SEBAIK-BAIK MANUSIA
(Sumber : Tabloid MQ
EDISI 01/TH.II/MEI 2001)
Ternyata, derajat
kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai mamfaat
bagi orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Khairunnas anfa’uhum
linnas", "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak
mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat
kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai mamfaat diri ini? Istilah
Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib,
sunat, mubah, makruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia
wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadannya sangat dirindukan,
sangat bermamfat, perilakunya membuat hati orang di sekitarnya tercuri.
Tanda-tanda yang nampak dari seorang manusia wajib, diantaranya dia seorang
pemalu, jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya.
Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa
terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat
daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan
urusannya, dan sangat nikmat kalau berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari
menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih,
penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih
sayang.
Bukan kebiasaan bagi
yang akhlaknya baik itu perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing,
bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu
berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan
marahnya pun karena Allah SWT, subhanallaah, demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun
di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa
terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang
sedang membara. Jikalau saja orang yang berakhlak mulia ini tidak ada, maka
siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga
qolbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih
perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat
kepribadian yang baik pula.
Orang yang sunah,
keberadaannya bermamfaat, tetapi kalau pun tidak ada tidak tercuri hati kita.
Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena
kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena
hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan
orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga
qolbu siapapun.
Orang yang mubah,
ada tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja.
Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau
tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak
membawa mamfaat, tidak juga membawa mudharat.
Adapun orang yang makruh,
keberadannya justru membawa mudharat. Kalau dia tidak ada, tidak berpengaruh.
Artinya kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak
senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah
sangat tenang, tetapi ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang,
anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah.
Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.
Lain lagi dengan
orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah,
sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika dia pergi ke kantor, perlengkapan
kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah
mensyukurinya.
Masya Allah, tidak
ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak
yang menguntungkan orang tua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa
mendapat mamfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai
manusia apa, wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk
ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada ibu-ibu,
hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa
bangga punya ibu seperti kita? Punya mamfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah
mengukur diri, saya ini seorang ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat
atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya, benarkah kita
menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja.
Sungguh beruntung
bagi siapapun yang dikaruniai ALLAH kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik
peluang kebaikan yang diperlihatkan ALLAH kepadanya. Beruntung pula orang yang
dititipi ALLAH aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula
kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya umat manusia.
Karena ternyata
derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya punya nilai
manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda,
"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi
orang lain" (H.R. Bukhari).
Seakan hadis ini
mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak
kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri ini? Kalau menurut Emha Ainun
Nadjib, harusnya tanyakan pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah,
makhruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang 'manusia wajib', diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang 'manusia wajib', diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Sedikit kesalahannya,
tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat
kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh
wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan
dan mengendalikan diri, serta penuh kasihsayang.
Sama sekali bukan
kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah,
menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru
ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena ALLAH, membenci karena
ALLAH, dan marahnya pun karena ALLAH SWT, subhanallah demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun
di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa
terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang
sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun
akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu
ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada, siapapun
akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan
ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.
Kalau orang yang
sunah, keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada tidak tercuri hati
kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin
karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam.
Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa
dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke
rongga kalbu siapapun.
Sedangkan orang yang
mubah ada dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama
saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan
kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya
tidak membawa manfaat, dan tidak juga membawa mudharat.
Adapun orang yang
makruh, keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak
berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan
atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor
suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa
ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu
pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.
Seorang anak yang
makruh, kalau pulang sekolah justru masalah pada bermunculan, dan kalau tidak
pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan
anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada di rumah. Sedangkan
karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang
sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.
Lain lagi dengan
orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan
ketiadaannya justru disyukuri. Jikasaja dia pergi ngantor, justru perlengkapan
kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah
mensyukurinya.
Masya ALLAH, tidak
ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak
yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat
merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat
sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh, atau haram? Kenapa tiap kita
masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong
kita?
Kepada ibu-ibu,
hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa
bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah
mengukur diri, saya ini seorang ayah atau seorang gladiator? Saya ini seorang
pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya nih,
benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan
popularitas saja?
Nampaknya, saat
bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah
akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani
jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal
bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk
berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri
sendiri.
Kalaupun mendapati
orang tua kita berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah dagingnya melekat pada
diri kita, karenanya kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya
demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua yang belum Islam,
kewajiban seorang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkannya jalan
hidayah. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka
seorang anaklah yang berada pada barisan pertama membantu orang tua kita
menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLAH itulah rizki kita.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLAH itulah rizki kita.
Begitu pula terhadap
lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau
tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah,
tapi ALLAH malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu
ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat, sehingga si kucing
tidak mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan, padahal oleh si ibu tidak
pula diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya, walau si ibu ini
ahli ibadah, tapi ALLAH melaknatnya karena akhlak pada makhluknya jelek.
Kadang aneh kita ini,
ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau
daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan
tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih
kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di
lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga,
tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga
mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan ketika Nabi SAW pindah
mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu
diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah ditinggalkan sebagai
alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya.
Kejadian lain adalah
ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum
seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini
berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama sekali tidak kelihatan
merasa takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman
ALLAH dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya mengajak berbicara
layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, "Mau apa kesini? Kalau
tidak ada kewajiban dari ALLAH dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah
baiknya engkau pergi", maka pergilah singa itu, subhanallah. Demikianlah,
orang yang takutnya hanya kepada ALLAH, makhluk pun tunduk kepadanya.
Seperti halnya ketika
ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang akhlaknya baik dan dia merasa
tidak terganggu, sama sekali dia tidak akan membunuhnya, malah ditolongnya si
ular ini untuk bisa kembali ke habitatnya, itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa
mengganggu sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan
membunuhnya dengan cara terbaik, dan tidak lupa disebutnya asma ALLAH. Jadilah
proses membunuh ular ini sebagai ladang amal.
Betapa indah pribadi
yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan,
menjadikannya tumbuh benih-benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya
bunga-bunga di taman, hingga menggerakkan berputarnya roda kehidupan.
Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan
hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan full
limpahan energi karunia ALLAH Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah energi-Nya,
subhanallah. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya
kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti
yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baik manusia! Insya ALLAH.
***
(Jangan Lupa Jempolnya/ Like)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking