BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketika reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers
nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang
ditandai dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. berbagai kendala yang membuat
pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha
penerbitan pers) yang berlaku di era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun
dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Pers juga merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang
kegiatannya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk
sosial dalam kehidupannya sehari-hari sehingga dalam organisasinya pers akan
menyangkut segi isi dan akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya
Dalam perkembangannya
pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam
pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan,
bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi
siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni
surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita
Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi
pemerintahan maupun masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun,
dengan maksud menjungjung asa demokrasi, sering terjadi "ide-ide"
yang permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan
etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang
profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.
Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang
dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham
lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk
memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri
dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak
oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan
ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia
berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak
oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah,
karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa
Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.
2.1
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka
terdapat Beberapa
yang menjadi topic sentral permasalahan dalam makalah ini yang akan dibahas
adalah :
Ø
Apakah
yang dimaksud dengan pers
Ø
Bagaimana hubungan pers dengan Pancasila
Ø
Sistem pers apakah yang berlaku di Indonesia
Setiap kegiatan yang dilakukan
secara sistematis pasti mempunyai tujuan yang diharapkan, begitu pula makalah
ini. Tujuan pembahasan makalah ini adalah :
Ø
Mengetahui
apakah yang dimaksud dengan pers.
Ø
Mengetahui hubungan pers dengan pancasila
Ø
Mengetahui
Sistem pers apakah yang berlaku di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
PERS DAN PANCASILA
1.2
Pengertian pers
Istilah
pers
berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara
maknafiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak
(Effendy,1994).
Pers
adalah lembaga sosial
(social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari
sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi, bersama-sama dengan
subsistem lainnya.
Definisi
pers
yaitu, suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang
tersedia. Dimana pers saat ini tidak hanya terbatas pada media cetak maupun
media elektronik tetapi juga telah merambah ke berbagai medium infromasi
seperti internet.
Pers
juga merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan
mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya
sehari-hari sehingga dalam organisasinya pers akan menyangkut segi isi dan
akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya.
Ditinjau
dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka
artinya bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak
pers juga mempengaruhi lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat
diduga secara pasti. Situasi seperti itu berbeda dengan sistem tertutup yang
deterministik. Dalam buku "Four Theories of the Press" dengan
penulis; Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur
Schramm. bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi;
1.
authoritarian
press (pers otoritarian)
2.
libertarian
press (pers libertarian)
3.
soviet
communist press atau pers komunis soviet
4.
social
responsibility
press atau pers tanggung jawab sosial.
Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas
dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala
penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya
terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor
berita.
2.2
Teori- Teori Pers
Pers
selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam
mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan social dengan
mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada
system-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat system-sistem
social dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian
dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat
masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat
pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada system pers adalah
perbedaan filsafat.
1.
Teori
Pers Otoritarian
2.
Teori
Pers Libertarian
3.
Teori
Pers Tanggungjawab Sosial
4.
Teori
Pers Soviet Komunis
3.2 P engertian Pancasila
Kata
Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk
mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
1.
Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2.
Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri
3.
Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah
4.
Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5.
Jangan minum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5
M = Madat/Mabok, Maling/Nyuri, Madon/Awewe, Maen/Judi, Mateni/Bunuh.
Perkataan Pancasil mula-mula
terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu dalam Kitab Tripitaka dimana dalam
ajaran buddha tersebut terdapat suatu ajaran moral untuk mencapai nirwana/surga
melalui Pancasila yang isinya 5 J [idem].
4.2
PERS PANCASILA DARI
KEPANCASILAAN SISTEM SOSIAL
Bagaimana kita melihat kehidupan pers?
Institusi pers tidak dapat dilepaskan dari institusi sosial yang memberi tempat dan menjamin hak warga
masyarakat untuk menyatakan
pikiran dan pendapatnya, dan dengan sendirinya juga hak untuk memperoleh pikiran dan pendapat dari pihak lain.
Institusi pers merupakan bagian dari institusi social yang lebih luas, berupa kegiatan
intelektual dalam masyarakat. Dengan begitu pers hadir karena masyarakat memang memerlukan dan
menyediakan mekanisme bagi forum alam pikiran dan masalah sosial. Tetapi selain itu, sering pers dilihat sebagai suatu institusi
yang memiliki peranan strategis
dalam masyarakat. Dalam peranannya ini pers dituntut untuk menjalankan fungsi sosial. Tentunya tidak dilupakan bahwa pers
hadir melalui informasinya, dan karenanya untuk melihat fungsi yang diembannya, tidaklah langsung di dalam
masyarakat. Fungsi dan peranan pers hanya akan
berlangsung melalui efek informasi ini dalam
dunia alam pikiran anggota masyarakat. Sejauh
mana efek yang bersifat individual signifikan terhadap perubahan masyarakat, hanya dapat ditunggu
sampai timbul tindakantindakan yang
berpola dalam masyarakat. Penyajian
berita kriminal yang tinggi misalnya, mungkin saja mempengaruhi alam pikiran individu khalayak pembaca. Kalau
efek individual ini memunculkan tindakantindakan berpola sampai kriminalitas menjadi fenomena dominan dalam
masyarakat, maka pers
pun dapat disebut berperan. Landasan
semacam ini kiranya melahirkan institusi pers yang difungsikan sebagai alat perjuangan. Sebagai alat perjuangan
pada masa kolonial, keberadaan pers nasional dimaksudkan memberi pendidikan kepada khalayak pembacanya agar
memiliki kesadaran nasional.
Dari sini diharapkan akan terbentuk suatu masyarakat yany menggunakan paradigma baru, dengan orientasi nasional,
yang vis-a-vis dengan sistem kolonial. Tetapi sejauh mana pers nasional pada masa kolonial itu
membentuk kesadaran nasional
pada masyarakat Hindia Belanda, agaknya hanya akan menjadi kesimpulan spekulatif. Sulit untuk menunjukkan mana
yang lebih memberikan kontribusi, apakah media pers nasional ataukah rapat-rapat umum yang diadakan oleh
tokoh-tokoh perjuangan yang
memiliki kekuatan retoris. Hubungan pimpinan perjuangan dengan massa pada dasarnya terbangun melalui media sosial,
bukan melalui media pers. Keterbatasan
oplah ditambah jumlah khalayak yang melek huruf yang terbatas, boleh dicatat sebagai faktor betapa pers
nasional hanya menjadi bacaan sekelompok elit di kota-kota. Jangankan di masa Hindia Belanda, pada masa Orde Baru
yang relatif telah mengentaskan
banyak penduduk sehingga bebas buta huruf, keberadaan media pers untuk tujuan mendidik seperti koran masuk desa,
harus diimbangi dengan forum media seperti kelompok pembaca. Asumsi yang menempatkan daya pengaruh informasi ini menyebabkan
setiap penguasa negara berusaha mengendalikan
media pers. Ini lebih terasa pada awal abad 20,setelah redanya penentangan
fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan (raja-raja di luar Jawa,
Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda ∗ menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping
politik etis, bertumbuh kalangan
pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda. Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan
oleh kalangan intelektual modern, dan format gerakannya
dengan sendirinya menggunakan perangkat modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa
kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi
melalui pengendalian polisional sipil. Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel
politik. Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20,
birokrasi negara menjalankan ketentuan-ketentuan
hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda sendiri tidak dapat menerimanya. Di
antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk menggunakan hak eksorbitan (exorbitante
recht), dan pelarangan terbit koran atau yang populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua
kewenangan yang bersifat preventif
ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, serta koran-koran yang
berhenti terbit. Selain
itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama
pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet",
karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini
tidak melalui pengujian materiel
atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau
tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh
penuntut yang mewakili kekuasaan negara. Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus
berhadapan dengan upaya
membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda. Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk
hukum kolonial, tidak terdapat dalam hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia
Belanda. Haaatzaai artikelen
masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih menggunakan ketentuan kolonial, karenanya
kehidupan pers di Indonesia masih berada dalam setting hukum kolonial.Penerapan hukum ini terhadap penyampaian
informasi, dapat dijadikan indikator sejauh mana kehidupan pers berhadapan
dengan penguasa negara. Dengan mencatat penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan
intelektual umumnya, dapatdilihat karakteristik dari format kehidupan
pers dan kebebasan menyatakan pendapat,misalnya dengan membandingkan secara
empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda, masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa
Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang. Catatan sejarah tentang tekanan penguasa
negara terhadap wartawan dan intelektual, menggambarkan perjalanan
institusi pers dan forum intelektual di Indonesia. Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai
artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan era sebelumnya.
Karenanya sulit membayangkan bahwa pers
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking