Syaikh Salim Al Hilali rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah
adalah yang menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
mentaati-Nya, mentaati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan
menunaikan hak-hak suaminya dengan mentaatinya dan menghormatinya, serta
menjaga harta suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya
tidak ada.
Untuk
menjadi wanita shalihah yang seperti ini, seorang Muslimah membutuhkan ilmu.
Sebagai
seorang ibu, ia mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi
anak-anak yang shalih dan shalihah. Di bawah kepemimpinan suami, isteri
adalah penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya, sebagaimana dalam hadits
dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bahwasanya beliau bersabda :
“Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita
adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, maka setiap
kalian adalah pemimpin, akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Hasil
didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya inilah yang termasuk perkara yang
akan ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena itulah Muslimah harus
menuntut ilmu syar’i sebagai bekal mendidik anak-anak sehingga fitrah mereka
tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati karena keshalihan mereka.
Di
tempat lain, bila seorang Muslimah belum menikah, maka sebagai anak ia wajib
taat pada orang tuanya selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada kedua orang tuanya… .”
(Al Ankabut : 8)
Dalam
hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma dari
Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam, beliau bersabda
:
“Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka pada
orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)
Untuk
dapat berbuat baik dan menunaikan hak-hak orang tua dengan benar, seorang
Muslimah tidak bisa lepas dari ilmu.
Seluruh
kewajiban ini harus dapat ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena jika tidak,
akan terjadi berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak heran, bila para
Muslimah yang bodoh terhadap agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan
dan kebid’ahan. Akibat kebodohannya pula, banyak Muslimah yang durhaka pada suami
atau orang tuanya. Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik anak
sehingga muncullah generasi yang berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka
pada orang tua yang telah merawat dan membesarkannya. Karena kebodohannya
pula, banyak Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga
kehormatannya, sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam perzinahan dan
berbagai kemaksiatan. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dari yang demikian itu.
Usamah
bin Zaid radhiallahu 'anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam :
“Aku berdiri di muka pintu Syurga, maka aku dapatkan
mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin, sedang orang-orang kaya
masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan
masuk neraka. Dan ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku dapatkan
mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya
dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah akan mengetahui jalan yang selamat.
Kaum Muslimah masa kini akan menjadi baik bila mereka mau mencontoh para
Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka sangat
memperhatikan dan bersemangat dalam menuntut ilmu.
Dalam
sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu 'anhu, ia berkata :
“Seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dan berkata :
‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa haditsmu,
maka jadikanlah bagi kami satu harimu yang kami datang pada hari tersebut
agar engkau mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’
Maka beliau bersabda : ‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’
Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam mendatangi mereka dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah
kepada beliau.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun sangat bersemangat
mengajar para shahabiyah, sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang haid,
baligh, dan merdeka untuk menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan
beliau Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam memutuskan udzur
wanita yang tidak memiliki hijab, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain
dari Ummu ‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu 'anha, ia berkata
: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam menyuruh kami
mengeluarkan wanita yang merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk keluar
pada hari Iedul Fithri dan Adha. Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat
shalat, dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin. Aku
berkata : ‘Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’
Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.’ “
Oleh
karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah Islam, di antara mereka ada yang
menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh bidang
ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu 'anha
yang dididik dalam madrasah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan shalihah.
Imam Az Zuhri rahimahullah berkata :
”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu seluruh
wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.”
Bahkan
‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, ia menjadi bahan rujukan
mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair berkata :
“Aku tidak melihat orang yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan, dan
syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”
Para wanita dari kalangan tabi’in juga
berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk belajar, di antara muridnya adalah Amrah
bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia
adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.”
Di
antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu
adalah Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya,
bacaan Al Qur’annya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra
Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits,
cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.
Demikianlah
--wahai saudariku Muslimah-- mereka adalah contoh terbaik bagi kita dan telah
terbukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat derajat
orang-orang yang berilmu sebagaimana firman-Nya :
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)
Semoga
Allah memudahkan jalan bagi kita untuk menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang
bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1. Al Qur’anul Karim
2. Inayatun Nisa’ bil Hadits An Nabawi. Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu
Salman.
3. Nisa’ Haula Ar Rasul. Mahmud Mahdi Al Istambuli dan
Musthafa Abu Nashr Asy Syalbi.
4. Riyadlus Shalihin. Imam Nawawi.
5. Bahjatun Nadhirin. Salim bin ‘Ied Al Hilali.
6. Aisarut Tafasir. Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
7. Hasyiyah Ats Tsalatsah Al Ushul. Muhammad bin Abdul Wahhab.
|
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking