"Saya biasanya tidak menggunakan gelar
saya . Tapi kalau saya pergi kekantor kantor , ke Bank misalnya, saya baru
menggunakannya. Kalau tidak mereka akan menyepelekan saya. Mereka meminta suami
saya atau ayah saya juga ikut menandatangani surat. Saya bilang saya yang menafkahi ayah
saya, bukan sebaliknya. Soal suami , saya memang tidak bersuami".
Begitulah Andrea Moinar, Assisten Profesor di
Departement Antropologi, Northtern Illinois University, melukiskan bagaimana
kaum wanita di Amerika serikat masih belum sederajat dengan kaum prianya,
ketika kami makan siang disebuah restoran di Lincoln Highway dekat kampus. Saya
memesan ikan bakar, dilengkapi dengan kentang bakar dan sup kerang, sementara
Andrea memesan salad.
Pernyataan lulusan Australian National
University ini sekedar menegaskan hipotesis saya yang saya simpan dalam benak
selama hampir 2 bulan, sejak saya datang kembali ke negri paman Sam meskipun
kaum wanita Amerika mati matian berusaha memajukan kaum mereka , tampaknya
tidak banyak yang mereka peroleh.
Kendala terbesar yang merintangi
"gerakan feminis" mereka adalah sikap mereka untuk membiarkan
diri mereka tetap menjadi objek sexual, terlepas dari apakah mereka menyadarinya
atau tidak. Dalam musim panas ini, meskipun pada hari hari yang cukup nyaman
,kebanyakan wanita Amerika berpakaian serba terbuka dan ketat. Bukan karena
kegerahan, tapi terutama mereka terobsesi untuk mencapai suatu
"keberhasilan hidup ", yakni mampu memikat lawan jenis mereka.
Pemujaan terhadap keindahan dan kerampingan
tubuh ini sebenarnya telah menimbulkan penyakit kekacauan makan . Seperti
dilaporkan organisasi organisasi yang menangani masalah itu, 200.000 wanita
menderita Anorexia Nerfousa dan dua kali dari jumlah itu menderita Bulimia.
Menurut Amerikan Anorexia and Bulimia Association , sekitar seribu wanita
meninggal dunia tiap tahunnya karena Anorexia. Narsisisme ini memang dapat
ditemukan dinegeri manapun , termasuk Indonesia. Tetapi di Amerika
kecenderungannya lebih ketara. Tak pelak lagi, salah satu sebab timbulnya
kecenderungan ini adalah pengaruh media massa , khususnya televisi lewat iklan
dan film yang ditayangkannya , selain longgarnya nilai nilai yang dianut
keluarga, anda dapat mengakses lebih dari 50 saluran (TV kabel) 24 jam sehari
di negeri ini, jika anda mau membayarnya.
Acara Tv The Man Show yang diasuh Adam Corolla
misalnya ,dengan terus terang menjelaskan bahwa acaranya saat itu penting bagi
gadis gadis muda yang mulai sadar akan lawan jenis mereka. Acara itu tanpa malu
malu mempromosikan bahwa tubuh wanita adalah "nilai sejati wanita"
yang dihargai kaum pria. Inti pesannya adalah : "untuk menjadi wanita
sempurna, anak anak wanita itu harus dilatih pada usia sangat dini bahwa
memiliki kaki yang panjang bokong yang ketat, dan dada besar harus
menjadi tujuan utama dalam menarik pria."
Apa yang salah dengan kebebasan wanita
Amerika? Salah satu prinsip kaum wanita Amerika yang salah kaprah adalah
menyamakan kebebasan wanita dengan kebabasan fisik, khususnya kebebasan untuk
menggunakan pakaian apapun sesuka mereka. Dalam asumsi mereka , ada korelasi
antara kebebasan pribadi dan keterbukaan berpakaian.
Itu sebabnya mereka mempersepsi wanita wanita
Muslim yang berjilbab sebagai "diperbudak oleh agama:" mereka, yakni
Islam atau suami suami mereka yang muslim. Stereotip itu sedemikian meluas di
Amerika, tak terkecuali dikalangan perguruan tinggi. Berdasarkan prinsip yang
keliru itu, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa nilai seoranhg wanita Amerika
terutama ditentukan oleh fisiknya , bukan pikirannya, apalagi jiwa
spiritualnya.
Saya sedih mengingat bahwa --- ironisnya - hal
serupa juga sedikit banyak berlangsung di Indonesia yang mayoritas penduduknya,
juga mayoritas wanitanya, juga yang mengelola media, berusaha meningkatkan
martabat wanita, tapi mereka juga merendahkannya kembali.
Seperti diisyaratkan Sadiya Khan dalam
tulisannya " Hijab: to Cover or Not to Cover" yang dimuat Towers (no
80, spring 2000), jurnal sastra Northern Illinois Univercity, ketika wanita
Amerika mempertahankan diri bahwa mereka tetap bangga dan aman ketika mereka
berbikini dalam pameran mobil, mereka sebenarnya menyakiti diri mereka sendiri.
"Dengan membiarkan kaum pria menjadikan
kaum wanita sebagai objek sexual , wanita wanita ini memberi andil terhadap
stereotip yang dicoba diperangi setiap orang.
Bila mereka berpikir tentang itu, kapan
terakhir kali seorang pria memperhatikan pikiran mereka , bukan tubuh mereka ,
pada suatu pameran mobil itu ?" tulis Sadiya.
Sadiya sendiri yang keturunan Pakistan itu
semula apriori terhadap hijab. Tetapi setelah mempelajari maknanya lewat
berbagai sumber, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan nya.
Manusia tidak akan memperoleh kebebasan dan
martabat yang sempurna, kecuali bila mereka menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Hijab atau jilbab dalam Islam, yang sering dianggap memperbudak wanita , justru
sebagai tanda dan ekspresi wanita bahwa mereka tidak ingin dianggap sebagai
objek sexual semata mata, bahwa mereka ingin diakui setara dengan pria, bahwa
mereka juga dapat memberi andil kepada masyarakat lewat pengetahuan dan kerja
mereka.
Lagi, meminjam kata kata Sadiya , "Saya
mengenakan hijab karena saya memahami diri saya sendiri. Hijab adalah refleksi
diri anda sendiri.
Feminisme mencerminkan kepercayaan dan cita
cita yang dirasakan kaum wanita bahwa mereka mampu.
"Agama juga merupakan refleksi bagaimana
kami manusia berjiwa selaras dengan alam semesta ini. Jadi, hijab adalah suatu
cara bagi saya untuk merefleksikan bagaimana perasaan saya tentang diri saya.
" Saya memutuskan untuk berubah
demi memperkuat diri saya sendiri. Saya tahu keputusan ini akan
menyebabkan konflik , prasangka, dan ketakutan. Akan tetapi pada saat yang sama
saya merasa sangat bangga bahwa saya mengambil langkah kearah yang positif.
Inilah ma'na hijab bagi saya - Suatu refleksi yang tepat bagi saya.".
Deddy Mulyana
Dosen Fikom dan Pascasarjana Unpad
Mahasiswa Northerm Illinois University
DeKalb, Amerika Serikat
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking