Breaking News

Trending Template

Maandag 25 November 2013

Tasawwuf dalam Pandangan Mulla Sadra Syahram Pazouki, Institute for Humanities dan Cultural Studies, Iran

Tasawwuf dalam Pandangan Mulla Sadra Syahram Pazouki, Institute for Humanities dan Cultural Studies, Iran Abstrak Di dalam sejarah filsafat Islam, Mulla Sadra sering disebut sebagai filosof yang berbeda dengan kelompok Peripatetik karena upayanya untuk menggabungkan filsafat dan tasawwuf. ) Namun, setidaknya di dalam epistemologi yang dibangunnya, bukan hal ini yang menjadi acuannya. Sebagai seorang sufi, atau ‘arif, Mulla Sadra justru cenderung menggunakan filsafat untuk memberikan justifikasi dalam ide-ide sufistiknya. Metode tasawwuf di dunia Islam, khususnya di Iran, juga disebut ‘irfan, pengetahuan atau gnosis. Menurut tasawwuf, tujuan perjalanan kepada Allah adalah untuk memperoleh pengetahuan yang sempurna atau gnosis terhadap kebenaran (al-Haqq) dan wujud. Namun, pengetahuan ini mempunyai derajat-derajat yang berbeda, yang dapat dicapai sepanjang maqamat dalam perjalanan sufistik. Itulah karenanya sufi juga disebut sebagai ‘arif (yang mengetahui). Pada mulanya, di dalam (kitabnya) Kebangkitan Kembali Ilmu Agama (Ihya ‘Ulumuddin), al-Ghazali membuktikan bahwa pengetahuan hakiki yang diperintahkan oleh Alquran untuk dicari oleh orang-orang beriman adalah pengetahuan sufi. Merujuk pada ide ini, Mulla Sadra mencoba untuk menghidupkan kembali pengetahuan hakiki dan membangun sistem filosofis sebagai pijakannya. Pengetahuan sufi adalah pengetahuan dengan kehadiran (al-‘ilm al-hudhuri) yang diperoleh di dalam hati melalui pensucian. Berbeda dengan pengetahuan jenis ini, pengetahuan filosofis adalah pengetahuan yang diperoleh secara konseptual (al-‘ilm al-hushuli), khususnya filsafat mazhab Peripatetik. Sebagai tambahan, ilmu hudhuri yang merupakan landasan dari yang mengetahui, yang diketahui serta kekuatan kreatif jiwa, adalah pengetahuan yang memiliki dasar di dalam tasawwuf. Inilah yang ingin diberikan argumentasi filosofisnya oleh Mulla Sadra. Salah satu essai Mulla Sadra, Sye Asl (Tiga Prinsip), yang menjadi satu-satunya karyanya di dalam bahasa Persia, menjadi karya khusus yang penting di dalam menggambarkan pandangan Mulla Sadra bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan sufi. Setelah penjelasannya yang tidak terlalu membesarkan jenis-jenis pengetahuan lainnya, Mulla Sadra mengatakan bahwa pengetahuan hakiki, yakni pengetahuan sufi, hanya bisa dicapai melalui pensucian hati. ************ D i dalam tulisan ini, akan ditunjukkan bahwa konsep pengetahuan Mulla Sadra dikembangkan dari tasawwuf. Juga akan ditunjukkan bahwa tema-tema utama epistemologi Mulla Sadra dikembangkan melalui suatu penjelasan yang menunjukkan komitmennya terhadap tasawwuf tersebut. Sampai saat ini, masalah persepsi yang dijelaskan oleh para filosof Muslim dan para sufi secara esensial berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh filsafat Barat, khususnya Descartes dan Kant. Salah satu faktor yang sangat penting perihal persepsi di dalam filsafat Barat modern adalah keberlawanan antara subjek dan objek yang melahirkan defenisi baru bahwa manusia adalah subjek persepsi sementara alam adalah objeknya. Padahal, pendapat tentang hubungan subjek-objek ini tidak ditemukan di dalam filsafat Yunani maupun filsafat abad pertengahan. Di dalam filsafat Islam, tidak ada satupun istilah yang mirip dengan konsep subjek-objek ini dalam pengertian yang dipahami oleh filsafat Barat modern. Di dalam filsafat Islam, apa yang disebut dzihn (pikiran) dan apa yang dimaksud ‘ayn (entitas), ) sama sekali berbeda dengan apa yang mereka sebut subjek-objek. Walaupun demikian, kedua istilah ini sering digunakan untuk menterjemahkan istilah filsafat Barat modern ke dalam bahasa Arab. Di dalam pemikiran Islam, pengetahuan dan persepsi bukanlah pekerjaan manusia semata-mata; karena, sebagaimana halnya dengan wujud, pengetahuan dan persepsi juga memiliki asal-usul Ketuhanan (the divine origin). Masalah ini telah dijelaskan di dalam berbagai mazhab pemikiran Islam dengan cara dan penekanan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di antara filosof-filosof Muslim tersebut, epistemologi mazhab Peripatetik lebih menekankan pada argumentasi (bahts), sementara epistemologi sufi lebih menekankan pada intuisi (syuhud). Di antara dua mazhab pemikiran ini, filosof Iluminasionis (Isyraqiyyun) lebih dekat dekat mazhab tasawwuf. Dan Mulla Sadra, sebagai seorang filosof yang cenderung kepada mazhab iluminasionis, dia telah mencoba untuk membangun epistemologinya dengan merujuk pada (ide-ide) tasawwuf. Oleh karena itu, konsep pengetahuan yang dikembangkan oleh Mulla Sadra adalah konsep tasawwuf dengan kemasan filosofis. Untuk menjelaskan aspek-aspek tasawwuf di dalam epistemologi Mulla Sadra, kami ingin mengklarifikasi perbedaan pengertian tasawwuf (sufism) dan mistisisme (mysticism) di dalam tradisi Barat, setidaknya di dalam pengertiannya saat ini. Mistisisme adalah suatu pemahaman yang lebih cenderung pada penekanan perasaan, sementara tasawwuf adalah salah satu jenis pengetahuan. Pemahaman (tasawwuf) ini merujuk pada konsep dasar iman di dalam ajaran Islam. Di dalam Islam, iman bukanlah hanya sebagai jalan keselamatan saja, tetapi juga membawa pengetahuan hati (heartfelt knowledge) melalui penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud) yang dialami oleh orang-orang beriman. Di dalam keyakinan Kristiani (khususnya setelah Meister Eckhart), ) pengetahuan hanyalah tema tambahan, dan mistisisme kemudian dianggap sebagai tema subjektif yang dipisahkan secara tegas dari pengetahuan tentang wujud. Di dalam Islam, tasawwuf juga disebut ‘irfan yang secara literal artinya sama dengan pengetahuan atau gnosis. Sufi adalah urafa’, yakni orang yang telah memperoleh pengetahuan sejati tentang wujud. Pengetahuan ini bukanlah pengetahuan tentang hubungan subjek dan objek, karena tidak ada pertentangan antara ‘arif, atau yang mengetahui, dengan alam eksternal. Pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang diri yang merupakan persepsi terhadap wujud. ‘Arif adalah seorang pesuluk (salik) yang telah melintasi jalan menuju Tuhan, yang telah mencapai realitas wujud (haqiqah) yakni Tuhan, dan yang telah mendapatkan pengetahuan sejati tentang wujud tersebut. Di dalam epistemologi ) ini, semakin tinggi pencapaian derajat-derajat iman seseorang, maka semakin luas pula pengetahuan yang diperolehnya. Di dalam sejarah pemikiran Islam, baik teolog dialektis atau ahli kalam (mutakallimun) maupun filosof peripatetik yang menekankan pengetahuan rasional, keduanya telah gagal memahami epistemologi sufi. Itulah karenanya guru-guru sufi mencoba untuk menghidupkan kembali pengetahuan ini. Salah satu contoh penting upaya tersebut adalah sebuah kitab yang sangat terkenal karya Imam Ghazali, Ihya Ulum al-Din. 1) Di dalam kitab tersebut, al-Ghazali telah memberikan usaha terbaiknya untuk menghidupkan kembali makna pengetahuan yang terlupakan di dunia Islam. Para sufi seperti Rumi dan Ibn ‘Arabi, serta para filosof seperti Suhrawardi 2) yang menyebut pengetahuan sufi sebagai Hikmat al-Isyraq, telah mengingatkan semua orang tentang pengetahuan ini. Dan di masa dinasti Safawi (di Persia), ) Mulla Sadra melakukan hal yang sama. Mulla Sadra menyebut filsafatnya sebagai al-Hikmah al-Muta’aliyyah untuk menunjukkan karakter tasawwufnya, juga untuk membedakan epistemologinya dengan filsafat peripatetik yang mempunyai pengaruh yang sangat luas pada saat itu. 3) Di antara semua karya-karya Mulla Sadra, Sye ‘Asl (Tiga Prinsip) 4) merupakan karyanya yang paling penting mengenai tasawwuf. Di dalam Sye ‘Asl, yang merupakan satu-satunya karya Mulla Sadra dalam bahasa Persia yang masih bisa ditemukan sampai saat ini, Mulla Sadra mencoba menjelaskan masalah tasawwuf dengan mengutip al-Ghazali. Pada bagian awal, Mulla Sadra mendefenisikan pengetahuan tasawwuf serta proses persepsi yang menurutnya adalah jalan yang benar, kemudian dia menyebutkan beberapa perbedaan tasawwuf dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Mulla Sadra juga mengatakan bahwa tasawwuf adalah ilmu hudhuri. Dan akhirnya, setelah menjelaskan bagaimana cara untuk memahami tasawwuf, Mulla Sadra kemudian memberikan penjelasan rinci tentang rintangan-rintangan dalam pencapaian pemahaman tersebut. Menurut Mulla Sadra, ada tiga jenis hambatan yang bisa menghalangi manusia dalam mencapai pengetahuan hakiki. Yang sangat menarik adalah, bahwa ketiga hambatan ini bukanlah istilah-istilah epistemologis, tetapi ketiganya merupakan hambatan di dalam upaya-upaya spiritual. Memang, di dalam karya-karya Mulla Sadra, epistemologi lebih ditekankan pada pengetahuan tentang diri, karena pengetahuan ini merupakan jalan pengenalan terhadap wujud. Ada tiga akar (kejahatan) yang dapat merusak jiwa, yang bagi orang-orang yang dapat memahaminya merupakan pemimpin setan... Dari ketiganyalah muncul akar-akar kejahatan yang lain. 5) Akar yang pertama adalah “kebodohan tentang pengetahuan diri yang merupakan realitas manusia.” 6) Yang kedua adalah “keinginan terhadap kedudukan, uang serta kecenderungan kepada hawa nafsu....” 7) Dan yang ketiga adalah “godaan jiwa yang memerintah (nafs al-ammarah) yang menunjukkan keburukan sebagai kebaikan dan kebaikan sebagai keburukan.” 8) Di dalam Sye ‘Asl, Mulla Sadra bukan hanya menjelaskan akar-akar kejahatan ini, tetapi dia juga menjelaskan sifat dan ciri-ciri tentang apa yang disebutnya pengetahuan. Disini, kami akan menjelaskan aspek-aspek dari karakteristik pokok tasawwuf serta persepsi menurut penjelasan Mulla Sadra di dalam Sye ‘Asl. 1. “Yang dimaksud dengan pengetahuan ini (tasawwuf, ed.) bukanlah pengetahuan yang disebut filsafat atau apa yang diketahui oleh para filosof.” 9) Para filosof (peripatetik) dan juga ahli kalam belum pernah merasakannya sama sekali. 10) Oleh karena itulah mereka mencoba untuk menolak dan menyalahkan orang yang benar-benar telah mencapai pengetahuan, yakni para sufi. 2. Pengetahuan ini, yang sama dengan pengetahuan Tuhan terhadap segala sesuatu, adalah pengetahuan dengan kehadiran (al-‘ilm al-hudhuri). 11) 3. Pengetahuan yang benar adalah cahaya. 12) Sebagaimana halnya cahaya matahari yang menampakkan segala sesuatu di dunia ini, maka cahaya pengetahuan dan iman dari ‘urafa akan menampakkan realitas alam ini. 13) 4. Pengetahuan ini adalah pengetahuan diri “yang menjadi kunci bagi semua pengetahuan.” 14) “Barangsiapa yang tidak memiliki pengetahuan diri tidak akan mempunyai jiwa, karena wujud jiwa sama dengan cahaya, kehadiran dan kesadaran.” 15) 5. Dalam hubungannya dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saww, “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya,” “Barangsiapa yang mengingat dirinya akan mengingat Tuhan,” 16) dan “Ingatan Tuhan terhadap diri sama dengan diri itu sendiri,” 17) maka “setelah adanya pernyataan-pernyataan ini, menjadi sangat jelas bahwa siapa yang tidak mengenal dirinya maka dia tidak akan mengenal Tuhan.” 18) Namun, “pengetahuan tentang realitas dan esensi diri melalui cahaya penyingkapan dan kejelasan hanya dimiliki oleh para sufi.” 19) Para filosof, walaupun mereka telah menjelaskan masalah ini dalam pembahasan yang luas, namun pengetahuan sufi tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan mereka. 6. “Kebanyakan ulama dan filosof beranggapan bahwa esensi kemanusiaan manusia sama secara keseluruhan tanpa adanya perbedaan sama sekali; tetapi bagi orang-orang yang mempunyai pengetahuan (yakni sufi), anggapan seperti ini tidak benar.” 20) “Derajat dan tingkatan kemanusiaan berbeda-beda mulai dari yang terendah dari yang rendah, sampai pada yang tertinggi dari yang tinggi.” Betapa banyak manusia yang hidup dengan jiwa binatang sementara yang lain ada yang mengatakan “Barangsiapa yang telah melihat saya berarti dia telah melihat kebenaran.” 21) Namun, pengetahuan diri serta tingkatan-tingkatannya sangat sulit dan tidak akan bisa dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan (jiwa, ed.). 7. Pengetahuan ini ditentukan oleh iman. “Iman yang benar..... hanya bisa didapatkan oleh orang yang telah mencapai cahaya ruh.” “Orang yang benar-benar beriman adalah orang yang mengenal Tuhan (‘arif).” 22) 8. Hanya melalui pengetahuan inilah perbuatan seseorang bisa memberikan manfaat. 23) 9. Di samping mata dan telinga pisik yang melaluinya kita melihat dan mendengar, yang dianggap sebagai (indra) yang tidak nyata, terdapat mata dan telinga lain yang merupakan (indra) yang sebenarnya. Itulah mata dan telinga hati yang terpancar dari cahaya pengetahuan. Hanya dengan (indra hati) inilah seseorang bisa melihat realitas alam ini. Tetapi kebanyakan ahli kalam dan filosof ingin menemukan kebenaran dengan kesombongan akal dan indra pisiknya. 10. Pengetahuan ini diperoleh bukan melalui indra atau fakultas pikiran (faculty of reason). “Indra, pada satu sisi memang diperlukan, namun pada sisi lain bisa menjadi penghalang. Kebutuhan pada indra adalah karena kenyataan bahwa jiwa pada mulanya hanyalah potensi, tidak sempurna dan belum mempunyai pengetahuan. Indra dapat diumpamakan sebagai lembaran kertas untuk seorang pelajar, karena indra tersebut menerima gambaran-gambaran dan bentuk-bentuk maujud.” 26) Namun, barangsiapa yang mempercayai persepsi indra (sebagai kebenaran, ed.) yang pada dasarnya adalah sumber kesalahan dan kekeliruan, maka dia tidak akan memperoleh apa-apa selain kelelahan mata dan telinga, juga pikiran dan kesadarannya. “Bahkan pikiran yang tidak disertai oleh indra pun, selama ia tidak disinari oleh cahaya cinta, tidak akan bisa mencapai tujuan yang sebenarnya.” 27) Dari sudut pandang manusia, dalam hubungannya dengan alam eksternal, karakteristik utama tasawwuf adalah sifatnya sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui kehadiran (presentational). Ilmu dengan kehadiran (‘ilm hudhuri) ini merupakan elemen yang sangat mendasar, setidaknya sebagai elemen yang fundamental, di dalam epistemologi Mulla Sadra. Mulla Sadra berpendapat bahwa persepsi terhadap realitas wujud tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui kehadiran dan penyaksian langsung. Mulla Sadra mengatakan, “Dengan demikian, pengetahuan (terhadap realitas wjud) hanya bisa dicapai melalui penyaksian dengan kehadiran (musyahadah hudhuri) atau dengan pikiran yang melaluinya diketahui efek-efek dan akibat-akibat (wujud tersebut, ed.). Tetapi, pengetahuan (yang kedua) ini hanyalah pengetahuan yang lemah.” 28) Salah satu pembagian pengetahuan adalah dengan mengelompokkan pengetahuan ke dalam dua jenis, pengetahuan dengan kehadiran (‘ilm hudhuri) dan pengetahuan melalui perolehan (‘ilm hushuli). Yang pertama adalah pengetahuan yang dapat dicerap secara langsung, sementara yang kedua adalah pengetahuan yang membutuhkan perantara melalui bentuk-bentuk. Di dalam mendefenisikan ilmu hudhuri Mulla Sadra mengatakan “Kadang-kadang pengetahuan tentang sesuatu adalah suatu keadaan dimana wujud pengetahuan dikenali melalui wujud objek yang diketahui.” Di dalam mendefenisikan ilmu hushuli Mulla Sadra menulis “kadang-kadang pengetahuan itu adalah suatu keadaan dimana wujud pengetahuan dan wujud objek yang diketahui adalah dua hal yang berbeda dari wujud mutlak. Keduanya adalah dua wujud yang berbeda dan karenanya tidak menyatu di dalam wujudnya....Kita mengenal pengetahuan ini sebagai pengetahuan melalui perolehan atau pengetahuan pasif.” 30) Contoh yang terkenal dalam menjelaskan ilmu hudhuri yang dapat diterima oleh semua filosof Muslim termasuk Mulla Sadra adalah pengetahuan sesuatu yang abstrak tentang dirinya sendiri, misalnya persepsi jiwa terhadap dirinya dimana tidak ada satupun perantara di antara keduanya (yaitu pengetahuan jiwa dan jiwa itu sendiri, ed.). 31) Ilmu hudhuri mempunyai beberapa karakteristik. Pertama, untuk kasus dimana terdapat beberapa hubungan antara persepsi dan yang dipersepsi, maka pengetahuan tersebut tidak bisa dinilai benar, tidak bisa dianggap salah, dan juga tidak bisa diragukan. Menurut teori kebenaran tradisional, yakni teori korespondensi yang juga diterima oleh sebagian besar mazhab filsafat Islam, korespondensi antara bentuk dan objek-objek (persepsi) merupakan elemen dasar dari ilmu hushuli. Oleh karena itu, kebenaran ditentukan oleh korespondensi akal dengan alam eksternal (adequatio intellectus et rei). ) Namun, di dalam ilmu hudhuri, realitas yang diketahui hadir di dalam yang mengetahui sehingga keduanya tidak bisa lagi dibedakan apakah keduanya berkorespondensi satu sama lain atau tidak. 32) Kedua, jika para filosof peripatetik membagi ilmu hushuli menjadi dua jenis, yakni pengetahuan konseptual (tasawwurat) dan pengetahuan penegasan (tasdiqat), maka pembagian ini tidak berlaku di dalam ilmu hudhuri. Alasannya adalah, di dalam ilmu hudhuri tidak ada perantara, sedangkan konsep dan penegasan adalah perantara itu sendiri. 33) Ketiga, karena ilmu hudhuri tidak bisa dibagi ke dalam konsep dan penegasan, maka ia berada di atas pemikiran dan penjelasan yang memerlukan keterhubungan dengan yang lain (discursive). Para sufi menganggap bahwa ilmu hudhuri dapat disempurnakan melalui penyingkapan dan penyaksian mistis. Para pesuluk yang telah mencapai puncak perjalanan kepada Kebenaran (haqq), bagi mereka akan disingkapkan hijab wujud yang menjadi jalan bagi mereka untuk memperoleh ilmu hudhuri yang sempurna. Menurut sejarah, para filosof Barat memberikan perhatian yang relatif kecil terhadap ilmu hudhuri, dan bahkan pembahasan tentang pengetahuan diri hanya dianggap sebagai pengetahuan dengan perolehan saja (hushuli). Namun bagi beberapa filosof, misalnya Parmenides, ) mereka tetap menjelaskan konsep-konsep epistemologi dan ontologi, yang di dalam terminologi Islam, epistemologinya didasarkan pada ilmu hudhuri. Para filosof Muslim telah membahas masalah ilmu hudhuri dalam cakupan yang luas. Bagi kalangan filosof peripatetik, karena mereka menganggap bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui konsep-konsep, maka mereka membatasi ilmu hudhuri hanya di dalam pengetahuan seseorang tentang jiwanya sendiri. Tetapi, mazhab iluminasionis memperluas ilmu hudhuri karena pengaruh tasawwuf di dalam filsafat mereka. Meskipun Suhrawardi tidak memberikan penjelasan khusus mengenai hal ini, namun epistemologinya lebih berfokus pada tema-tema mengenai ilmu hudhuri, atau dalam istilahnya sendiri, pengetahuan iluminatif melalui kehadiran (al-‘ilm al-hudhuri al-isyraqiyyah). 34) Suhrawardi mengatakan, “pemahaman akal (inteleksi, yakni pengetahuan) adalah kehadiran sesuatu terhadap suatu esensi abstrak, atau dengan kata lain, tidak adanya ketidakhadiran sesuatu terhadap esensi abstrak tersebut. Inilah defenisi yang paling lengkap, karena ia mencakup persepsi seseorang terhadap dirinya maupun persepsi terhadap yang lainnya.” 35) Menurut metafisika Suhrawardi tentang cahaya dan kegelapan, pengetahuan dan pemahaman adalah sesuatu yang sifatnya sama dengan cahaya. Pemahaman (apprehension) adalah penampakan (zuhur) sesuatu, dan penampakan dapat dikenali karena adanya cahaya (nuriyat). Suhrawardi menolak teori abstraksi mazhab peripatetik dan mengatakan bahwa kriteria pemahaman sama dengan sifat-sifat cahaya itu sendiri. 36) Mulla Sadra mencoba untuk menjembatani perbedaa-perbedaan antara ahli kalam, filosof peripatetik, filosof iluminasi, serta para sufi. Mulla Sadra membahas dan menguji pandangan-pandangan mereka. Pada akhirnya Sadra sampai pada suatu kesimpulan, yang sama dengan pandangan para sufi, bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah ilmu hudhuri. Setelah menolak berbagai teori pengetahuan, termasuk di dalamnya teori yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah ide tentang sesuatu yang tersimpan di dalam pikiran, Mulla Sadra kemudian menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah suatu wujud yang hadir (presentational existence). Mulla Sadra menganggap bahwa pengetahuan bukanlah suatu esensi, tetapi suatu wujud di dalam pikiran. Mulla Sadra mengatakan, “Para teosof (hukama), kecuali sekelompok kecil kaum literalis, ) semuanya sepakat dalam masalah ini, bahwa di samping wujud yang tampak dan kesemuanya dapat diteliti, terdapat suatu wujud lain yang berbeda yang disebut wujud mental (wujud dzini).” 37) Wujud mental adalah salah satu topik yang diadaptasi oleh Mulla Sadra secara langsung dari pemikiran sufi. Konsep ini diambil dari ide yang terkenal tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan fundamentalitas wujud (ashalat al-wujud) yang dijelaskan oleh Mulla Sadra. Wujud adalah realitas tunggal (unitary reality) yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda mulai dari ide-ide ilahiyyah (a’yan al-tsabitah) ) yang tinggi dan turun ke bawah sampai ke wujud material. Wujud mental adalah salah satu dari tingkatan-tingkatan tersebut. Namun, setiap tingkatan tersebut adalah suatu manifestasi, yang disebut oleh kaum sufi sebagai hadrat, suatu istilah yang akar katanya sama dengan hudhuri, yakni kehadiran realitas Tuhan. Segala sesuatu memiliki manifestasi tertentu di dalam setiap hadrat. Pikiran atau jiwa manusia juga adalah salah satu tingkatan wujud dan karenanya merupakan salah satu hadrat. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap sesuatu adalah wujud sesuatu itu yang meng-ada di dalam hadrat jiwa. Inilah manifestasi sesuatu di dalam wujud mentalnya sebagaimana ia juga meng-ada di dalam wujud materialnya. Dengan demikian, pengetahuan (‘ilm), yang diketahui (ma’lum), dan yang mengetahui (‘alim) menjadi satu, seperti yang akan dijelaskan secara terperinci di bagian selanjutnya. Kita telah melihat bahwa asal mula perbedaan antara ilmu hudhuri dan ilmu hushuli terpulang kepada pertanyaan tentang sumber tertinggi dari pengetahuan manusia, apakah berasal dari esensi atau eksistensi. Jika sumber pengetahuan adalah esensi, maka pengetahuan tersebut adalah hushuli, sedangkan jika sumbernya adalah eksistensi (al-wujud), maka pengetahuan tersebut adalah hudhuri. Jika objek yang diketahui adalah esensinya, maka pengetahuan tentangnya memerlukan perantara secara konseptual, namun jika objek yang diketahui adalah eksistensi, maka pengetahuan tentangnya adalah ilmu hudhuri. Di dalam kitab al-Asfar, Mulla Sadra memulai (penjelasannya) tentang pandangan-pandangan filosof peripatetik yang menganggap bahwa pengetahuan dan pemahaman adalah esensi dari kategori kualitas-kualitas mental, namun secara perlahan-lahan dia sampai kepada konsepnya yang sebenarnya bahwa realitas pengetahuan yang hakiki adalah wujud. Mulla Sadra mengatakan, “Pengetahuan bukanlah sesuatu yang negatif, misalnya abstraksi materi. Pengetahuan juga bukan suatu keterhubungan. Pengetahuan adalah suatu wujud.....Ia adalah wujud aktual murni yang tidak bercampur dengan ketiadaan. Karena pengetahuan murni dari segala campuran dengan ketiadaan, maka inilah pengetahuan yang sebenarnya.” 39) Seperti yang terlihat dari kata-katanya, Mulla Sadra menolak teori yang menganggap pengetahuan sebagai proses abstraksi, juga yang menganggap pengetahuan sebagai suatu hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui, sebagaimana yang ditemukan di dalam karya-karya Imam Fakhr Razi. Realitas pengetahuan adalah kehadiran yang sempurna dari objek yang diketahui di dalam yang mengetahui. Mulla Sadra bahkan menghubungkan ilmu hushuli ke ilmu hudhuri. Mulla Sadra mengatakan bahwa tanpa ilmu hudhuri, ilmu hushuli tidak bermakna apa-apa. Banyak pensyarah pemikiran Mulla Sadra menekankan masalah ini. Sebagai contoh, Allamah Thabathaba’i, seorang pensyarah pemikiran Mulla Sadra kontemporer, pernah mengatakan, “ilmu hushuli adalah pertimbangan mental tentang sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh akal. Ilmu hushuli diturunkan dari sesuatu yang diketahui melalui hudhuri.” 40) Menurut Thabathaba’i, setelah ilmu hudhuri, pikiran mulai memahami esensi segala sesuatu. Dan kenyataannya adalah, bahwa pikiranlah yang dapat merubah ilmu hudhuri menjadi ilmu hushuli. Namun, alam wujud adalah alam yang di dalamnya semua maujud dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni satu wujud “tidak hadir” di dalam wujud lainnya. Lantas bagaimana wujud-wujud yang terpisah serta “tidak hadir” satu sama lain ini bisa menjadi “hadir” di dalam wujud manusia? Menurut pemahaman sufi serta pemikir lainnya, terutama Mulla Sadra, wujud dan ilmu hudhuri pada akhirnya akan menyatu dalam realitas tunggal melalui pendekatan pemahaman antara wujud dan ilmu hudhuri. Alasan lain dari penjelasan ini adalah bahwa “wujud” dalam bahasa Arab mempunyai akar kata yang sama dengan kata “wajd,” artinya perolehan atau pemahaman. Pada tingkat ilmu hudhuri, perbedaan antara satu wujud dengan wujud lainnya tidak ada lagi dan semua wujud tersebut tergabung di dalam cahaya pengetahuan, wujud-wujud tersebut lahir dari ketiadaan menjadi kehadiran. Menurut Mulla Sadra, “ilmu adalah kehadiran wujud tanpa adanya hijab.” 41) Pada titik ini, kita sampai pada pertanyaan tentang realitas pengetahuan yang bagaimana yang dimaksud oleh Mulla Sadra. Mulla Sadra menjawab, “pengetahuan adalah salah satu realitas yang wujudnya sama dengan esensinya.” 42) Inilah wujud yang sebenarnya ketika wujudnya adalah esensi wujud itu sendiri. Dengan demikian, jika pertanyaan tentang esensi pengetahuan itu muncul, maka jawabannya adalah bahwa pengetahuan itu bukanlah sesuatu yang lain selain wujudnya sendiri. Ketika wujud dan esensi merupakan dua hal yang sama dalam hakikat, maka tidak ada lagi defenisi logis mengenai wujud tersebut. Mulla Sadra mengatakan, “semua wujud menjadi nyata bagi pikiran melalui pengetahuan, lalu bagaimana mungkin pengetahuan muncul karena sesuatu yang lain selain pengetahuan itu sendiri?” 43) Realitas pengetahuan, sebagaimana realitas wujud, adalah cahaya dan kehadiran. Hal ini karena, di dalam pembagiannya tentang cabang-cabang filsafat, Mulla Sadra tidak hanya menempatkan pengetahuan sebagai salah satu tema di dalam ontologi, tetapi Mulla Sadra juga menempatkan pengetahuan sebagai kategori wujud yang sangat penting. Mulla Sadra menganggap bahwa pengetahuan adalah philosophia prima (filsafat yang paling mendasar, ed.). Mulla Sadra selanjutnya mengatakan, “Salah satu aksiden esensial wujud qua wujud....adalah untuk menjadi yang mengetahui, pengetahuan dan yang diketahui.” 44) Namun, jika topik pengetahuan merupakan salah satu masalah di dalam perbincangan wujud, dan jika realitas wujud tidak dapat dipahami kecuali melalui ilmu hudhuri dan intuisi langsung, maka seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang dirinya dan tidak memahami kehadiran dirinya di dalam dirinya sendiri tidak akan mampu mencapai ilmu hudhuri. Menurut Mulla Sadra, disinilah letak ontologi, epistemologi dan pengetahuan diri saling berhubungan satu sama lain. Seperti sufi-sufi besar lainnya, Mulla Sadra menganggap bahwa pengetahuan tentang diri merupakan sumber semua kearifan. Sebagai rujukan dalam masalah ini, Mulla Sadra menyebutkan hadits Rasulullah Saww yang sangat terkenal “Barangsiapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Tujuan tertinggi perjalanan kepada Allah adalah pengetahuan tentangNya, yakni pengetahuan tentang Wujud. Inilah pemahaman tentang kehadiran manusia dalam dirinya sendiri. Di dalam ruang wujudnya, manusia (dapat) menyaksikan wujud. Ketika sufi menyebutkan tentang penyaksian kebenaran, biasanya penyaksian tersebut diperoleh bersama-sama dengan penyingkapan wujud dan ilmu hudhuri itu sendiri. Di dalam penelitiannya tentang ilmu hudhuri, Mulla Sadra membuat suatu bagian baru di dalam epistemologi, yakni idenya yang terkenal tentang penyatuan antara yang mengetahui dengan akal (‘aqil) dan objek pahaman akal (ma’qul). Meskipun tema ini sering dijelaskan di dalam penjelasan masalah akal, namun Mulla Sadra menjelaskan masalah ini di dalam berbagai tulisannya dengan cara yang lebih menyeluruh dan mencakup (pembahasan tentang) fakultas-fakultas kognitif. Salah satu alasannya adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Mulla Sadra, “penjelasan ini juga mencakup konsep-konsep tentang prehensi, imajinasi dan persepsi.” 45) Oleh karena itu, kita melihat disini bahwa penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui dalam pengertiannya yang luas tidak terbatas hanya di dalam akal saja. Mulla Sadra menggunakan istilah-istilah seperti objek yang diketahui melalui esensi (ma’lum bi al-dzat) untuk wujud di dunia eksternal dan objek yang diketahui melalui aksiden (ma’lum bi al-arad) untuk objek yang dipahami. Disini, hubungan subjek-objek tidak digunakan lagi. Artinya, di dalam pengetahuan dengan kehadiran, yang mengetahui dan yang diketahui mencapai penyatuan bersama di dalam ilmu itu sendiri, seperti yang sering dijelaskan oleh para sufi. Mulla Sadra telah membahas masalah ini di dalam berbagai karyanya, termasuk Masya’ir dimana setelah membuktikan bahwa Allah mempunyai pengetahuan tentang diriNya sendiri dan bahwa Allah mengetahui yang lain melalui diriNya, Mulla Sadra kemudian membahas teori tentang penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui melalui suatu pembuktian yang disebut argumen keterhubungan (burhan tadayyuf). 46) Menurut argumen ini, yang mengetahui dengan akal dan objek pahaman akal mempunyai keterhubungan satu sama lain. Kapanpun ada yang mengetahui, maka pada saat yang sama pasti ada sesuatu yang diketahui, demikian juga sebaliknya. Karenanya, yang mengetahui dan yang diketahui adalah sama. Dari satu sisi keterhubungan ini, ada yang disebut sebagai yang mengetahui, namun pada sisi yang lain ia adalah yang diketahui. 47) Mulla Sadra sangat bangga telah menemukan penjelasan ini, dan di dalam kitab al-Asfar dia mengatakan bahwa inilah masalah yang paling sulit dan kompleks dari semua permasalahan filosofis. Tidak ada satupun dari filosof Muslim sejak Ibn Sina, Suhrawardi dan Thusi yang dapat memecahkan masalah ini. Dan Mulla Sadra, setelah memohon kepada Allah dengan air mata, dia akhirnya menemukannya. 48) Para filsosof peripatetik tidak dapat menjelaskan masalah ini, 49) dan Mulla Sadra kemudian mendapatkannya dari pandangan-pandangan tasawwufnya. 50) Menurut Ibn Sina, pemahaman adalah suatu kualitas jiwa, dan pengetahuan jiwa terhadap sesuatu selain dirinya adalah ilmu hushuli, sama dengan penambahan aksiden-aksiden terhadap sebuah subjek. Aksiden-aksiden tidak menyatu dengan subjek, tetapi hanya suatu pelekatan, misalnya warna bunga yang mewujud secara inheren (qiyam hululi) di dalam bunga tersebut tanpa harus terindentifikasi oleh bunga itu sendiri. Namun, setelah membuktikan prinsip bahwa jiwa di dalam ketunggalannya adalah keseluruhan fakultas-fakultasnya, Mulla Sadra kemudian mengatakan bahwa kemaujudan bentuk-bentuk mental di dalam jiwa sama dengan kemaujudan suatu perbuatan di dalam pelaku(nya) (qiyam suduri). Seperti ini pulalah hubungan antara Allah dan semua makhlukNya, serta hubungan antara jiwa dan persepsi-persepsinya.51) Di dalam ketunggalannya, jiwa mempunyai beberapa keadaan dan aktifitas yang berbeda-beda yang semuanya berasal dari jiwa itu sendiri. Ketika pikiran memahami (sesuatu), hal itu bukan berarti bahwa jiwa dimiliki oleh yang diketahui, tetapi jiwa justru menjadi yang diketahuinya. Hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui adalah hubungan kemenyatuan. Ada perbedaan makna antara pernyataan bahwa benih itu menjadi manusia dan meja itu menjadi putih. Di dalam pernyataan pertama, benih itu adalah manusia, sedangkan di dalam pernyataan kedua meja itu tidak berarti sebagai warna. Berdasarkan teori gerakan substansial di dalam filsafat Mulla Sadra, jiwa mempunyai gerakan progresif yang melalui gerakan tersebut wujudnya mengalami penguatan. Para filsosof sebelum Mulla Sadra beranggapan bahwa semua manusia mempunyai esensi yang sama dan yang biasanya berbeda hanya aksidennya saja. Sebaliknya, dengan pandangan yang sama dengan pandangan para sufi, Mulla Sadra mengajarkan bahwa setiap orang berbeda-beda berdasarkan derajat dari wujud jiwanya. 52) Derajat wujud ini bersesuaian dengan pengetahuan orang tersebut, pengetahuanlah yang dapat mengangkat wujud yang mengetahui ke derajat yang lebih tinggi. Sebagaimana yang telah kita lihat, Mulla Sadra menganggap bahwa penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui mirip dengan pengetahuan Tuhan terhadap makhlukNya. Dalam hal ini, tidak ada kehadiran bentuk-bentuk makhluk di dalam pikiran Tuhan, justru pengetahuanNya adalah makhluk-makhluk itu sendiri. Dengan pengetahuan tersebut, seperti yang dipahami oleh sufi, manusia memiliki kesamaan dengan Tuhan, tetapi kesamaan ini hanya dapat dicapai ketika pengetahuan manusia adalah intuitif dan hudhuri, bukan pengetahuan representasi dan hushuli. Dengan kata lain, ketika pengetahuan menjadi wujud yang diketahui, maka wujud dan pengetahuan tersebut menjadi satu. Dengan dasar ini, Mulla Sadra kemudian mengatakan bahwa tujuan filsafat sufinya adalah sebagai berikut: “Hikmah adalah kemenjadian manusia di alam akal sama dengan (kemenjadiannya) di alam eksternal.” 53) Disini, jarak antara yang mengetahui dan yang diketahui sudah tidak ada lagi. Wujud kemudian menjadi cermin yang di dalamnya manusia digambarkan, dan manusia menjadi cermin yang didalamnya wujud digambarkan. Keduanya menjadi cermin yang menggambarkan (wujud) Allah. Inilah akhir dari perjalanan pertama di dalam empat perjalanan yang dijelaskan oleh Mulla Sadra, yakni perjalanan dari makhluk ke Tuhan. Akan tetapi, ada perjalanan lain yang lebih sempurna dari perjalanan pertama, yakni perjalanan dari Tuhan ke makhluk. Di dalam perjalanan ini, Tuhanlah yang kemudian menjadi cermin yang menggambarkan wujud dan makhlukNya. 54) Catatan 1. Di dalam tradisi Syi’ah, Fayd Kasyani, ) menantu dan murid Mulla Sadra yang terkenal, juga telah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh al-Ghazali, yakni untuk menghidupkan kembali makna pengetahuan yang sebenarnya. Di dalam kitabnya, Al-Mahaja al-Bayda fi Tahdzib al-Ihya, sebagaimana yang terlihat dari judulnya, dengan merujuk kepada riwayat dari para Imam as, Kasyani memberikan koreksi terhadap pemikiran al-Ghazali, atau sebagaimana yang disebutkannya, untuk memberikan makna baru terhadap pemikiran al-Ghazali tersebut. 2. Di dalam tidurnya, Suhrawardi yang sangat bingung karena masalah pengetahuan yang tidak bisa dipecahkannya, mimpi bertemu dengan Aristoteles. Suhrawardi lalu menyampaikan masalah-masalah tersebut. Aristoteles kemudian menjawab, “kembalilah kepada jiwamu, dan semua masalahmu akan terselesaikan.” Suhrawardi bertanya, “Di antara filosof-filosof Islam, siapa di antara mereka yang telah memahami pengetahuan yang sebenarnya?” Setelah menolak bahwa Farabi dan Ibn Sina adalah filosof yang benar, Aristoteles kemudian menyebutkan beberapa sufi besar seperti Bayazid Bastami dan Sahl Tustari, sambil mengatakan, “Merekalah filosof dan teosof yang sebenarnya, yang tidak puas dengan apa yang selama ini dipahami sebagai pengetahuan (yakni ilmu hushuli), mereka telah mencapai pengetahuan intuitif melalui ilmu hudhuri.” Lihat Suhrawardi, Talwihat di dalam Opera Metaphysica et Mystical 1, editor Henry Corbin, (Tehran: 1993), hal. 70-73. Penjelasan Suhrawardi dalam masalah ini diterjemahkan secara lengkap di dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence (Tehran: 1982), 329-337. 3. Istilah al-hikmah al-muta‘aliyah, telah digunakan oleh para sufi misalnya Qaysari jauh sebelum digunakan oleh Mulla Sadra. Bahkan istilah terdapat di dalam tulisan-tulisan filosof mazhab peripatetik. (Lihat Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: 1978), hal. 85.) Ibn Sina menggunakan istilah ini di dalam kitabnya, al-Isyarat, ketika ia membicarakan tentang jiwa-jiwa dari tubuh-tubuh langit (celestial bodies). Ibn Sina mengatakan bahwa hanya mereka yang mempunyai kearifan transenden (al-hikmah al-muta‘aliyyah) yang dapat memahami masalah ini. Di dalam kitab al-Isyarat ketika memberikan syarahnya terhadap masalah ini, Tusi mengatakan: “Kearifan peripatetik murni diskursif, sementara masalah seperti ini dan yang sejenisnya hanya dapat diselesaikan melalui pembahasan dan argumentasi yang disertai penyaksian (kasyf) dan intuisi (zawq). Kearifan yang tercakup di dalam dua hal inilah yang disebut kearifan transenden, yakni kearifan yang berlawanan dengan kearifan yang pertama tadi.” Al-Isyarat wa al-Tanbihat ma‘ al-Syarh Tusi, (Tehran: A.H. 1403), Vol. 3, hal. 401 4. Sadr al-Din Shirazi (Mulla Sadra), Se ’Asl, editor Seyyed Hossein Nasr, (Tehran, 1961). 5. Se ‘Asl, hal. 11. 6. Se ‘Asl, hal. 13. 7. Se ‘Asl, hal. 28. 8. Se ‘Asl, hal. 32. 9. Se ‘Asl, hal. 6. 10. Se ‘Asl, hal. 7. 11. Se ‘Asl, hal. 14. Masalah ini akan dijelaskan lebih detail nantinya. 12. Se ’Asl, hal. 6. Ide yang sama merupakan sumber dari teori pengetahuan iluminatif di dalam pandangan Suhrawardi serta teori-teori lain dari abad pertengahan. 13. Se ’Asl, hal. 44. 14. Se ’Asl, hal. 7. 15. Se ’Asl, hal. 14. 16. Se ’Asl, hal. 13. 17. Se ’Asl, hal. 14. 18. Se ’Asl, hal. 16. 19. Se ’Asl, hal. 23. 20. Se ’Asl, hal. 26. 21. Se ’Asl, hal. 27. Sebagaimana yang akan terlihat, Mulla Sadra menggunakan ide ini di dalam teorinya tentang penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui. 22. Se ’Asl, hal. 68. 23. Se ’Asl, hal. 24. 24. Se ’Asl, hal. 36. 25. Se ’Asl, hal. 49. 26. Se ’Asl, hal. 56-57. 27. Se ’Asl, hal. 58. 28. Sadr al-Din Shirazi (Mulla Sadra), Al-Hikmat al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-‘Arba‘ah (Beirut: 1981), Vol. 3, hal. 297. (Selanjutnya disebut saja al-Asfar) 29. Mulla Sadra, Tassawur wa Tasdiq, diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Agahi va Guvahi, editor dan penerjemah Mehdi Ha’iri Yazdi, edisi kedua, (Tehran: 1988), hal. 4. 30. Agahi va Guvahi, hal. 5. 31. Agahi va Guvahi, hal. 4. 32. Teori korespondensi kebenaran dinisbatkan kepada Aristoteles ketika pemikir sebelum Socrates menganggap kebenaran sebagai suatu penyingkapan, aletheia. Dengan demikian, tema-tema pembahasan kebenaran bagi pemikir sebelum Socrates lebih cenderung kepada ilmu hudhuri. Mulla Sadra, sebagaimana halnya dengan Suhrawardi, menganggap bahwa pemikir –pemikir (sebelum Socrates) tersebut memiliki pengetahuan mistis yang sangat tinggi. Lihat Mulla Sadra, Risalah fi al-Huduts, editor Husayn Musavian (Tehran: 1999), hal. 152-241. 33. Mulla Sadra memberikan penjelasan di dalam kitabnya Tassawur wa Tasdiq tentang bagaimana ilmu hushuli dibagi ke dalam konsep-konsep (consepts) dan pembuktian-pembuktian (assertions). 34. Suhrawardi, Kitab al-Mashari‘ wa’l-Mutarihat di dalam Opera Metaphysica et Mystical 1, editor Henry Corbin, (Tehran: 1993), hal. 485. 35. Suhrawardi, Kitab al-Mashari‘ wa’l-Mutarihat di dalam Opera Metaphysica et Mystical 1, editor Henry Corbin, (Tehran: 1993), hal. 72. 36. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq di dalam Opera Metaphysica et Mystical II, editor Henry Corbin, (Tehran: 1993), hal. 114. 37. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. 1, hal. 263. 38. Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya telah membahas pandangan kaum sufi tentang wujud mental dan wujud eksternal serta perbedaan-perbedaan hadrat secara rinci. Salah satu pembahasan yang terbaik dalam masalah ini adalah syarah Qaysari terhadap Fusus al-Hikamnya Ibn ‘Arabi, Syarh Fusus al-Hikam, editor, Sayyid Jalal al-Din Asytiyani (Tehran: 1996), hal. 66-67, 89-93. 39. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. 3, hal. 297. 40. Allamah Thabathaba’i, Nahayat al-Hikmat (Qom: tanpa tahun), hal. 211. 41. Mulla Sadra, Kitab al-Masya’ir, editor Henry Corbin, edisi kedua, (Tehran: 1984), hal. 50. 42. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. 3, hal. 278. 43. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. 3, hal. 278. 44. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. 3, hal. 278. 45. Mulla Sadra, The Metaphysics of Mulla Sadra, diterjemahkan oleh Parviz Morewedge, (New York dan Tehran: 1992), hal. 65. 46. Pembuktian ini juga terdapat di dalam al-Asfar, Vol. 3, hal. 313-316. 47. Mulla Sadra, al-Masya‘ir, hal. 64-65. 48. Mulla Sadra, al-Masya‘ir, hal. 64-65. 49. Beberapa pensyarah pemikiran Mulla Sadra sampai pada suatu kesimpulan bahwa meskipun Ibn Sina menyatakan penolakan secara terang-terangan di dalam al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian 7, namun Ibn Sina kelihatannya mendukung pandangan ini di dalam kitabnya al-Syifa, al-Mabda’ wa al-Ma‘ad, dan al-Nijat. Lihat Hasan Zadeh Amuli, Ittihad al-‘Aqil bi al-Ma‘qul (Tehran: 1404H), hal. 18-22. Setelah melihat argumen-argumen Ibn Sina yang menolak penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui, Mulla Sadra kemudian menunjukkan bukti bahwa Ibn Sina kelihatannya mendukung masalah ini dalam cakupan tertentu, seperti yang terlihat di dalam al-Mabda’ wa al-Ma‘ad. Lihat al-Asfar,Vol. 3, hal. 333-334. 50. Dalam hubungan antara topik ini dengan tasawwuf, sebagai tambahan terhadap apa yang telah disebutkan di dalam beberapa karya Ibn ‘Arabi dan Qunawi, Sabzawari merujuk pada salah satu syair Maulana di dalam Matsnawi: Saudaraku, engkau adalah pikiran-pikiran (yang engkau miliki); selebihnya, engkau (hanyalah) tulang dan daging. Jika pikiranmu adalah bunga mawar, maka engkau adalah taman bunga mawar; dan jika pikiranmu adalah duri, maka engkau hanyalah kayu bakar untuk menyalakan tungku. The Matsnawi of Jalal’uddin Rumi, editor dan penterjemah R. A. Nicholson, Vol. II, hal. 236. Lihat di dalam Sabzawari, Syarh Matsnawi, editor M. Burujerdi (Tehran: 1995), Vol. 1, hal. 241. 51. al-Asfar, Vol. 8, hal. 223. 52. al-Asfar, Vol. 3, hal. 321-327. 53. Defenisi Kearifan atau Hikmah menunjukkan suatu perjalanan spiritual dalam mencari pengetahuan. Menurut Mulla Sadra, inilah filsafat yang benar, demikian yang sering dia sebutkan di dalam beberapa karyanya, termasuk al-Asfar, Vol. 2, hal. 18. 54. Di dalam Se ’Asl, hal. 105, Mulla Sadra membedakan antara dua perjalanan ini dalam hubungannya dengan apakah makhluk menjadi cermin bagi Tuhan atau Tuhan yang menjadi cermin bagi makhlukNya.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking

Designed By VungTauZ.Com