Breaking News

Trending Template

Sondag 02 Junie 2013

PERS DAN PANCASILA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Ketika reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. berbagai kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Pers juga merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari sehingga dalam organisasinya pers akan menyangkut segi isi dan akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita
Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjungjung asa demokrasi, sering terjadi "ide-ide" yang permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.
Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.

2.1       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka terdapat Beberapa yang menjadi topic sentral permasalahan dalam makalah ini yang akan dibahas adalah :
Ø Apakah yang dimaksud dengan pers
Ø Bagaimana hubungan pers dengan Pancasila
Ø Sistem pers apakah yang berlaku di Indonesia
Setiap kegiatan yang dilakukan secara sistematis pasti mempunyai tujuan yang diharapkan, begitu pula makalah ini. Tujuan pembahasan makalah ini adalah :
Ø Mengetahui apakah yang dimaksud dengan pers.
Ø Mengetahui hubungan pers dengan pancasila
Ø Mengetahui Sistem pers apakah yang berlaku di Indonesia
 
BAB II
PEMBAHASAN
PERS DAN PANCASILA

1.2       Pengertian pers
Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994).
Pers adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya.
Definisi pers yaitu, suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Dimana pers saat ini tidak hanya terbatas pada media cetak maupun media elektronik tetapi juga telah merambah ke berbagai medium infromasi seperti internet.
Pers juga merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari sehingga dalam organisasinya pers akan menyangkut segi isi dan akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya.
Ditinjau dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka artinya bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak pers juga mempengaruhi lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti. Situasi seperti itu berbeda dengan sistem tertutup yang deterministik. Dalam buku "Four Theories of the Press" dengan penulis; Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm. bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi;
1.  authoritarian press (pers otoritarian)
2.  libertarian press (pers libertarian)
3.  soviet communist press atau pers komunis soviet
4.  social responsibility press atau pers tanggung jawab sosial.

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
2.2       Teori- Teori Pers
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan social dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada system-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada system pers adalah perbedaan filsafat.
1.   Teori Pers Otoritarian 
2.   Teori Pers Libertarian
3.   Teori Pers Tanggungjawab Sosial
4.   Teori Pers Soviet Komunis

3.2 P engertian Pancasila


Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
1.      Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2.      Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri
3.      Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah
4.      Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5.      Jangan minum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5 M = Madat/Mabok, Maling/Nyuri, Madon/Awewe, Maen/Judi, Mateni/Bunuh.
Perkataan Pancasil mula-mula terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu dalam Kitab Tripitaka dimana dalam ajaran buddha tersebut terdapat suatu ajaran moral untuk mencapai nirwana/surga melalui Pancasila yang isinya 5 J [idem].
4.2       PERS PANCASILA  DARI KEPANCASILAAN SISTEM SOSIAL
Bagaimana kita melihat kehidupan pers? Institusi pers tidak dapat dilepaskan dari institusi sosial yang memberi tempat dan menjamin hak warga masyarakat untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan dengan sendirinya juga hak untuk memperoleh pikiran dan pendapat dari pihak lain. Institusi pers merupakan bagian dari institusi social yang lebih luas, berupa kegiatan intelektual dalam masyarakat. Dengan begitu pers hadir karena masyarakat memang memerlukan dan menyediakan mekanisme bagi forum alam pikiran dan masalah sosial. Tetapi selain itu, sering pers dilihat sebagai suatu institusi yang memiliki peranan strategis dalam masyarakat. Dalam peranannya ini pers dituntut untuk menjalankan fungsi sosial. Tentunya tidak dilupakan bahwa pers hadir melalui informasinya, dan karenanya untuk melihat fungsi yang diembannya, tidaklah langsung di dalam masyarakat. Fungsi dan peranan pers hanya akan berlangsung melalui efek informasi ini dalam
dunia alam pikiran anggota masyarakat. Sejauh mana efek yang bersifat individual signifikan terhadap perubahan masyarakat, hanya dapat ditunggu sampai timbul tindakantindakan yang berpola dalam masyarakat. Penyajian berita kriminal yang tinggi misalnya, mungkin saja mempengaruhi alam pikiran individu khalayak pembaca. Kalau efek individual ini memunculkan tindakantindakan berpola sampai kriminalitas menjadi fenomena dominan dalam masyarakat, maka pers pun dapat disebut berperan. Landasan semacam ini kiranya melahirkan institusi pers yang difungsikan sebagai alat perjuangan. Sebagai alat perjuangan pada masa kolonial, keberadaan pers nasional dimaksudkan memberi pendidikan kepada khalayak pembacanya agar memiliki kesadaran nasional. Dari sini diharapkan akan terbentuk suatu masyarakat yany menggunakan paradigma baru, dengan orientasi nasional, yang vis-a-vis dengan sistem kolonial. Tetapi sejauh mana pers nasional pada masa kolonial itu membentuk kesadaran nasional pada masyarakat Hindia Belanda, agaknya hanya akan menjadi kesimpulan spekulatif. Sulit untuk menunjukkan mana yang lebih memberikan kontribusi, apakah media pers nasional ataukah rapat-rapat umum yang diadakan oleh tokoh-tokoh perjuangan yang memiliki kekuatan retoris. Hubungan pimpinan perjuangan dengan massa pada dasarnya terbangun melalui media sosial, bukan melalui media pers. Keterbatasan oplah ditambah jumlah khalayak yang melek huruf yang terbatas, boleh dicatat sebagai faktor betapa pers nasional hanya menjadi bacaan sekelompok elit di kota-kota. Jangankan di masa Hindia Belanda, pada masa Orde Baru yang relatif telah mengentaskan banyak penduduk sehingga bebas buta huruf, keberadaan media pers untuk tujuan mendidik seperti koran masuk desa, harus diimbangi dengan forum media seperti kelompok pembaca. Asumsi yang menempatkan daya pengaruh informasi ini menyebabkan setiap penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini lebih terasa pada awal abad 20,setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan (raja-raja di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda. Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil. Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik. Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit. Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara. Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda. Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Belanda. Haaatzaai artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana  RI. Kendati sudah merdeka, masih menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada dalam setting hukum kolonial.Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapatdilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda, masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang. Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di Indonesia. Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking

Designed By VungTauZ.Com